“Mereka takut pensil warna biru nanti dimakan anak-anak kecil. Mereka lupa, semua pensil warna sama bahayanya jika dimakan. Mereka juga lupa, langit yang menjelma jadi atap mereka seharian warnanya biru, tapi tidak beracun. Ada awan, ada air hujan. Apakah kamu mati jika hujan turun?”
Alka kecil menggeleng.
“Siapa yang menjadikan warna biru sebagai warna yang mewakili racun?”
“Manusia. Selalu. Alka, saya harus segera kembali. Meski sedikit, tapi ada orang-orang yang menanti saya pulang,” ujar saya sambil melepas pelukan.
Saya melangkah keluar.
“Hei, Alka!”
Saya menoleh, “ya?”
“Terima kasih!”
***
Jadi, Alka. Ketika kelak kamu membaca catatan harian ini, saya harap kamu sudah bisa menerima rambut birumu. Untuk ketidakmampuan saya, ketidakmampuan kita, dalam mengubah apa yang memang ada pada diri kita, saya minta maaf.
Menurutmu, apakah ada orang di kota kita yang berlutut memohonkan rambut biru kepada Pencipta?