(Window oleh Boias. Ilustrasi: Devianart)
“Aku tak akan melupakan momen senja kala waktu itu. Pertemuanku dengannya mulai membuatku memikirkan kembali tentang makna perjuangan. Inilah, memorabiliaku.”
Langit mendung bergumul kelabu, menanti tetesan hujan yang siap turun membasahi daun-daun pohon dan tanah-tanah berlapis aspal. Cahaya matahari yang biasanya menyinari pagi dengan begitu terangnya, terhalang oleh kumpulan awan-awan kelam. Udara tak bercampur debu-debu yang beterbangan masih terasa segar berhembus kencang. Orang-orang, seperti biasa, tetap melakukan kegiatan sehari-harinya, mencari penghidupan. Mereka melangkahkan kaki dengan ringan. Sesekali mereka harus menghindari jalanan becek bekas hujan semalam dan para pengemudi kendaraan bermotor yang senang sekali mengebut, seolah-olah menunjukkan kebanggaannya karena dapat menguasai jalan. Sementara anak-anak sekolah dasar berlari-larian sembari mengejar bus sekolah berwarna kuning. Rupanya pak supir tak mendengar, sampai salah seorang dari mereka berteriak agar pak supir segera menghentikan busnya. Dengan nafas terengah-engah, tubuh mungil mereka akhirnya berhasil masuk ke dalam bus.
Yah, begitulah pemandangan pertama yang kulihat dari balik jendela. Hanya kusingkapkan sedikit tirai hijau yang menutupinya. Selang beberapa waktu kemudian, aku menatap langit yang sebentar lagi tiada kuasa akan menurunkan hujan. Beberapa kali, diselingi oleh suara gemuruh petir. Tidak ada yang aneh. Pemandangan seperti itu terasa hampa dan biasa saja bagiku. Seperti halnya keadaan rumahku yang sepi. Aku merasa bosan.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sementara teman-temanku sudah lulus dari bangku kuliah, bekerja di luar negeri, hingga menikmati buah kesuksesan, aku masih tidak tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku. Sempat aku kuliah, tetapi tak lama kemudian aku memutuskan untuk berhenti saja. Sudah lama pula aku tak saling berkirim kabar terhadap teman-temanku. Yah, mungkin karena aku sendiri yang berusaha untuk menjaga jarak dengan mereka.
Aku tak bergairah dalam menjalani hidup. Aku tahu, kapan saja aku dapat mati meninggalkan dunia ini. Semenjak kecil, aku mengidap penyakit jantung. Badanku serasa lemah, seperti daun yang mudah dihempaskan oleh angin. Untuk berlari-lari kecil saja, aku sudah merasa kepayahan. Terlebih lagi jiwaku. Hari-hariku lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat, menanti kesembuhan yang entah kapan kunjung datangnya. Berapa banyak kesempatan yang sudah kulewati selama ini, mencari berbagai pengalaman hidup. Keluar dari zona membosankan. Berlagak seperti jagoan muda yang gagah, kalau perlu. Tetapi, semua itu hanyalah khayalan aku saja.
Aku sendiri jarang sekali bertemu dengan orangtuaku. Setidaknya dalam keadaanku yang seperti ini, aku membutuhkan sosok mereka. Kalau kebetulan ada acara yang sangat penting saja, aku berkesempatan untuk menemuinya. Itupun tidaklah lama. Bahkan menanyakan bagaimana kondisi penyakitku saja hampir tidak pernah. Mereka lebih sering berada di luar negeri, lebih mementingkan bisnis yang dijalankannya. Hubungan antara ayah dan ibuku memang sudah lama agak renggang. Di hadapanku, mereka seringkali menutupinya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tetapi, aku bisa membaca apa yang mereka sembunyikan di lubuk hati mereka. Dan aku tidak ingin membahasnya, lebih memilih diam.
Terhadap kakakku, Ardy, aku juga jarang bertemu dengannya. Maklum, ia seorang tentara. Umurnya lima tahun lebih tua dariku. Ia seringkali menyempatkan diri untuk mampir ke rumah kala tak sedang bertugas, mungkin setahun dua hingga tiga kali. Kerap kali ia suka bercanda dan melucu untuk menghiburku. Tak jarang pula ia suka berbuat iseng. Aku kagum dengan sikapnya yang selalu bersemangat dan terlihat gagah meski aku merasa heran juga, bagaimana kakakku memiliki sifat humoris seperti itu, padahal ia adalah anggota militer. Dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana bisa kakakku yang ceroboh dan konyol itu bisa diterima sebagai anggota militer. Mungkin karena semangatnya dan sikap optimisnya yang kuat yang dimilikinya. Yang pernah kudengar darinya, ia secara spontan pernah menembakkan pistol yang hampir saja mengenai atasannya, hanya karena ia melihat seekor tokek datang menghampiri meja makan. Kakakku memiliki fobia terhadap reptil tersebut. Akibatnya, seisi ruang makan menjadi heboh kala itu. Beruntung, ia tak dikeluarkan. Sebagai gantinya, dia dihukum dengan mencuci pakaian atasannya selama satu bulan.
Kakakku pernah mengatakan padaku bahwa ia ingin masuk militer karena rasa kekagumannya akan sosok Jenderal Soedirman, yang menurutnya sarat makna akan perjuangan. Alasan lainnya adalah ia merasa bangga bila dapat melindungi adiknya. Meski aku tak terlalu menanggapinya dengan serius, aku setuju saja dengan keinginannya itu. Sempat ditentang oleh kedua orangtuaku karena mereka ingin agar kakakku menjadi pengusaha, namun kakakku tetap bersikeras pada pendiriannya.
Setidaknya, kehadiran kakakku sanggup untuk mengobati rasa kesepian yang seringkali menghantui diriku. Kadang aku menelepon atau berkirim surat dengannya untuk sekadar menanyakan kabar. Tetapi umumnya, aku tidak ingin mengutarakan apa yang sedang kurasakan pada orang lain. Semua itu kututup rapat-rapat dalam hatiku. Aku tidak mau membuat mereka merasa terbebani oleh keadaanku.
Aku menuju ruang makan. Sejenak aku memandang ke luar dari balik jendela. Tetesan hujan rupanya mulai turun, berdenting mengenai atap rumah. Tak lama kemudian mengalir dengan derasnya. Angin bergemuruh semakin kencang. Suara-suara petir saling bersahut-sahutan, menggelegar di angkasa. Kembali perasaan hampa mengisi hatiku.
---oOo---
(Kanal Old Batavia oleh Moel Soenarko. Ilustrasi: Rusemoes)
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Hujan baru berhenti sekitar jam dua siang. Tak terlihat secercah pelangi, namun langit agak cerah kemerahan. Menandakan senja yang muncul dari ufuk barat.
Aku menghela nafas sambil berkata pada diriku sendiri, “Cepat sekali waktu berlalu. Seperti halnya diriku yang akan lekas berlalu pula dari dunia yang membosankan ini.”
Aku memutuskan untuk keluar rumah sejenak, sembari mengajak anjing peliharaanku. Namanya Brandal. Entah ide darimana aku memberinya nama itu padanya. Berjenis husky dan memiliki bulu putih kehitam-hitaman. Kupungut ia saat aku menemukannya sedang terkapar karena ditabrak lari oleh pengendara mobil, persis di depan rumahku beberapa tahun yang lalu. Dalam keadaan lemah, aku membawanya masuk ke dalam rumah. Mulanya kakakku tidak setuju karena ia lebih tertarik pada kucing. Selain itu ia juga pernah digigit anjing akibat keisengannya, tetapi aku berhasil meyakinkannya bahwa aku ingin memelihara anjing tersebut yang menurutku lucu. Akhirnya, kakakku menyetujui permintaanku.
“Ayo, kita pergi keluar.”, aku berbicara pada Brandal.
“Guk! Guk!”, Brandal membalas. Seolah ia mengatakan setuju padaku.
Aku sengaja tidak memakai tali ikatan pada Brandal, karena menurutku ia sudah mengerti. Ke mana saja aku pergi, ia mengikutiku. Ia juga tak segan untuk membawakan paket kiriman kecil padaku. Mungkin itulah cara dia mengungkapkan rasa terima kasihnya padaku karena telah menyelamatkannya.
Aku melangkahkan kakiku yang beralaskan sandal menuju Kota Tua. Suasana mulai ramai oleh banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang, memadati dan membuat macet jalan raya. Udaranya juga tak sesegar di pagi hari, karena telah bercampur dengan asap-asap yang keluar dari tiap-tiap kendaraan. Belum lagi suara bising dari nyala mesin dan bunyi klakson yang saling bersahut-sahutan. Dalam hati aku berkata, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu.
“Untunglah, aku membawa audio player.”, aku berkata pada diriku sendiri.
Sesaat sebelum aku memasangkan headset ke telingaku, tepat di seberang jalan, kulihat sekelompok geng murid-murid SMA sedang berlari-larian sembari teriak memaki-maki dengan geng lainnya. Ada yang membawa pentungan, ada yang sambil melempari batu. Ada pula yang membawa airsoft gun dan berulang kali menembakkan senjata yang berisikan peluru plastik terhadap lawannya. Rupanya mereka sedang tawuran. Kulihat semangat mereka meluap-luap, tetapi tidak terkontrol. Semangat mereka dikalahkan oleh ego dan amarah mereka masing-masing.
Sontak, suasana menjadi semakin kisruh. Dan kulihat sepintas beberapa pengendara marah-marah kepada mereka, karena telah menganggu ketertiban jalan. Sebagian lagi merasa panik, takut terkena lemparan batu dan tembakan. Tetapi, geng-geng murid SMA tersebut tidak mengacuhkannya. Bahkan, tindakannya semakin menjadi-jadi saja.
“Brandal, ayo cepat pergi dari sini!”, teriakku pada anjing peliharanku.
Dengan sekuat tenaga aku berlari untuk menjauh dari mereka. Namun, belum ada satu menit, dadaku mulai terasa sesak. Jantungku berdebar kencang. Keringat dingin mulai mengucur. Aku tak tahan. Dan aku memutuskan untuk beristirahat sembari duduk menyepi di pinggir dinding salah satu gedung. Aku terhindar dari perilaku anarkis mereka.
Sambil mendekap dadaku yang masih sesak, dalam hati aku berkata, “Ah, kenapa mereka saling berkelahi? Tak bisakah diselesaikan dengan baik-baik? Mengapa mereka senang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Apakah mereka melakukan hal demikian hanya untuk menunjukkan gengsi dan harga diri mereka? Lantas, untuk apa pula mereka sekolah bila kenyataannya mereka lebih suka menjadi preman? Bukankah lebih baik hari-hari mereka diisi dengan belajar dan melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat?”
Kemudian sejenak aku termenung. Di saat yang sama, aku berpikir lantas apalah keberadaanku di dunia ini. Selama penyakitku masih setia menemaniku, tak banyak hal yang bisa kulakukan. Bahkan untuk tawuran seperti geng-geng murid SMA yang baru kulihat saja aku tidak bisa, walaupun sebenarnya aku tidak suka akan perbuatan bodoh semacam itu. Aku hanya tinggal menanti kapan maut datang menjemputku. Aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Berkali-kali aku merasa bahwa kehadiranku di dunia ini hanyalah merepotkan orang lain saja. Apalagi, aku seorang laki-laki. Tak sepatutnya laki-laki menyerah. Berjuang dalam hidup. Memiliki jiwa pemimpin, setidaknya mampu memimpin diri sendiri. Andaikata aku memiliki keluarga, apa iya aku hanya duduk-duduk manis di rumah saja sementara istriku yang bekerja mencari nafkah. Hal ini jugalah yang hingga sekarang, aku masih belum memiliki seorang kekasih dambaan hatiku. Keadaanku yang payah membuat aku terlalu takut untuk menerima kenyataan. Aku tumbuh menjadi pribadi yang rapuh dan lemah.
Perlahan, rasa sesak di dadaku mulai berkurang. Denyut jantungku kembali normal. Tetapi, aku masih terlalu letih untuk berjalan. Kuambil sebotol air putih dari tas kecilku, lalu kuteguk demi seteguk untuk melepas rasa dahaga yang sedari tadi mencekik leherku.
Dari seberang jalan, aku melihat seorang kakek renta sedang turun dari sepeda onthel tua miliknya. Ia berpakaian seperti tentara jaman dulu, lengkap dengan topi kuning yang menghiasi kepalanya. Di belakang sepedanya, terdapat satu boks yang berisikan aneka macam kue dan camilan kecil. Kuamati juga sebuah bendera RI kecil yang terikat pada sebatang kayu di bagian depan sepeda. Sesekali ia menghitung uang hasil penjualannya. Aku tertegun, melihat seorang kakek renta masih sanggup berjualan. Apalagi dengan mengendarai sepeda.
Tak lama kemudian, aku melihat sekumpulan geng motor yang jaraknya tidak jauh dariku. Penampilan mereka seperti preman, lengkap dengan aksesoris dan gaya rambut yang bagiku terlihat aneh. Seakan ingin menunjukkan kalau mereka itu kuat dan ditakuti. Mereka saling berkebut-kebutan, tidak menghiraukan sekelilingnya.
Selang beberapa waktu, aku mendengar hujatan dari salah seorang di antara mereka. Sepertinya ia baru saja menabrak sesuatu. Aku langsung menoleh, melihat apa yang sedang terjadi. Aku terkejut, rupanya ia menabrak sepeda onthel milik si kakek renta tersebut.
“Minggir! Ngalangin jalan aja! Masih untung nggak ketabrak! Lagi ngapain juga hari gini masih pake baju lusuh kayak gitu! Indonesia udah merdeka! Mau perang sama siapa!”, ia berteriak kesal pada si kakek renta itu.
Serta-merta aku menghampirinya dan segera aku ingin menelepon polisi. Tetapi, ia menodongkan pistol padaku. “Apa liat-liat?! Awas kalo sampe berani panggil polisi!”, teriak kasar si pelaku. Hal itu membuatku kaget setengah mati. Lututku gemetaran. Akhirnya, aku hanya diam membisu. Sang kakek yang berada di dekatku, berusaha untuk melindungiku.
“Apa sebenarnya maumu, anak muda?”, tanya sang kakek. Sorot matanya tak tersirat sedikitpun rasa takut. Suaranya terdengar tegar meski sedikit parau. Sang kakek terlihat tenang. Aku yang melihatnya, takjub bercampur kagum.
“Jangan banyak tanya! Udah sini, serahin aja duitnya!”, balas ketus si pelaku.
Uang lima puluh ribu rupiah yang berada dalam genggaman tangan si kakek pun dirampas olehnya. Tak berapa lama, ia menendang sepeda onthel milik si kakek yang sedang tergeletak di pinggir jalan, lalu bergegas pergi sambil bergumam dan mengucapkan sumpah serapah yang tak jelas. Dan si kakek hanya terdiam sambil memandang ke arah jalan di kala senja. Entah apa yang dipikirkannya.
Dadaku kembali berdebar kencang. Kali ini bukan karena merasa kelelahan. Kulihat beberapa bagian sepedanya lecet. Standarnya patah. Tidak hanya itu, aku mengamati kue-kue dan camilan yang berada di boks juga bertebaran di sekitar jalan. Sebagian hancur tergilas ban sepeda motor. Kupungut sisa-sisa kue dan camilan yang masih layak untuk dimakan. Hatiku miris melihat hal semacam ini.
Dalam hati aku berkata, “Astaga, sebegitu tegakah perlakuan mereka?! Terlebih lagi terhadap seorang kakek tua renta?!”. Sebenarnya aku ingin sekali membalas perlakuan kasar dari anggota geng motor itu. Tetapi apa daya, diriku tak sanggup. Aku tiba-tiba merasa seperti pengecut.
Aku mendekati si kakek yang masih berdiri di samping jalan. “Kakek baik-baik saja? Apa kakek terluka?”, tanyaku padanya.
“Tidak apa-apa nak. Saya baik-baik saja. Tidak usah khawatir. Justru kakek merasa lega karena tidak terjadi apa-apa sama kamu.”, jawab si kakek sembari tersenyum.
Kemudian si kakek lanjut bertanya, “Siapa namamu nak?”
“Nama saya Denny.”, aku memperkenalkan diri.
Kakek itu menjabat tangannya padaku, “Saya Soewardji.”
Kulirik sejenak tanda pengenal yang melekat di sisi kiri bajunya, dan ternyata betul si kakek bernama Soewardji, yang tertulis dalam ejaan lama. Tak lama kemudian, aku menawarkan bantuan padanya, “Sepeda onthel kakek rusak karena berandalan bodoh itu. Mari saya bantu kek.”
“Terima kasih nak. Kamu pemuda yang baik.”, ucap si kakek.
Ucapan kakek Soewardji terdengar tulus di telingaku. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. Perasaan sesuatu yang begitu hangat terasa masuk ke dalam jiwa, meski aku tak tahu bagaimana menjelaskannya.
Setengah jam telah berlalu. Langit senja kembali mendung, siap akan menumpahkan kembali tetesan air hujan. Kuputuskan aku tidak jadi pergi ke Kota Tua. Sebaiknya aku mengantar kakek Soewardji pulang ke rumahnya. Aku tidak tega melihat seorang kakek renta diabaikan begitu saja, apalagi kalau sambil hujan-hujanan di tengah perjalanan.
Aku bertanya padanya, “Kek, kelihatannya hujan akan turun kembali. Boleh saya temani kakek pulang ke rumah? Di mana alamat rumah kakek?”
“Rumah saya di Gang Sirih. Tak terlalu jauh dari sini. Sekitar 30 menit kalau berjalan kaki. Saya sih sudah terbiasa jalan kaki, kalau sedang tidak bersepeda, meski tak sekuat waktu muda dulu. Toh, yang penting semangatnya!”, jawab kakek Soewardji sembari tertawa kecil."
“Kakek hebat...”, aku tertegun.
Dengan langkah kaki beriringan, aku berjalan sembari memapah sepeda onthel milik kakek Soewardji menuju rumahnya. Untuk menghempas rasa sunyi, kakek Soewardji menyetel radio kaset kecilnya. Suaranya masih terbilang cukup kencang, meski aku sama sekali tidak tahu apa judul lagu yang sedang diputar.
Tiba-tiba kakek Soewardji berbicara padaku, “Ini lagu yang sering saya dengar saat masa-masa perjuangan kemerdekaan dulu. Judulnya Bengawan Solo, gubahan Gesang. Setiap kali saya menyetel lagu ini, terbayang kenangan saat-saat saya dulu berjuang bersama rekan seperjuangan yang lain. Berperang melawan tentara Belanda dan Inggris kala itu. Banyak rekan saya yang tewas, tetapi semangat mereka terus menghidupi saya dan rekan-rekan lain yang masih bernafas untuk terus berjuang. Saat itu orang-orang rela berkorban jiwa dan raga. Mereka ingin agar negeri ini merdeka, lepas dari penjajahan. Kalau kata bung Karno, bangsa ini harus mampu berdikari.”
Aku terkejut. Dari awal aku penasaran apakah kakek Soewardji adalah seorang veteran, bila melihat baju yang dikenakannya, tetapi saat itu aku belum berani menanyakan hal tersebut. “Jadi, betul kakek dulu seorang pejuang kemerdekaan?”, tanyaku.
Kakek Soewardji membenarkan, “Betul, nak. Saya pun juga tidak menyangka, jalan hidup saya berujung dengan menjadi pejuang kemerdekaan”. Beliau melanjutkan obrolannya, “Saya sendiri waktu itu masih berumur 20 tahun. Bahkan saya tidak memiliki pengalaman dalam kemiliteran. Sebelum bergabung dengan pasukan pejuang kemerdekaan, saya adalah seorang pemain cello. Biasanya saya berlatih cello kala sedang tidak pergi ke medan juang. Yah, sekedar untuk mengisi waktu luang saja. Bengawan Solo juga menjadi lagu pertama yang saya mainkan sendiri dengan cello. Saya suka lagunya. Yang saya dengar, orang-orang Jepang dan Belanda kala itu pun juga menyukai lagu tersebut.”
Aku menanggapi, “Saya juga pernah memainkan cello saat masih SMA. Kalau sedang sendirian dan jenuh, saya suka memainkannya. Sejenak saya bisa menenangkan diri, melupakan segala masalah yang saya alami. Segala hal yang tak bisa saya ungkapkan, kutuangkan dengan bermain cello. Hidup saya bagai alunan-alunan musik bernada melankolis. Saya masih belum menemukan apa tujuan saya hidup di dunia ini. Melihat keadaan orang lain yang normal, optimis dalam hidupnya bahkan kehadirannya dikagumi dan dirindukan oleh banyak orang, muncul perasaan iri pada mereka. Saya sudah lama menderita penyakit jantung. Kondisi saya lemah, tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas layaknya orang-orang pada umumnya. Kehadiran saya, mungkin hanya menambah beban bagi orang lain. Maka dari itu, tidak menjadi masalah bila saya pergi meninggalkan dunia ini.“
Dalam hati aku bertanya, mengapa aku menceritakan hal ini pada kakek Soewardji? Bukankah seharusnya kututup rapat-rapat dalam hatiku? Aku tidak ingin orang lain tahu mengenai keadaanku. Tetapi, mengapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku? Apakah kakek Soewardji merupakan orang yang kucari selama ini, untuk mengutarakan isi hatiku? Tanpa terasa, perlahan air mata mulai mengalir, tetapi dengan cepat aku mengusapnya.
Kakek Soewardji kemudian memegang bahuku, seraya mengatakan sesuatu. “Nak Denny, jangan berputus asa dan terus tenggelam dalam kesedihan. Kamu masih muda. Perjuanganmu masih panjang. Meski kamu sakit, bukan berarti segalanya telah berakhir. Jantungmu masih berdetak. Itu tanda bahwa kamu masih diberikan anugerah oleh Tuhan agar kamu memahami seperti apa arti perjuangan. Penderitaan saya dulu jauh terasa lebih berat. Sempat saya dijebloskan ke penjara dan disiksa oleh para tentara asing itu. Mereka ingin agar saya bersama rekan yang lainnya menyerah, namun kami tetap menolak. Bayangkan, betapa banyak sudah tetesan darah dan keringat yang mengalir selama masa penyiksaan itu. Kami dicambuk, dipukuli dan ditendang dengan begitu kasar. Ada rekan kami yang sampai cacat, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Makanya, saya merasa miris bila generasi muda bila berlaku seperti para geng motor itu. Kemanakah sisi kemanusiaan mereka? Kemanakah sisi patriotik mereka? Kemanakah sisi semangat berjuang mereka? Mengapa mereka hanya memikirkan ego mereka semata? Siapa lagi yang dapat menjaga negeri ini, meneruskan perjuangan para pahlawan terdahulu, bila bukan generasi muda sekarang?”
“Tetaplah berjuang. Berjuanglah untuk hidupmu. Tidak perlu kamu mengangkat senjata seperti yang pernah kami lakukan. Cukuplah kamu lakukan sesuatu yang bisa kamu lakukan. Tempuhlah langkah mana yang ingin kamu tempuh. Andaikata saya masih tetap muda seperti sediakala, sudah barang tentu saya ingin berperan lebih jauh dalam mengisi kemerdekaan ini. Saya ingin memperkenalkan lagu-lagu asli Indonesia pada mata dunia dengan membentuk orkestra. Itu merupakan salah satu impian saya. Warna-warni negeri ini, saya ingin ungkapkan lewat bermusik.”
Ucapannya serasa bagaikan guntur yang menyambar hati. Tak pernah aku mendengar kata-kata penuh makna seperti itu, apalagi diucapkan dari seseorang yang tak kukenal, namun ternyata beliau merupakan salah satu pejuang yang turut memerdekakan negeri ini.
Sepanjang perjalanan, aku merenungi kata-kata kakek Soewardji, seraya kualihkan pandanganku pada langit senja yang menghitam.
---oOo---
(Litografi Batavia dari Buku Tua. Ilustrasi: Satulingkar)
Sudah pukul enam sore. Akhirnya kami sampai juga di depan Gang Sirih. Rintik-rintik hujan mulai turun kembali membasahi bumi. Suasana jalan agak senyap. Di sekelilingnya masih terdapat kebun-kebun kosong dan pepohonan besar. Penerangan pun juga terbatas. Sebagian lampunya ada yang pecah.
“Sebentar lagi sampai.”, kata kakek Soewardji.
“Apa kakek tinggal sendirian di rumah?”, tanyaku.
“Tidak, masih ada istri saya yang menemani. Anak-anak saya telah lama pergi meninggalkan dunia ini. Saat itu, para serdadu Belanda menerobos masuk rumah kami. Anak-anak ketakutan, mereka pun berlarian ke luar. Namun malang, sebuah bom granat tepat mengenai mereka di depan sebuah mobil. Mereka tewas seketika. Istri saya selamat karena sedang tidak berada di rumah saat itu. Saya sendiri tertangkap oleh para serdadu Belanda. Mobilnya sendiri masih ada di depan rumah saya sampai sekarang, sebagai saksi bisu kejadian kala itu. Istri saya sangat trauma. Dan saya sangat marah. Tetapi, akhirnya kami pun ikhlas merelakan kepergian mereka.”, jawab kakek Soewardji.
“Saya mengerti...”, jawabku lirih.
Benarlah ketika tiba di depan rumah kakek Soewardji, aku melihat sebuah mobil tua rusak berat di depan rumahnya. Cat-catnya sudah terkelupas. Lampu sorotnya hancur. Badannya penyok-penyok tak karuan. Jendela kacanya pecah. Jok mobilnya pun sudah terkoyak-koyak. Aku ngeri ketika membayangkan anak-anak kakek Soewardji tewas terkena bom kala itu. Aku cepat-cepat mengalihkan pikiranku pada hal lain.
Rumah kakek Soewardji tergolong kuno dan sangat sederhana. Seperti bangunan bersejarah saja. Bergaya ala tempo dulu. Sebagian pagar besinya rusak dan keropos. Halamannya cukup luas, ditanami dengan bunga pukul empat serta tanaman hias seperti kuping gajah, paku sarang burung dan semanggi. Aura nostalgia segera terasa begitu sampai di teras rumah. Dindingnya yang berwarna hijau telah lapuk termakan usia. Lampu bohlam lima watt lengkap dengan tempatnya yang antik terpancar dengan terangnya. Bangku dan mejanya yang berwarna coklat pudar juga terlihat antik di mataku.
Kusandarkan sepeda onthel milik kakek Soewardji di samping teras rumah. Lalu kakek Soewardji menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Sementara itu, Brandal kusuruh tunggu di teras rumah.
“Assalamu’alaikum. Bu, ada di dalam? Ini bapak. Tolong bukakan pintu.”, ucap kakek Soewardji mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan terdengar ucapan lirih namun ramah, “Wa’alaikum salam. Sudah pulang pak. Bagaimana jualannya?”
“Sepeda bapak rusak gara-gara ditendang orang. Kue-kuenya banyak yang hancur. Uang lima puluh ribu bapak juga dirampas. Sisanya cuma uang dua puluh ribu saja yang masih bapak kantongi. Oh iya, ini nak Angga. Kebetulan tadi bapak ditolong olehnya. Nak Deny ini orangnya baik. Dia juga bisa bermain cello seperti bapak.”, ucap kakek Soewardji.
“Tidak apa-apa pak. Ibu mengerti keadaaan bapak. Nak Denny, terima kasih ya. Maaf sudah merepotkan. Wah, kamu hebat bisa bermain cello juga.”, kata istri kakek Soewardji.
“Tidak apa-apa nek, justru sayalah yang ingin berterima kasih pada kakek dan nenek. Saya masih perlu belajar lagi dalam bermain cello.”, balasku sambil tersipu malu.
“Nak Denny mengingatkan saya pada anak laki-laki saya yang sudah lama meninggal. Saya kangen sekali. Kehadiran nak Denny di sini membuat saya senang.”, ucap istri kakek Soewardji sembari menitikkan air matanya. Beliau betul-betul merasa kehilangan anaknya.
Kemudian, istri kakek Soewardji membelai lembut kepalaku. Entah kenapa, aku merasakan suatu perasaan hangat yang mengalir ke seluruh tubuhku. Aku tersenyum haru. Sudah lama aku tidak merasakan hal semacam ini. Perasaan yang telah lama hilang itu seakan kembali berlabuh di hatiku.
“Pastinya nak Denny lelah sedari tadi. Istirahat dulu saja di sini.”, kata kakek Soewardji.
“Terima kasih kek. Saya mengerti.”, balasku sembari tersenyum.
Saat masuk ke dalam rumah, aura nostalgia makin terasa. Kulihat sebuah televisi dan telepon kuno yang terletak di atas meja kecil di ruang tengah. Foto-foto hitam putih semasa era perjuangan dulu terpajang rapi di dinding. Dan kulihat cello milik kakek Soewardji tersimpan di sebuah lemari tua. Di sampingnya terdapat beberapa piringan hitam, partitur, lencana dan juga tanda penghargaan sebagai pahlawan pejuang kemerdekaan. Meski umur barang-barang tersebut jauh melampaui umurku, semuanya masih terawat dengan baik. Aku terkesima melihatnya.
Tak lama, deras hujan mulai turun. Suasana begitu damai. Aku terlelap karena kelelahan. Setengah jam kemudian, aku terbangun begitu mendengar bunyi telepon dari ponselku. Rupanya kakakku yang menelepon.
“Denny, di mana kamu?! Kamu nggak apa-apa?! Kakak lagi di rumah nih! Jangan bilang kalau kamu diam-diam lagi pacaran! Memang kamu nggak kangen sama kakak?”
“Tenang. Aku nggak apa-apa. Sekarang aku lagi di rumah seorang veteran di Gang Sirih. Namanya kakek Soewardji. Beliau tinggal berdua sama istrinya. Mereka baik dan ramah. Barangkali kakak ingin bertemu dengan mereka juga? ”, jawabku.
“Tentu saja. Baiklah, kakak segera ke sana. Yakin kamu nggak apa-apa?”, balasnya.
“Iya. Sudahlah kapten, jangan khawatir!”, jawabku dengan penuh semangat.
“Hmm, kamu nggak seperti biasanya... Ada yang berbeda dengan kamu. Kepalamu terbentur ya?”, kakakku sepertinya merasa keheranan.
“Yah, begitulah. Sudah ya, aku tunggu.”, jawabku dengan nada sedikit bercanda.
“Hei, tunggu! Kakak masih penasaran! Kamu beneran terbentur ya?!, sahut kakakku.
Aku mengakhiri pembicaraan. Dalam hati aku berkata, “Terima kasih Tuhan. Engkau telah mempertemukan aku dengan kakek Soewardji. Aku telah mendapatkan suatu pengalaman berharga darinya. Setidaknya, pertemuanku dengannnya mulai membuatku memikirkan kembali tentang makna perjuangan, yang sempat hilang dalam hidupku.”
---oOo---
Cerpen ini dibuat dalam rangka turut memperingati Hari Pahlawan 10 November. Semoga para pahlawan, baik yang masih hidup maupun yang gugur di medan perang senantiasa terkenang meski waktu terus berjalan.
[Lagu Latar: Bengawan Solo (Instrumental) oleh Gesang (arr. Arief Yudhanto). Sumber: Youtube]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H