"Sungguh, maafkan kami..", bisikku lirih. Sejurus sudut mataku menangkap sebuah gerakan kecil di sebuah pot plastik. Dengan ragu2 kedua kecoak muda itu mendekati jasad ayah mereka. Sesekali mereka masih melihat ke arahku, dan aku pun membalasnya dengan gumaman kecil, "Maafkan kami".
Tangis itu tiba2 kembali pecah. Kedua makhluk kecil itu memeluk tubuh sang ayah dan sesekali menggoyang2kannya sengan keras. "Ayaaah..", suara mereka kembali mencabik2 perasaan. Kali ini aku tak mampu menahan lagi. Mataku kurasa berat dan mulai basah. Aku pun menangis di sudut pintu itu.
"Ayah..?", tiba2 kudengar panggilan itu untuk yang kesekian kalinya, tapi saat itu dengan sedikit nada yang sedikit berbeda. Kuseka kedua mataku dan kulihat ke arah ketiga kecoak itu.
Kembali darahku seperti berhenti dipompa tiba2. Cukup lama aku terdiam tanpa berkata apa2, sebelum akhirnya suara istriku terdengar renyah memanggil dari dalam dapur.
"Makanan sudah siap, ayo kita makan!"
"Iya..", jawabku pelan dan datar. Mataku tak beranjak dari ketiga makhluk kecil itu. Sejenak ketiganya menatapku sebelum akhirnya menghilang di balik pot plastik, tanpa berkata apapun.
Aku melangkah gontai menuju dapur. Malam itu kami makan nikmat sekali. Dan seperti biasa seusai makan kami hanya duduk saja di tempat itu sambil mengobrol dan saling bercerita. Dan ketika istriku mendengarkan kisah ketiga kecoak itu hingga akhir, kakinya seperti tertanam di lantai. Ia hanya terdiam dan menatapku penuh seksama. Aku tahu sebentar lagi banjir itu akan segera meluap di matanya.
-- Tamat --
Jakarta, 18 Nov 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H