Mohon tunggu...
Liza Permasih
Liza Permasih Mohon Tunggu... Penulis - Menyukai dunia kata-kata, mencintai setiap momen yang tumbuh bersama para kesayangan.

Penulis merupakan seorang ibu dari tujuh orang anak yang menyukai dunia kata-kata sejak belia. Pernah menjadi kontributor tetap selama dua tahun di web parenting di The Asianparent Indonesia. Karya-karya fiksi penulis pernah dimuat di majalah Femina dan Gadis, sementara karya non fiksi, berupa kisah inspiratif tersebar dalam buku-buku antologi terbitan Gramedia Pustaka Utama. Selain menyukai dunia kata-kata, penulis juga aktif di dunia kuliner dengan memakai brand Dapur Momaliza. Mengambil nama yang sama dengan blog pribadinya, www.momaliza.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Kwatisore (Cerpen Majalah Femina)

24 Februari 2022   13:14 Diperbarui: 24 Februari 2022   14:43 3762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita akan bersama. Siang dan malam. Melewati hari-hari. Menghirup udara yang sama, bermandi sinar matahari yang sama." Bujuk Kai.

            Reina tergugu.

            "Maafkan aku, Kai. Kau tahu sendiri. Bagaimana anggapan penduduk desa tentang diriku. Mereka tak pernah menyukai aku."

            "Tapi aku menyukaimu." Jawaban itu menghangatkan hati Reina. " Selalu."

            "Tapi kau adalah bagian dari mereka. Kelak kau pun akan seperti mereka."

            "Tak akan pernah." Desis Kai marah.

            Reina tersenyum lembut. "Kuharap demikian, Kai."

            *

Rombongan lelaki berkulit gelap dan berambut ikal beramai-ramai menuju pantai. Dengung suara membangunkan Kai dari tidurnya yang gelisah. Sejak semalam ia tertidur di pondok  yang dibangunnya di atas sebatang pohon yang menjorok ke laut. Sinar matahari pagi tajam menerpa wajahnya.

Bergegas Kai berlari menuruni tangga pondoknya, ketika melihat rombongan itu membawa peralatan berburu. Batang-batang tombak panjang berkilauan dalam genggaman para pemuda berbadan tegap  itu seolah mengiris hatinya. Ia tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun kali ini ia harus menghentikan mereka.

 "Uuuuuup.... uuuup....uuuuuppp!" teriak Kai. Ia menggenggam lengan tetua adat. Bola matanya memohon. Mulutnya menjelaskan banyak hal. Namun tak pernah ada yang bisa memahami. Termasuk tetua adat yang tak lain ayah kandungnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun