Mohon tunggu...
Nur Lodzi Hady
Nur Lodzi Hady Mohon Tunggu... Seniman - Warga negara biasa

Seorang pembelajar yang mencintai puisi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Kecoak di Rumahku

19 November 2015   11:50 Diperbarui: 26 November 2015   07:57 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="kecoa"][/caption]Aku sedang asyik menonton siaran berita di televisi yg secara beruntun menayangkan peristiwa serangan Paris. Sementara istriku sedang menyiapkan menu santap malam tanpa mau ada intervensi. Padahal biasanya aku mendapat kehormatan untuk bikin sambal atau ikut terlibat dalam mengiris bawang atau mencuci sayuran.

Berbagai komentar di televisi itu ada yang membuatku merasa nyinyir dan sesak. Dan meski tahu tidak akan ada pengaruhnya, tak jarang aku lantas mengomel menanggapi pendapat2 yg berseliweran tersebut. Tentu saja siaran tivi itu terus berlangsung tanpa mempedulikan semua omelanku.

"Aaah..!" Tiba2 terdengar jeritan istriku dari arah dapur yang berjarak tak jauh dari kamar. Aku segera melompat dan berlari menuju sumber suara. Tanganku dengan sigap menyambar gagang sapu di sudut ruangan sebelum akhirnya kudapati istriku berdiri di pojok dekat kulkas sambil memicingkan mata dan menunjuk ke sebuah titik sembari menggerundel tak jelas.

"Mundur..", kataku pendek setengah berbisik. Istriku mengikuti arahanku dan segera menarik diri ke belakang. Aku sendiri perlahan maju dengan sapu terhunus di tangan. Tapi aku tidak melihat apa-apa.

"Sanaa..! Itu.. di balik kotak deterjen!", istriku menuding2 lagi. Aku pun menggeser tubuhku mendekati tempat cucian. Tiba2 sebuah objek coklat gelap melesat ke atas dan lalu terbang. Kudengar suara istriku seolah meledak, "kecoaaakk!!". Suara itu dalam sekejap menjauh, dan benar saja saat kutengok kebelakang ia sudah menghilang, masuk ke dalam kamar. Ya istriku memang memiliki pobhia kecoak yang cukup serius.

Kini tinggal aku dan si kecoak saja di ruangan dapur itu. Perlahan kugeser tubuhku ke samping. Kecoak itu kulihat bertenggar di sudut atas almari perabot. Matanya tak lepas membuntuti setiap gerakku. Kuangkat gagang sapu dan kuarahkan ke tempat lain dengan maksud mengalihkan perhatiannya. Tapi sia2. Dia mencium gelagatku dan segera mengantisipasinya. Dia bergeser dan menyembunyikan sebagian tubuhnya di sela2 lemari. "Kurangajar!", batinku mulai geram. Aku hanya bisa melihat ujung kepala dan sungut yang sesekali tampak digoyang2kan, entah apa maksudnya.

"Keluar kau pengecut!" Teriakku menantang. Kecoak itu tak bergeming. Akupun mulai mendekat dan hendak mengayunkan sapu ke arahnya. Tapi tampaknya dia jeli membaca gerakanku. Dengan cepat dia melompat sebelum ujung sapu penebah ditanganku mengenai tubuhnya. Dia terbang rendah dengan gerakan tidak linier yang cukup menyulitkan. Meski kami sudah dalam posisi vis a vis di tempat terbuka, namun beberapa kali seranganku zonk dan tak mengenai sasaran.

Sejenak suasana hening. Aku tak melihat lagi kecoak itu terbang, sedang aku juga tak sempat menyadari posisi yang diambilnya pasca seranganku yang terakhir. Aku menengok ke beberapa sudut untuk memastikan keberadaannya. Namun tiba2 kudengar suara istriku berbisik dari arah jendela. Tampaknya diam2 dia menyaksikan pertarungan kami,

"Sebelah kanan..", bisik istriku.
"Apa?", tanyaku ikut berbisik juga.
"Kecoak!", bisiknya lagi
"Iya kecoak, kenapa?"
"Ada di sebelah kanan..".

Aku mengikuti arah telunjuk istriku, namun kali ini aku lebih berhati2. Aku tak langsung menoleh ke arah kecoak itu berdiam. Aku berpura2 bergerak acuh namun pelan. Dan meski belum menatapnya secara langsung, tapi aku dapat merasakan bahwa dia sedang menguntitku dengan kewaspadaan penuh. Dan benar saja, ketika kudapati kesempatan untuk sekejap melihatnya, sekelebat itu pula dia terbang disusul jerit suara istriku,

"Awaaas!"

Aku tak mau kalah cepat. Dengan cekatan aku memutar tubuh dalam posisi agak rendah dan secepat kilat pula kudaratkan ujung sapu tepat di tubuh kecoak tersebut disertai sorak sorai istriku dari balik jendela. Sebuah gerakan memotong di udara yang cukup efektif kuperagakan. Dan seperti kuduga, berdampak sangat fatal. Tubuh kecoak itu terbanting keras di tembok sebelum kemudian terhempas ke lantai. Suasana tiba2 hening. Sorak sorai istriku tiba2 berhenti.

"Mati?", bisik istriku bertanya.
"Mungkin..", jawabku singkat.
"Kasihan ya", katanya lagi sambil membuka pintu kamar.
"Iya, tapi mungkin dia hanya pingsan", timpalku sembari mulai menggerakkan gagang sapu yang masih kupegang.

Istriku melihatku sedang menggiring jasad kecoak itu keluar rumah. Tubuh kecilnya terguling2, kadang terpental2 di lantai. Tiba2 raut mukanya berubah dan air matanya kulihat meleleh. Aku pun menahan tubuh kecoak itu di depan pintu, nggak jadi kulempar keluar rumah.

"Kasihan ..", ujar istriku dengan nada lemah. Aku pun lantas meletakkan sapu di tanganku dan sepintas menatap ke arah tubuh kecoak yang terkapar dengan posisi punggung di bawah itu.

Tiba2 aku seperti melihat tubuh serangga itu begitu ringkih tanpa daya, dipenuhi keringat dan lebam di sana sini. "Hikk.."

Aku menoleh kearah istriku. "Kamu menangis?", tanyaku.
"Sudah enggak. Ya sudahlah. Disingkirkan saja di luar. Ayo temani memasak", jawabnya sambil ngeloyor pergi.

"Sayang... bener kamu ga senggukan barusan?", tanyaku tak yakin.
"Enggaak", jawabnya dari dalam dapur.

Aku jadi heran. Barusan sangat nyata aku dengar ada suara senggukan seperti seseorang sedang menangis. Tentu saja tak terpikir kalau itu berasal dari si kecoak.

"Hikks..", suara senggukan itu terdengar lagi.

Saat itu istriku mendekat sembari membawa sebuah cikrak dan lalu mengambil sapu yang tadi kugunakan untuk memukul kecoak itu. Aku pun lantas tertawa, mengira dia sedang mencandaiku.

"Ouw.. ancene..", cubitan genitku mendarat lembut di lengannya. Ia tersenyum.

"Apa sih?" Katanya ringan sembari mendorong tubuh kecoak itu kedalam cikrak. Sebentar kemudian ia melangkah keluar pintu. Saat itulah tiba2 darahku tersirap,

"Ayaah.."

Suara itu terdengar tak begitu jauh meski volumenya kecil. Suara sebuah isakan dan panggilan ayah itu terdengar sedemikian serak dan memelas. Itu terdengar seperti suara anak-anak. Tapi dimana? Anak siapa malam2 begini memanggil2 ayahnya di rumah kontrakanku? Atau mungkin hantu? Itu lebih tak mungkin lagi. Jawaban2 itu belum kutemukan ketika tiba2 mataku membentur sudut buffet, dua ekor kecoak kecil sedang menatap ke arah pintu dengan tatapan kesedihan disertai ketakutan yang dalam.

"Ayaaah.."

Astaga, itu benar suara mereka, kecoak2 kecil itu yang bicara. Dahiku berkerut, kupusatkan seluruh pandangan dan pendengaranku ke sudut itu.

"Sayang..", setengah berbisik aku lalu memanggil istriku.  "Iya..", jawabnya ringan. Sebentar kemudian ia muncul dari balik pintu dengan sapu dan cikrak yang sudah kosong. Aku masih takjub dengan apa yang kulihat. Tanganku hanya bisa menunjuk ke arah kedua makhluk kecil itu..

"Kecoak lagi..?! Istriku malah terperanjat dan melompat alang kepalang.
"Ssstt... jangan berisik", buru2 kutempelkan jari telunjuk di bibir untuk memberi tanda agar dia tidak membuat kegaduhan. Sejenak suasana pun sepi.

"Apa?", tanya istriku tak mengerti.
"Lihat..", kataku menimpali sembari menunjuk ke arah kedua anak kecoak tersebut.
"Hiii.. enggak ahh.. geli!",
"Dengar, kedua anak kecoak itu bicara", ucapku mencoba meyakinkan. Tapi dia justru menoleh dan memandangku dengan heran.
"Sayang?", panggilnya pelan, sementara perhatianku sepenuhnya ke sudut buffet itu.
"Apa?", sahutku agak acuh.
"Kamu baik2 saja kan?", ledeknya sambil tertawa. Ditepisnya tanganku yang berusaha menahannya untuk tak bergerak. Tapi usahaku itu gagal. Istriku ngeloyor begitu saja sambil tergidik2 menghindari area dekat buffet.

"Cepetan diusir aja, tapi ngga usah dibunuh", teriaknya sambil berjingkat2 menjauh.

"Iya", aku menyahut sekenanya.

Sementara istriku kembali ke dapur, kedua anak kecoak itu berusaha menyembunyikan tubuh mereka. Meski demikian aku masih bisa melihat mereka seperti berdesakan di sebuah celah kecil. Sejurus mereka seperti sedang memeriksa keadaan.

Aku menggeser posisi dudukku agak kebelakang untuk menghindari mereka memperhatikanku. Sambil merokok aku berpura2 melihat ke arah lain. Usahaku berhasil. Kedua anak kecoak itu perlahan bergerak keluar dari celah. Dan setelah yakin aku tak memperhatikannya, samar2 kulihat mereka berjalan pelan ke arah pintu. Aku tetap berpura2 tidak melihat.

"Ada enggak kak?", lamat2 kudengar suara lirih salah satu dari mereka bertanya dengan setengah berbisik.

"Nggak ada disini", jawab yang satunya lagi dari arah luar.

Oh, ternyata kedua kecoak kecil itu bersaudara. Itu yang tiba2 terlintas di pikiranku. Kecoak kecil yang dipanggil dengan sebutan "kak" itu mungkin adalah yang lebih tua atau dituakan. Aku nggak tahu sistem kekeluargaan dalam dunia kecoak, maka aku hanya mengira2 saja.

Perlahan sekali aku menggeser tubuhku ke arah dekat pintu untuk mengintip apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Aku bersyukur mereka tak sampai memperhatikanku. Mungkin karena terlalu konsen dengan apa yang sedang mereka cari. Tapi apa?

"Hikk..", suara isakan itu terdengar lagi. Aku berusaha untuk tak bergerak di balik tembok dekat pintu itu.

"Ayah", suara itu terdengar makin sarat, nyaris berbalut dengan rasa keputusasaan.

Sementara aku masih belum mengerti apa yang terjadi, aku melihat kecoak yang  dipanggil dengan sebutan kakak itu mendekati kecoak yang satunya. Dugaanku kecoak kedua itu adalah sang adik. Mungkin. Atau mungkin juga sepupu, aku tak tahu pasti.

Sejurus sang kakak kecoak itu tampak seperti sedang memeluk si adik dengan penuh kasih sayang dan membisikkan sesuatu. Aku mengerahkan seluruh kekuatan pendengaranku untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.

"Mungkin jasad ayah sudah dibuang oleh manusia itu ke suatu tempat", bisik sang kakak.

"Ayah?", batinku kaget. Jadi kecoak yang tadi berkelahi denganku itu adalah ayah mereka? Dan diam2 tadi keduanya memergoki kami sedang berkelahi sampai akhirnya si ayah kecoak itu tersambar pukulan sapuku dan terkapar di lantai dan lalu istriku membuang jasadnya entah dimana.

Aku sungguh tiba2 merasa kalut, tak bisa berbuat apa2. Aku tertegun saja dan tak tahu harus bagaimana. Astaga!

"Tidak!, aku mau ayah.. !", teriak adik kecoak itu tertahan. "Aku mau ayah.. Ayah nggak mati kan kak? Ayah sudah  janji mau bawakan jajanan dan mainan buatku. Ayah pasti masih hidup, ayah sudah janji akan pulang..", kecoak kecil itu berlari ke sebuah sudut di teras rumah dan memeriksa di dekat keranjang sampah. Sang kakak yang tampak lebih tenang dan dewasa itu buru2 mengejar dan langsung memeluknya lagi. Mereka pun menangis sambil berpelukan erat.

"Ayaah..", tangis mereka meledak dan dadaku tiba2 terasa tertindih dan sesak. Perasaan bersalah seperti tumpah ruah tak terbendung.

"Kenapa mereka tega .. apa kesalahan ayah hingga harus dibunuh, kak?, terdengar lagi suara sang adik disertai isakan yang makin menjadi. "Ayah hanya ingin cari makan, itupun bukan untuk dirinya sendiri, tapi buat kita, juga ibuk. Apa yang mereka pikirkan? Tangan kanan ayah sakit, tapi dia masih keluar agar kita bisa tetap hidup. Kenapa mereka tidak mengerti?"

Kakiku tiba2 terasa gemetar. Aku tak menyangka kalimat2 kecoak kecil itu begitu jauh melampaui pikiranku sendiri.

"Sudahlah, mari kita pulang dan memberitahu ibuk..", sang kakak mencoba menenangkan, tapi sang adik seperti sudah dipenuhi gejolak kemarahan. Tiba2 dia mendongak ke atas. Sungutnya sebentar bergerak2 dan lalu diam. Keadaan tiba2 sepi, tapi sebentar kemudian kembali pecah oleh kata2 yang diucapkannya,

"Tuhan.. kami tak pernah protes Kauciptakan kami dalam bentuk kami yang sekarang. Kami menjadi pengabdimu yang bersyukur dan mengagungkanMu dengan segala nikmat hidup pemberianMu... Tapi jika bentuk kami ini terlalu menjijikkan bagi manusia dan menjadi lantaran bagi kematian ayah kami dan juga mungkin bagi ibuk dan diri kami sendiri, maka salahkah bila kami bertanya?.. Kenapa manusia membunuh kami hanya dengan alasan yg bukan saja sederhana tapi juga menyakiti perasaan kami: jijik..! berilah keadilan hidup itu pada kami, Tuhan.."

Sang kakak memeluk makin erat. Suara isak tangis mereka seperti dengung yang terdengar makin pekat dan menjelma teror, melesak ke sanubari terdalamku.

"Maafkan, kecoak", kataku tiba2 sambil keluar dari balik pintu dan mendekati mereka. Serta merta pelukan kedua kecoak itu buyar dan mereka segera bersembunyi.

"Maafkan kami..", kataku lagi sambil melangkah mendekati tong sampah. Aku tak peduli mereka melihatku atau tidak. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku menyesal dan tak ingin membunuh mimpi dan kasih sayang seekor ayah yang sangat mereka sayangi.

Aku mengeluarkan jasad kecoak yg tadi kupukul hingga tak berdaya itu dari keranjang sampah. "Untung istriku membuangnya di sini..", batinku. Aku sengaja mengangangkatnya dengan jariku. Rasa bersalah mengalahkan rasa geli terhadap hewan itu. Kuletakkan jasad itu di lantai dan segera kembali ke tempatku semula.

"Sungguh, maafkan kami..", bisikku lirih. Sejurus sudut mataku menangkap sebuah gerakan kecil di sebuah pot plastik. Dengan ragu2 kedua kecoak muda itu mendekati jasad ayah mereka. Sesekali mereka masih melihat ke arahku, dan aku pun membalasnya dengan gumaman kecil, "Maafkan kami".

Tangis itu tiba2 kembali pecah. Kedua makhluk kecil itu memeluk tubuh sang ayah dan sesekali menggoyang2kannya sengan keras. "Ayaaah..", suara mereka kembali mencabik2 perasaan. Kali ini aku tak mampu menahan lagi. Mataku kurasa berat dan mulai basah. Aku pun menangis di sudut pintu itu.

"Ayah..?", tiba2 kudengar panggilan itu untuk yang kesekian kalinya, tapi saat itu dengan sedikit nada yang sedikit berbeda. Kuseka kedua mataku dan kulihat ke arah ketiga kecoak itu.

Kembali darahku seperti berhenti dipompa tiba2. Cukup lama aku terdiam tanpa berkata apa2, sebelum akhirnya suara istriku terdengar renyah memanggil dari dalam dapur.

"Makanan sudah siap, ayo kita makan!"
"Iya..", jawabku pelan dan datar. Mataku tak beranjak dari ketiga makhluk kecil itu. Sejenak ketiganya menatapku sebelum akhirnya menghilang di balik pot plastik, tanpa berkata apapun.

Aku melangkah gontai menuju dapur. Malam itu kami makan nikmat sekali. Dan seperti biasa seusai makan kami hanya duduk saja di tempat itu sambil mengobrol dan saling bercerita. Dan ketika istriku mendengarkan kisah ketiga kecoak itu hingga akhir, kakinya seperti tertanam di lantai. Ia hanya terdiam dan menatapku penuh seksama. Aku tahu sebentar lagi banjir itu akan segera meluap di matanya.

-- Tamat --

Jakarta, 18 Nov 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun