Mata Maya berkaca-kaca. Dia seperti melihat Ibu, Bidadari yang rela mengorbankan segalanya untuk kebahagiaannya. Ibu yang menenun cinta tanpa henti, tanpa mengharapkan balasan.
"Bunga bakung mekar sepanjang tahun, Nak," lanjut Sunarti, "seperti cinta Ibu padamu. Takkan pernah layu, takkan pernah padam."
Maya memeluk Ibu erat, air matanya jatuh, membasahi pipi Sunarti. Dia tak kuasa lagi menahan bendungan cinta dan duka yang menggenang di hatinya.
"Maaf, Ibu," bisiknya, "Maaf Maya belum bisa membahagiakan Ibu."
Sunarti terkekeh pelan, elusan tangannya semakin lembut. "Bahagiamu adalah bahagiaku, Nak. Kau tersenyum, Ibu bahagia. Kau sukses, Ibu bangga."
Suasana hening, hanya desah napas Sunarti yang terdengar. Senja kian pekat, menyelimuti gubuk bambu dengan debaran kesunyian.
Maya tertidur, pelukannya tak terlepas dari tubuh Ibu. Dalam mimpinya, dia melihat hamparan bunga bakung putih, harum, dan Ibu tersenyum di tengahnya. Senyum yang sama, senyum cinta abadi.
Pagi tiba, matahari menyembul menyapa dunia. Tapi di gubuk bambu, senja tak pernah beranjak. Sunarti telah pergi, dijemput senja kehidupan yang sejati.
Kepergian Ibu meninggalkan lubang menganga di hati Maya. Tapi di dasar lubang itu, mekar sejuta bunga bakung, mekar dengan kenangan, cinta, dan pengorbanan.
Maya terduduk, menatap hamparan bunga bakung yang tumbuh liar di sekitar gubuk. Bunga-bunga yang ditanam Ibu semasa hidupnya. Setiap kelopaknya berbisik tentang cinta, setiap helai daunnya menari dengan doa.
Maya memetik sekuntum bunga bakung, menyelipkannya di rambutnya. Dia tahu, Ibu takkan pernah pergi. Cinta Ibu akan terus hidup, mekar abadi dalam hatinya.