Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr.
Loganue Saputra Jr. Mohon Tunggu... Farmasis -

Hobi baca, nonton, video game, dan sering kali sedikit narsis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kucing Hitam

10 Agustus 2015   11:35 Diperbarui: 10 Agustus 2015   11:35 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maut bisa membaca pikiranku dan dia pun berkata lagi. “Kau boleh tak percaya. Bahkan aku takut ketika harus menjemput orang-orang dari dunia ini.”

“Mengapa kau takut?,” tanyaku penasaran.

“Karena mereka tidak punya pilihan dan sebuah kesempatan lagi seperti dirimu untuk memperbaiki segala hidup mereka. Namun  meski pun demikian aku sangat membenci orang-orang yang menentang takdir dan memilih merenggut nyawa mereka sendiri.”

“Aku sering melihat orang-orang yang menentang takdir, hampir semua tuanku melakukan itu, tapi saat mereka melakukannya aku tidak pernah melihat kau datang?.”

Maut seperti tertawa, tapi aku tak yakin bahwa dia bisa tertawa. “Untuk apa aku hadir, jika tugasku mereka lakukan sendiri. Orang-orang itu tidak mengerti bahwa menentang takdir akan jauh lebih menyakitkan daripada ketika aku menjemput mereka, aku lebih lembut menarik ruh mereka walau kadang mereka tetap berteriak mengeluhkan rasa sakitnya, namun setelah itu mereka akan merasa lega yang luar biasa. Berbeda dengan orang yang menentang takdir, mereka memang tidak berteriak penuh rintih, tapi setelah itu mereka akan merasakan sakit yang berkepanjangan, mungkin sakit itu hingga dunia berakhir.”

Aku benar-benar ngeri membayangkannya, rasa sakit yang tidak bisa dihindari hingga dunia berakhir. Dan celakanya dunia masih jauh dari berakhir. Edmund Fitzgerald sudah tidak terlihat lagi, walau air masih menari mengombang-ambing. Perlahan semuanya menjadi tenang hingga badai akhirnya berlalu.

“Maut maukah kau menjadi Tuanku?.” Tanyaku dengan suara pelan, aku takut dia marah.

Tapi Maut sudah menghilang dia sudah tidak ada lagi di sebelahku. Aku ditinggalnya sendiri.

Tapi jika kupikir maut tidak akan mau menjadi tuanku, lagi pula aku akan sangat menyusahkannya dalam melakukan tugasnya. Aku menengadah ke langit mencari Maut yang kurasa sudah kembali ke langit, tapi langit tak bisa di tembus oleh mata, walau kadang terlihat indah apalagi ketika senja penuh rona, langit itu seperti kotak besar yang tidak terhingga besarnya, tempat menyimpan banyak misteri dan juga rahasia.

Aku seperti tersedak ketika menyadari bahwa nyawaku hanya tersisa dua saja, aku duduk di samping trotoar, menatap gedung pencakar langit yang gemerlap di malam hari. Tak biasanya jalan di Kakunodate sesunyi ini, bahkan manusia pun jarang terlihat melintas. Ini semua seperti sebuah pertanda yang aneh.

Karena jalan benar-benar sunyi, aku pun menyebrang tanpa memastikan apa ada mobil yang akan melintas. Lalu dari kejauhan cahaya lampu sorot mobil menangkapku bagaikan seorang aktor di atas sebuah teater pertunjukan, disinari dan terdiam karena tercengang. Tak ada suara klapson yang memperingatiku, mungkin pengemudi mobil itu tidak menyadari bahwa aku berada di tengah jalan dan ketika sudah sangat dekat barulah dia melihat aku. Kedua kaki kulipat dengan sangat dalam, menciptakan gaya pegas yang begitu kuat untuk bisa mendorong tubuhku terhindar dari tabrakan mobil tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun