Mohon tunggu...
Nur Lodzi Hady
Nur Lodzi Hady Mohon Tunggu... Seniman - Warga negara biasa

Seorang pembelajar yang mencintai puisi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Kecoak di Rumahku

19 November 2015   11:50 Diperbarui: 26 November 2015   07:57 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sungguh tiba2 merasa kalut, tak bisa berbuat apa2. Aku tertegun saja dan tak tahu harus bagaimana. Astaga!

"Tidak!, aku mau ayah.. !", teriak adik kecoak itu tertahan. "Aku mau ayah.. Ayah nggak mati kan kak? Ayah sudah  janji mau bawakan jajanan dan mainan buatku. Ayah pasti masih hidup, ayah sudah janji akan pulang..", kecoak kecil itu berlari ke sebuah sudut di teras rumah dan memeriksa di dekat keranjang sampah. Sang kakak yang tampak lebih tenang dan dewasa itu buru2 mengejar dan langsung memeluknya lagi. Mereka pun menangis sambil berpelukan erat.

"Ayaah..", tangis mereka meledak dan dadaku tiba2 terasa tertindih dan sesak. Perasaan bersalah seperti tumpah ruah tak terbendung.

"Kenapa mereka tega .. apa kesalahan ayah hingga harus dibunuh, kak?, terdengar lagi suara sang adik disertai isakan yang makin menjadi. "Ayah hanya ingin cari makan, itupun bukan untuk dirinya sendiri, tapi buat kita, juga ibuk. Apa yang mereka pikirkan? Tangan kanan ayah sakit, tapi dia masih keluar agar kita bisa tetap hidup. Kenapa mereka tidak mengerti?"

Kakiku tiba2 terasa gemetar. Aku tak menyangka kalimat2 kecoak kecil itu begitu jauh melampaui pikiranku sendiri.

"Sudahlah, mari kita pulang dan memberitahu ibuk..", sang kakak mencoba menenangkan, tapi sang adik seperti sudah dipenuhi gejolak kemarahan. Tiba2 dia mendongak ke atas. Sungutnya sebentar bergerak2 dan lalu diam. Keadaan tiba2 sepi, tapi sebentar kemudian kembali pecah oleh kata2 yang diucapkannya,

"Tuhan.. kami tak pernah protes Kauciptakan kami dalam bentuk kami yang sekarang. Kami menjadi pengabdimu yang bersyukur dan mengagungkanMu dengan segala nikmat hidup pemberianMu... Tapi jika bentuk kami ini terlalu menjijikkan bagi manusia dan menjadi lantaran bagi kematian ayah kami dan juga mungkin bagi ibuk dan diri kami sendiri, maka salahkah bila kami bertanya?.. Kenapa manusia membunuh kami hanya dengan alasan yg bukan saja sederhana tapi juga menyakiti perasaan kami: jijik..! berilah keadilan hidup itu pada kami, Tuhan.."

Sang kakak memeluk makin erat. Suara isak tangis mereka seperti dengung yang terdengar makin pekat dan menjelma teror, melesak ke sanubari terdalamku.

"Maafkan, kecoak", kataku tiba2 sambil keluar dari balik pintu dan mendekati mereka. Serta merta pelukan kedua kecoak itu buyar dan mereka segera bersembunyi.

"Maafkan kami..", kataku lagi sambil melangkah mendekati tong sampah. Aku tak peduli mereka melihatku atau tidak. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku menyesal dan tak ingin membunuh mimpi dan kasih sayang seekor ayah yang sangat mereka sayangi.

Aku mengeluarkan jasad kecoak yg tadi kupukul hingga tak berdaya itu dari keranjang sampah. "Untung istriku membuangnya di sini..", batinku. Aku sengaja mengangangkatnya dengan jariku. Rasa bersalah mengalahkan rasa geli terhadap hewan itu. Kuletakkan jasad itu di lantai dan segera kembali ke tempatku semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun