Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Warisan Bapak

2 Agustus 2017   06:31 Diperbarui: 3 Agustus 2017   11:33 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untungnya Bapak pergi dengan meninggalkan warisan pada seorang janda  anak tiganya berupa sepetak sawah. Meski penghasilan yang terkatung-katung, namun mampu membuat Kang Wakit anak nomor duanya kuliah jurusan hukum. Sedang aku berencana kuliah di Jogja jurusan Informatik. Kang Marto yang tidak pernah mengenyam pendidikan bekerja keras membiayai kami. Ia tak pernah memerhatikan dirinya sendiri, bekerja keras hingga badanya kecil kerempeng dan berkulit hitam. Terkadang aku bertanya-tanya dalam hati, di usianya yang tiga puluh lima tahun, kiranya siapakah wanita yang akan menerimanya, menemani Emak memasak di dapur.

(***)

Hawa panas dari mulut tobong perlahan menghilang, menciptakan aroma tanah liat terpanggang matang. Aku masih duduk di bawah pohon mangga yang berjarak tiga meter dari mulut tobong, memerhatikan Kang Marto yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa lembur semalaman. Badanya yang kerempeng terlihat lihai menarik sisa kayu yang masih berasap, menumpuknya di bawah pohon mangga. Ia lincah memindah kayu-kayu itu tanpa memerdulikan rambut dan mukanya putih penuh abu.

Mamat dan Udin sebagai pemborong seharusnya yang melakukan pekerjaan itu masih tertelengkup berselimut terpal di sampingku. Sinar mentari pun mulai menyeruak menghangati wajahku yang terasa kaku dan rambutku yang seakan penuh abu, mengantarkan hari ke dua puluh enam dimana beberapa hari lagi Warsih berjanji akan menemui Kang Marto. Sudah terbayang di benakku tumpukan uang seratusan tiga puluh lembar untuk Warsih. Meski aku sedikit tak rela jika tiga lembar uang seratusan di berikan Mamat dan Udin yang kerjanya hanya tidur-tiduran semalaman. Aku melirik benci pada dua anak yang masih tengkurap di sampingku.

Sepagi ini Maman sudah datang menepati janjinya. Ia melenggak menghampiri Kang Marto setelah memarkir sepeda buntutnya sembarangan. Aku yang merasa berkepentingan mendaftar kuliah mendekati mereka berdua.  Kuperkirakan dua puluh ribu biji bata yang sudah matang akan segera diangkut.

"Besok sudah bisa di tarik Man." Kata Kang Marto saat menjabat tangan. "Kuhitung yang bisa diangkut sekitar dua puluh ribuan."

"Ehm, wah kualitas batamu bagus bener Mar. Ini warna merahnya rata, jenis yang paling disukai di Baturaja." Katanya memuji sampel yang di sodorkan Kang Marto.

"Terimakasih Man." Aku dan Kang Marto kompak menimpali.

"Tapi harga sekarang lagi turun Mar, kata boss harga turun jadi duaratus lima puluh ribu, lagi musim hujan pula jadi belum bisa angkut. Dua piluh rubu nanti buat pinjaman kemarin. Gimana Mar?"

"Apa...? Sama saja kayak padi kalau begitu. "

"Beda Mar. Kalau bisnis bata ngomong berapa duitpun sama aku bisa cepet cair." Ujar Maman sedikit berbisik di telinga Kang Marto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun