Kai masih duduk di serambi pondok. Â Ombak masih setia memecah pantai di bawah kakinya. Namun iramanya tak lagi sama. Kekosongan memantul-mantul di hati Kai. Â Tatapnya membeku ke tengah samudra yang diam. Samudra yang menjadi saksi kedekatan mereka.
Kai teringat.
 Kai kecil selalu berlari ke laut setiapkali hatinya merasa gundah dan sedih. Kekecewaan ayahnya yang tak pernah surut, hanya mampu ia atasi dengan melarutkan amarahnya ke dalam lautan.  Di sanalah ia menemukan makhluk itu. Makhluk paling cantik dalam pandangan Kai cilik.
Mengetahui anggapan penduduk desa yang menyebut raksasa laut itu sebagai pengganggu membuat Kai merasa senasib. Meskipun penduduk desa selalu menjauhi dan takut bersentuhan dengan hiu paus itu, tapi menurut Kai, mereka makhluk yang lembut dan baik hati.
Salah satu di antara kumpulan ikan raksasa itu ia beri nama, Reina. Gurano Babintang muda yang selalu menghampirinya setiapkali ia menyelam ke laut. Seperti Kai mengenali Reina, Reina pun memahami kekurangan Kai.
Mereka tumbuh bersama di tengah samudra. Kecintaan Kai pada Reina seiring dengan meningkatnya pemahamannya tentang pentingnya keberadaan Reina dan kawan-kawannya bagi kelestarian lingkungan. Sekalipun Kai tak mampu mendengar, kecerdasannya mampu melihat dampak baik yang diperoleh lautan dari kebiasaan raksasa-raksasa itu menyaring air laut yang masuk melalui mulut lebarnya.
Kai ingin penduduk desa mengerti. Namun ia tak bisa berbuat banyak. Cacat yang disandangnya membuatnya tak mampu berbuat banyak. Hanya satu yang bisa dilakukannya. Membangun sebuah rumah.
Rumah pohon yang dibangun sebagai tanda cintanya. Salah satu dari keinginannya yang tak bisa ia ungkapkan pada pada penduduk desa, pun pada ayahnya. Yaitu, Â hidup berdampingan dengan Reina.
***
Senja merambat pelan dan muram. Jingga menyemburat dari tepi langit sesaat sebelum terbenam. Kai masih membeku. Separuh nyawanya terbang bersama Reina, Gurano Babintang  yang tertombak lengan perkasa penduduk Kwatisore.
Selesai.