Maut menutup ceritanya dengan ucapan singkat. “Lalu dia merencanakan bunuh diri.”
Aku terpaku memandangi wajah perempuan tadi, tak ada tindakan yang terasa tepat bagiku untuk hidupnya. “Bagaimana jika kau menjemputnya saja sekarang,” ucapku pada Maut.
Maut menghilang tanpa jejak, dia menghilang bersamaan dengan suara elektrokardiogram yang membentuk satu nada datar, nada kematian.
Jujur, aku merasa diriku seperti bermimpi, tiba-tiba saja aku berada di tempat yang sama, trotoar yang sama dan jalan yang sama sunyinya, aku memandang kesebrang dan muncul perasaan ingin meyebrang. Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, di sinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat, dia tetap saja melaju tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun, aku terlindas sangat keras hingga tubuhku terasa gepeng. Entah pengemudi itu melihatku lalu terus menabrakku atau dia memang benar-benar tidak melihatku. Tapi yang aku tahu bahwa pengemudi itu juga akan mati atas rencana bunuh diri yang sudah direncanakannya.
Napasku menyesak, tubuhku tidak bisa bergerak. Perlahan kulengakkan kepalaku ke langit dan kulihat Maut turun menghampiriku.
“Apa kau ingin menjemputku?. Bukankah aku masih memiliki 2 nyawa lagi?.” Tanyaku panik.
Maut seperti tersenyum. “Kucing memang payah dalam soal menghitung.” Ucapnya singkat.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H