Mohon tunggu...
Fadli Hermawan
Fadli Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka minum coklat hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memorabilia

11 November 2014   06:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Untunglah, aku membawa audio player.”, aku berkata pada diriku sendiri.

Sesaat sebelum aku memasangkan headset ke telingaku, tepat di seberang jalan, kulihat sekelompok geng murid-murid SMA sedang berlari-larian sembari teriak memaki-maki dengan geng lainnya. Ada yang membawa pentungan, ada yang sambil melempari batu. Ada pula yang membawa airsoft gun dan berulang kali menembakkan senjata yang berisikan peluru plastik terhadap lawannya. Rupanya mereka sedang tawuran. Kulihat semangat mereka meluap-luap, tetapi tidak terkontrol. Semangat mereka dikalahkan oleh ego dan amarah mereka masing-masing.

Sontak, suasana menjadi semakin kisruh. Dan kulihat sepintas beberapa pengendara marah-marah kepada mereka, karena telah menganggu ketertiban jalan. Sebagian lagi merasa panik, takut terkena lemparan batu dan tembakan. Tetapi, geng-geng murid SMA tersebut tidak mengacuhkannya. Bahkan, tindakannya semakin menjadi-jadi saja.

“Brandal, ayo cepat pergi dari sini!”, teriakku pada anjing peliharanku.

Dengan sekuat tenaga aku berlari untuk menjauh dari mereka. Namun, belum ada satu menit, dadaku mulai terasa sesak. Jantungku berdebar kencang. Keringat dingin mulai mengucur. Aku tak tahan. Dan aku memutuskan untuk beristirahat sembari duduk menyepi di pinggir dinding salah satu gedung. Aku terhindar dari perilaku anarkis mereka.

Sambil mendekap dadaku yang masih sesak, dalam hati aku berkata, “Ah, kenapa mereka saling berkelahi? Tak bisakah diselesaikan dengan baik-baik? Mengapa mereka senang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Apakah mereka melakukan hal demikian hanya untuk menunjukkan gengsi dan harga diri mereka? Lantas, untuk apa pula mereka sekolah bila kenyataannya mereka lebih suka menjadi preman? Bukankah lebih baik hari-hari mereka diisi dengan belajar dan melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat?

Kemudian sejenak aku termenung. Di saat yang sama, aku berpikir lantas apalah keberadaanku di dunia ini. Selama penyakitku masih setia menemaniku, tak banyak hal yang bisa kulakukan. Bahkan untuk tawuran seperti geng-geng murid SMA yang baru kulihat saja aku tidak bisa, walaupun sebenarnya aku tidak suka akan perbuatan bodoh semacam itu. Aku hanya tinggal menanti kapan maut datang menjemputku. Aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Berkali-kali aku merasa bahwa kehadiranku di dunia ini hanyalah merepotkan orang lain saja. Apalagi, aku seorang laki-laki. Tak sepatutnya laki-laki menyerah. Berjuang dalam hidup. Memiliki jiwa pemimpin, setidaknya mampu memimpin diri sendiri. Andaikata aku memiliki keluarga, apa iya aku hanya duduk-duduk manis di rumah saja sementara istriku yang bekerja mencari nafkah. Hal ini jugalah yang hingga sekarang, aku masih belum memiliki seorang kekasih dambaan hatiku. Keadaanku yang payah membuat aku terlalu takut untuk menerima kenyataan. Aku tumbuh menjadi pribadi yang rapuh dan lemah.

Perlahan, rasa sesak di dadaku mulai berkurang. Denyut jantungku kembali normal. Tetapi, aku masih terlalu letih untuk berjalan. Kuambil sebotol air putih dari tas kecilku, lalu kuteguk demi seteguk untuk melepas rasa dahaga yang sedari tadi mencekik leherku.

Dari seberang jalan, aku melihat seorang kakek renta sedang turun dari sepeda onthel tua miliknya. Ia berpakaian seperti tentara jaman dulu, lengkap dengan topi kuning yang menghiasi kepalanya. Di belakang sepedanya, terdapat satu boks yang berisikan aneka macam kue dan camilan kecil. Kuamati juga sebuah bendera RI kecil yang terikat pada sebatang kayu di bagian depan sepeda. Sesekali ia menghitung uang hasil penjualannya. Aku tertegun, melihat seorang kakek renta masih sanggup berjualan. Apalagi dengan mengendarai sepeda.

Tak lama kemudian, aku melihat sekumpulan geng motor yang jaraknya tidak jauh dariku. Penampilan mereka seperti preman, lengkap dengan aksesoris dan gaya rambut yang bagiku terlihat aneh. Seakan ingin menunjukkan kalau mereka itu kuat dan ditakuti. Mereka saling berkebut-kebutan, tidak menghiraukan sekelilingnya.

Selang beberapa waktu, aku mendengar hujatan dari salah seorang di antara mereka. Sepertinya ia baru saja menabrak sesuatu. Aku langsung menoleh, melihat apa yang sedang terjadi. Aku terkejut, rupanya ia menabrak sepeda onthel milik si kakek renta tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun