Mohon tunggu...
Julianda BM
Julianda BM Mohon Tunggu... Administrasi - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh". Sudah menulis ratusan artikel dan opini. Bekerja sebagai ASN Pemda. Masih tetap belajar dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lentera di Senja Kala

22 Desember 2023   11:49 Diperbarui: 22 Desember 2023   12:45 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lentera di Senja Kala

Oleh: Julianda BM

Senja mengaduk senyap, membenamkan desa dalam rona jingga keemasan. Di gubuk bambu sederhana, di ujung desa, tangan Sunarti yang renta mengelus lembut rambut Maya, puterinya. Mata Sunarti redup, tapi senyum tipis bermain di bibirnya yang telah memucat.

"Ibu," suara Maya lirih, hampir tertelan debar jantungnya sendiri. Sunarti membuka mata, teduh, penuh cinta yang tak lekang usia.

"Nak," sapanya, suaranya rapuh bagai daun kering. Maya menggenggam tangan Ibu, telapak tangannya dingin, denyut nadi tak lagi berlari kencang.

Sunarti selalu menjadi lentera bagi Maya. Sejak ditinggal Bapa sepuluh tahun silam, Ibulah yang menjadi matahari dan bulan, hujan dan pelangi. Ibu yang bertani, merajut benang, menenun mimpi-mimpi Maya. Dari tangan Ibu, Maya belajar arti kerja keras, ketangguhan, dan cinta yang tak bersyarat.

Kini, senja kehidupan Ibu kian dekat pada senja alam. Maya takut, takut kehilangan pelabuhan jiwanya, kehilangan detak jantung takdirnya.

"Ibu, tolong ceritakan lagi kisah bunga bakung itu," pinta Maya, mencoba mengusir bayang-bayang duka.

Sunarti tersenyum. Kisah bunga bakung adalah lagu pengantar tidur Maya sejak kecil. Kisah tentang bunga putih nan harum yang tumbuh dari air mata Bidadari, bunga yang melambangkan cinta abadi dan pengorbanan.

"Dulu, ada Bidadari cantik bernama Melati," mulai Sunarti, suaranya parau. "Dia jatuh cinta pada Putra Bumi yang gagah, tapi cinta mereka dilarang Dewi Langit. Melati menangis, air matanya jatuh ke bumi, dan tumbuhlah bunga bakung."

Mata Maya berkaca-kaca. Dia seperti melihat Ibu, Bidadari yang rela mengorbankan segalanya untuk kebahagiaannya. Ibu yang menenun cinta tanpa henti, tanpa mengharapkan balasan.

"Bunga bakung mekar sepanjang tahun, Nak," lanjut Sunarti, "seperti cinta Ibu padamu. Takkan pernah layu, takkan pernah padam."

Maya memeluk Ibu erat, air matanya jatuh, membasahi pipi Sunarti. Dia tak kuasa lagi menahan bendungan cinta dan duka yang menggenang di hatinya.

"Maaf, Ibu," bisiknya, "Maaf Maya belum bisa membahagiakan Ibu."

Sunarti terkekeh pelan, elusan tangannya semakin lembut. "Bahagiamu adalah bahagiaku, Nak. Kau tersenyum, Ibu bahagia. Kau sukses, Ibu bangga."

Suasana hening, hanya desah napas Sunarti yang terdengar. Senja kian pekat, menyelimuti gubuk bambu dengan debaran kesunyian.

Maya tertidur, pelukannya tak terlepas dari tubuh Ibu. Dalam mimpinya, dia melihat hamparan bunga bakung putih, harum, dan Ibu tersenyum di tengahnya. Senyum yang sama, senyum cinta abadi.

Pagi tiba, matahari menyembul menyapa dunia. Tapi di gubuk bambu, senja tak pernah beranjak. Sunarti telah pergi, dijemput senja kehidupan yang sejati.

Kepergian Ibu meninggalkan lubang menganga di hati Maya. Tapi di dasar lubang itu, mekar sejuta bunga bakung, mekar dengan kenangan, cinta, dan pengorbanan.

Maya terduduk, menatap hamparan bunga bakung yang tumbuh liar di sekitar gubuk. Bunga-bunga yang ditanam Ibu semasa hidupnya. Setiap kelopaknya berbisik tentang cinta, setiap helai daunnya menari dengan doa.

Maya memetik sekuntum bunga bakung, menyelipkannya di rambutnya. Dia tahu, Ibu takkan pernah pergi. Cinta Ibu akan terus hidup, mekar abadi dalam hatinya.

Hening dipecahkan oleh ayam berkokok. Matahari kian meninggi, menerangi desa dengan sinarnya yang hangat. Maya bangkit, teguh, semangat Ibu mengaliri darahnya. Dia akan hidup, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk cinta Ibu yang tak pernah padam.

Maya melangkahkan kakinya dengan mantap menuju sawah. Dia akan melanjutkan mimpi-mimpi Ibu, mimpi tentang kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan keluarganya.

Ibu selalu mengajarkan Maya untuk bekerja keras dan tidak pernah menyerah. Maya bertekad untuk mewujudkan mimpi Ibu, meski tanpa kehadiran Ibu.

Maya bekerja keras di sawah, mengolah tanah, menanam padi, dan merawat tanaman. Dia juga belajar merajut, melanjutkan usaha Ibu.

Kerja keras Maya membuahkan hasil. Sawah yang dulunya gersang dan tandus, kini menjadi subur dan hijau. Hasil panennya melimpah, dan Maya bisa menjualnya dengan harga yang bagus.

Maya juga berhasil mengembangkan usaha Ibu. Dia membuat berbagai macam produk rajutan, mulai dari baju, topi, tas, hingga sepatu. Produk-produknya laris manis, dan Maya bisa menghasilkan banyak uang.

Dengan uang yang dia hasilkan, Maya bisa menyekolahkan adik-adiknya hingga ke perguruan tinggi. Dia juga bisa membangun rumah yang lebih layak huni untuk keluarganya.

Maya bahagia, karena dia bisa mewujudkan mimpi Ibu. Dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya, dan dia bisa membuat Ibu tersenyum dari surga.

Suatu hari, Maya sedang merajut di teras rumahnya, ketika seorang wanita muda datang menghampirinya. Wanita itu tersenyum manis, dan Maya mengenalinya.

"Ibu?" tanya Maya, tak percaya.

Wanita itu mengangguk. "Ibu memang sudah pergi," katanya, "tapi Ibu selalu ada di sini."

Maya memeluk Ibu, air matanya jatuh membasahi pipinya. Dia bahagia, karena bisa bertemu Ibu lagi, meski hanya dalam mimpi.

"Ibu bangga padamu, Nak," kata Ibu, "kau telah mewujudkan mimpi Ibu."

Maya tersenyum. "Terima kasih, Ibu," katanya, "aku akan selalu berusaha untuk membuat Ibu bahagia."

Maya membuka mata, dan dia mendapati dirinya masih di teras rumah. Dia mengusap air matanya, dan dia tersenyum.

Dia tahu, Ibu akan selalu bersamanya, dalam hati dan dalam mimpi. Cinta Ibu akan selalu menjadi lentera yang menerangi hidupnya.

Selesai

***Julianda BM***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun