"Kita akan bersama. Siang dan malam. Melewati hari-hari. Menghirup udara yang sama, bermandi sinar matahari yang sama." Bujuk Kai.
      Reina tergugu.
      "Maafkan aku, Kai. Kau tahu sendiri. Bagaimana anggapan penduduk desa tentang diriku. Mereka tak pernah menyukai aku."
      "Tapi aku menyukaimu." Jawaban itu menghangatkan hati Reina. " Selalu."
      "Tapi kau adalah bagian dari mereka. Kelak kau pun akan seperti mereka."
      "Tak akan pernah." Desis Kai marah.
      Reina tersenyum lembut. "Kuharap demikian, Kai."
      *
Rombongan lelaki berkulit gelap dan berambut ikal beramai-ramai menuju pantai. Dengung suara membangunkan Kai dari tidurnya yang gelisah. Sejak semalam ia tertidur di pondok  yang dibangunnya di atas sebatang pohon yang menjorok ke laut. Sinar matahari pagi tajam menerpa wajahnya.
Bergegas Kai berlari menuruni tangga pondoknya, ketika melihat rombongan itu membawa peralatan berburu. Batang-batang tombak panjang berkilauan dalam genggaman para pemuda berbadan tegap  itu seolah mengiris hatinya. Ia tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun kali ini ia harus menghentikan mereka.
 "Uuuuuup.... uuuup....uuuuuppp!" teriak Kai. Ia menggenggam lengan tetua adat. Bola matanya memohon. Mulutnya menjelaskan banyak hal. Namun tak pernah ada yang bisa memahami. Termasuk tetua adat yang tak lain ayah kandungnya sendiri.