Mohon tunggu...
Fadli Hermawan
Fadli Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka minum coklat hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memorabilia

11 November 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakek itu menjabat tangannya padaku, “Saya Soewardji.”

Kulirik sejenak tanda pengenal yang melekat di sisi kiri bajunya, dan ternyata betul si kakek bernama Soewardji, yang tertulis dalam ejaan lama. Tak lama kemudian, aku menawarkan bantuan padanya, “Sepeda onthel kakek rusak karena berandalan bodoh itu. Mari saya bantu kek.”

“Terima kasih nak. Kamu pemuda yang baik.”, ucap si kakek.

Ucapan kakek Soewardji terdengar tulus di telingaku. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. Perasaan sesuatu yang begitu hangat terasa masuk ke dalam jiwa, meski aku tak tahu bagaimana menjelaskannya.

Setengah jam telah berlalu. Langit senja kembali mendung, siap akan menumpahkan kembali tetesan air hujan. Kuputuskan aku tidak jadi pergi ke Kota Tua. Sebaiknya aku mengantar kakek Soewardji pulang ke rumahnya. Aku tidak tega melihat seorang kakek renta diabaikan begitu saja, apalagi kalau sambil hujan-hujanan di tengah perjalanan.

Aku bertanya padanya, “Kek, kelihatannya hujan akan turun kembali. Boleh saya temani kakek pulang ke rumah? Di mana alamat rumah kakek?”

“Rumah saya di Gang Sirih. Tak terlalu jauh dari sini. Sekitar 30 menit kalau berjalan kaki. Saya sih sudah terbiasa jalan kaki, kalau sedang tidak bersepeda, meski tak sekuat waktu muda dulu. Toh, yang penting semangatnya!”, jawab kakek Soewardji sembari tertawa kecil."

“Kakek hebat...”, aku tertegun.

Dengan langkah kaki beriringan, aku berjalan sembari memapah sepeda onthel milik kakek Soewardji menuju rumahnya. Untuk menghempas rasa sunyi, kakek Soewardji menyetel radio kaset kecilnya. Suaranya masih terbilang cukup kencang, meski aku sama sekali tidak tahu apa judul lagu yang sedang diputar.

Tiba-tiba kakek Soewardji berbicara padaku, “Ini lagu yang sering saya dengar saat masa-masa perjuangan kemerdekaan dulu. Judulnya Bengawan Solo, gubahan Gesang. Setiap kali saya menyetel lagu ini, terbayang kenangan saat-saat saya dulu berjuang bersama rekan seperjuangan yang lain. Berperang melawan tentara Belanda dan Inggris kala itu. Banyak rekan saya yang tewas, tetapi semangat mereka terus menghidupi saya dan rekan-rekan lain yang masih bernafas untuk terus berjuang. Saat itu orang-orang rela berkorban jiwa dan raga. Mereka ingin agar negeri ini merdeka, lepas dari penjajahan. Kalau kata bung Karno, bangsa ini harus mampu berdikari.”

Aku terkejut. Dari awal aku penasaran apakah kakek Soewardji adalah seorang veteran, bila melihat baju yang dikenakannya, tetapi saat itu aku belum berani menanyakan hal tersebut. “Jadi, betul kakek dulu seorang pejuang kemerdekaan?”, tanyaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun