“Mengapa rambutmu biru?” Alka kecil bertanya sambil menggambar. Ada sekotak pensil warna di dekatnya, tiada warna biru.
Saya hanya menggeleng karena tidak tahu.
“Lalu apa yang harus saya lakukan agar kelak tidak mendapati rambut saya biru ketika terbangun?”
Lagi-lagi saya menggeleng.
Alka kecil menangis. Saya memeluknya.
“Kamu masih punya belasan tahun yang menyenangkan, Alka. Nikmati rambut merah mudamu yang cantik.”
Alka kecil masih menangis.
“Oh lagipula, Alka. Meski banyak yang membencimu jika rambutmu biru, namun ada beberapa manusia yang masih manusia. Mereka akan peduli pada kamu sepenuh hati. Jumlah mereka tak banyak tapi kamu akan merasa membaik.”
Tangisan Alka kecil mulai reda, “apakah yang tak banyak itu juga akan dibenci oleh manusia-manusia lainnya?”
“Yang lainnya itu bukan manusia. Manusia hanya mereka yang peduli padamu meski rambutmu biru dan rambut mereka merah muda seragam.” saya mengelus rambutnya.
Alka kecil mengangguk dan tangisannya mereda, “Rambut birumu bagus sekali! Mereka seharusnya tak ragu membuat pensil warna biru.”