Mohon tunggu...
LoVembers
LoVembers Mohon Tunggu... Penulis - I'm a delusional artbitch who is trapped on poem, music, film, and photography.

*setiap kata yang kutulis adalah jiwa, jiwaku yang terlalu gila untuk menjadi hal lain selain sebuah tulisan*

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Interlokusi dengan Tuhan

26 Februari 2019   09:21 Diperbarui: 28 Februari 2019   08:00 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tuhan lalu bertitah padaku; 

"Tuan, Bumi telah dipersiapkan, berkenankah kau turun dan melihatnya?" 

Lantas Dia memaut kepalanya dengan senyum yang masih bersemayam dalam pikiran. 

Aku menganggut, senyumNya meranum. 

Tiga hari lalu, seraya mengkerutkan dahinya Dia berkata. 

"Hanya seumur itu kau ingin mendiami bumi?" Bagaimana jika ditambah?" 

Kami saling beradu tatap lalu saling terdiam. 

Mata kami saling bercengkrama. 

Aku menggeleng, dahiNya makin mengkerut. 

Pagi itu aku tiba di Bumi yang Dia takhlikan untukku.

Masih lima ribu detik lagi hingga menuju hening. 

Sepanjang beberapa masa terasa sangat gelap, Maka aku kobarkan api di sela rindu akan wangi surgaMu. 

Lantas api itu.

Aku namakan ia timur.

Dengan bulan yang terapung di seberangnya, timur tampak kesepian, sebagaimana aku yang hanyut di lautan gersang.

Kusentil satu dua kerikil, terpijar di atmosfir. 

Menjadi bintang-bintang dilangit, untuk kupandang setiap hari.

Menyinari barabad masa, lantas mati. Tetap cemerlang dari sini.

Masih dua ribu detik lagi hingga menuju hening.

Aku alpa menggerakan waktu.

Malam ini sangat beku dan sunyi.

Kuundang para petualang asing yang akan datang sebentar lagi.

Hembusan anginnya sudah tiba lebih awal.

Sayap-sayap mereka akan tiba saat api menyuam pagi.

Dan menanti dua ribu detik ini berakhir.

Aku beri nama satu demi satu yang terlihat.

Sampai aku bosan menyulut api di timur.

Saat-saat berkobar lebih cepat; 

Angkasa berdenyar "Apa yang sedang kau perbuat?" Tuhan kini di hadapanku bertanya keheranan.

Aku mengajakNya duduk di sampingku menghadap ke arah timur "Aku rindu wangiMu." ujarku. 

Api kian tinggi.

Bunyi kepak sayap para petualang kian terdengar.

Tuhan menangis tipis, air matanya dirangkum embun. 

Aku menamakannya pagi.


Tasikmalaya 260219 (09:06)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun