Mohon tunggu...
Fadli Hermawan
Fadli Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka minum coklat hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memorabilia

11 November 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakek Soewardji membenarkan, “Betul, nak. Saya pun juga tidak menyangka, jalan hidup saya berujung dengan menjadi pejuang kemerdekaan”. Beliau melanjutkan obrolannya, “Saya sendiri waktu itu masih berumur 20 tahun. Bahkan saya tidak memiliki pengalaman dalam kemiliteran. Sebelum bergabung dengan pasukan pejuang kemerdekaan, saya adalah seorang pemain cello. Biasanya saya berlatih cello kala sedang tidak pergi ke medan juang. Yah, sekedar untuk mengisi waktu luang saja. Bengawan Solo juga menjadi lagu pertama yang saya mainkan sendiri dengan cello. Saya suka lagunya. Yang saya dengar, orang-orang Jepang dan Belanda kala itu pun juga menyukai lagu tersebut.”

Aku menanggapi, “Saya juga pernah memainkan cello saat masih SMA. Kalau sedang sendirian dan jenuh, saya suka memainkannya. Sejenak saya bisa menenangkan diri, melupakan segala masalah yang saya alami. Segala hal yang tak bisa saya ungkapkan, kutuangkan dengan bermain cello. Hidup saya bagai alunan-alunan musik bernada melankolis. Saya masih belum menemukan apa tujuan saya hidup di dunia ini. Melihat keadaan orang lain yang normal, optimis dalam hidupnya bahkan kehadirannya dikagumi dan dirindukan oleh banyak orang, muncul perasaan iri pada mereka. Saya sudah lama menderita penyakit jantung. Kondisi saya lemah, tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas layaknya orang-orang pada umumnya. Kehadiran saya, mungkin hanya menambah beban bagi orang lain. Maka dari itu, tidak menjadi masalah bila saya pergi meninggalkan dunia ini.“

Dalam hati aku bertanya, mengapa aku menceritakan hal ini pada kakek Soewardji? Bukankah seharusnya kututup rapat-rapat dalam hatiku? Aku tidak ingin orang lain tahu mengenai keadaanku. Tetapi, mengapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku? Apakah kakek Soewardji merupakan orang yang kucari selama ini, untuk mengutarakan isi hatiku? Tanpa terasa, perlahan air mata mulai mengalir, tetapi dengan cepat aku mengusapnya.

Kakek Soewardji kemudian memegang bahuku, seraya mengatakan sesuatu. “Nak Denny, jangan berputus asa dan terus tenggelam dalam kesedihan. Kamu masih muda. Perjuanganmu masih panjang. Meski kamu sakit, bukan berarti segalanya telah berakhir. Jantungmu masih berdetak. Itu tanda bahwa kamu masih diberikan anugerah oleh Tuhan agar kamu memahami seperti apa arti perjuangan. Penderitaan saya dulu jauh terasa lebih berat. Sempat saya dijebloskan ke penjara dan disiksa oleh para tentara asing itu. Mereka ingin agar saya bersama rekan yang lainnya menyerah, namun kami tetap menolak. Bayangkan, betapa banyak sudah tetesan darah dan keringat yang mengalir selama masa penyiksaan itu. Kami dicambuk, dipukuli dan ditendang dengan begitu kasar. Ada rekan kami yang sampai cacat, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Makanya, saya merasa miris bila generasi muda bila berlaku seperti para geng motor itu. Kemanakah sisi kemanusiaan mereka? Kemanakah sisi patriotik mereka? Kemanakah sisi semangat berjuang mereka? Mengapa mereka hanya memikirkan ego mereka semata? Siapa lagi yang dapat menjaga negeri ini, meneruskan perjuangan para pahlawan terdahulu, bila bukan generasi muda sekarang?”

“Tetaplah berjuang. Berjuanglah untuk hidupmu. Tidak perlu kamu mengangkat senjata seperti yang pernah kami lakukan. Cukuplah kamu lakukan sesuatu yang bisa kamu lakukan. Tempuhlah langkah mana yang ingin kamu tempuh. Andaikata saya masih tetap muda seperti sediakala, sudah barang tentu saya ingin berperan lebih jauh dalam mengisi kemerdekaan ini. Saya ingin memperkenalkan lagu-lagu asli Indonesia pada mata dunia dengan membentuk orkestra. Itu merupakan salah satu impian saya. Warna-warni negeri ini, saya ingin ungkapkan lewat bermusik.”

Ucapannya serasa bagaikan guntur yang menyambar hati. Tak pernah aku mendengar kata-kata penuh makna seperti itu, apalagi diucapkan dari seseorang yang tak kukenal, namun ternyata beliau merupakan salah satu pejuang yang turut memerdekakan negeri ini.

Sepanjang perjalanan, aku merenungi kata-kata kakek Soewardji, seraya kualihkan pandanganku pada langit senja yang menghitam.

---oOo---

(Litografi Batavia dari Buku Tua. Ilustrasi: Satulingkar)

Sudah pukul enam sore. Akhirnya kami sampai juga di depan Gang Sirih. Rintik-rintik hujan mulai turun kembali membasahi bumi. Suasana jalan agak senyap. Di sekelilingnya masih terdapat kebun-kebun kosong dan pepohonan besar. Penerangan pun juga terbatas. Sebagian lampunya ada yang pecah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun