Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Warisan Bapak

2 Agustus 2017   06:31 Diperbarui: 3 Agustus 2017   11:33 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Butuh waktu sekitar lima menit menunggu pintu dibuka.

Mata Emak mengerjap-ngerjap memandang silau obor yang kubawa. Seolah sudah mengerti maksud kedatanganku, ia langsung membalikkan tubuhnya, berjalan terhuyung menuju dapur .  Aku mempersilahkan Mamat duduk di ruang tamu. Sementara menunggu, aku melirik arloji yang melingkar di lenganku. Masih jam dua pagi.

Lama kami menunggu Emak sambil terkantuk-kantuk. Mamat yang sejak awal sudah kehilangan suara kini terlentang di kursi, menciptakan suara naganya. Mendekur. Aku terkesiap saat seorang menyentuh bahuku. Emak yang masih membiarkan rambut --yang mulai memutih-tergelung sekenanya, sudah berdiri membawa buntalan nasi.  "Nasinya tadi masak setengah kilo cukup kan? " Kata Emak sambil meletakkan buntalan di atas meja.  "Seadanya saja sama mi."

Rasa kantuk semalaman karena tak tidur membuatku enggan menanggapi Emak. Maka setelah menggapai tubuh Mamat yang membujur, aku menjinjing buntalan itu.  Meninggalkan Emak yang terkantuk-kantuk menutup pintu. Melanjutkan tidur.

Kang Marto masih berjibaku di depan mulut tobong. Memasukkan kayu-kayu ke dalamnya, menjaga nyala api agar tetap besar . Ia tak memerdulikan keringat  mengucur membasahi tubuhnya yang hitam kerempeng. Bahkan ia tak mau memakai kaosnya saat memikuli kayu ke depan mulut tobong.  Uap panas api pun tak dirasa, ia hanya nyengir saat ujung api menjilat mukanya. "Yang penting bata bisa cepat matang, cepat juga diangkut pemborong."  Jawabnya saat kusuruh memakai kaos.

Aku hanya duduk beralaskan pelepah daun pisang yang berjarak tiga meter dari mulut tobong. Mamat dan Udin langsung menyerbu nasi panas dan mi buatan Emak. Keduanya rakus menyergap tanpa menawari aku sebagai anak Emak dan Kang Marto sebagai Boss-nya. Aku yang tak enak hati dengan Kang Marto akhirnya berseru;"Istirahat dulu Kang! Dimakan nasinya mumpung masih panas." Kang Marto tak menggapi. Ia malah bergegas menuju tumpukan kayu bakar, memilah, lalu memasukkannya ke mulut tobong.

(***)

Ini sudah hari ke dua puluh lima saat Warsih --Tengkulak beras-, datang ke rumah menagih utang. Warsih datang ke rumah dengan seorang laki-laki berbadan tegap berkulit hitam. Entah siapa aku tak kenal. Setahuku suaminya Haji Sanusi berbadan kecil, berkulit putih, kemana-mana selalu memakai peci.

Kata Warsih hutang Kang Marto tidak banyak. Tiga bulan lalu saat musim sawah Kang Marto pinjam uang sejuta setengah. Nanti kalau sudah panen dibayar pakai beras, satu kilonya dihargai tiga ribu rupiah. Kang Marto bersedia membayar dua kali lipatnya. "Ini sudah panen Mak, kapan bisa segera dilunasi?" Katanya menagih. Emak terdiam sekian lama. Memandangi halaman rumah dengan tatapan mata kosong.

Kang Marto pun hanya menelungkupkan mukanya ke atas dua pahanya yang di tekuk merapat. Emak tak berucap apa pun. Emak baru tahu, biaya penggarapan sawah musim ini uangnya dari Warsih. Meski Emak tidak tahu kapan Kang Marto meminjam uang, tapi Emak tahu, biaya menggarap sawah tidahlah murah. Untuk biaya pembajakan saja sudah dua ratus ribu per seperempat Hektar. Harga pupuk juga tidak mau kompromi, selain tenaga pemborongnya juga minta naik. Belum lagi biaya perawatan yang semuanya butuh uang kontan.

Maka setelah Warsih tenggelam dari pandangan-meninggalkan pesan sebulan lagi datang-, perlahan Kang Marto mengangkat mukanya lalu berujar; "Harga bata di Baturaja sedang mahal.Sebaliknya harga beras kalau musim panen merosot."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun