Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Alka 2.0

14 Mei 2017   10:08 Diperbarui: 14 Mei 2017   13:10 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mengapa rambutmu biru?” Alka kecil bertanya sambil menggambar. Ada sekotak pensil warna di dekatnya, tiada warna biru.

Saya hanya menggeleng karena tidak tahu.

“Lalu apa yang harus saya lakukan agar kelak tidak mendapati rambut saya biru ketika terbangun?”

Lagi-lagi saya menggeleng.

Alka kecil menangis. Saya memeluknya.

“Kamu masih punya belasan tahun yang menyenangkan, Alka. Nikmati rambut merah mudamu yang cantik.”

Alka kecil masih menangis.

“Oh lagipula, Alka. Meski banyak yang membencimu jika rambutmu biru, namun ada beberapa manusia yang masih manusia.  Mereka akan peduli pada kamu sepenuh hati. Jumlah mereka tak banyak tapi kamu akan merasa membaik.”

Tangisan Alka kecil mulai reda, “apakah yang tak banyak itu juga akan dibenci oleh manusia-manusia lainnya?”

“Yang lainnya itu bukan manusia. Manusia hanya mereka yang peduli padamu meski rambutmu biru dan rambut mereka merah muda seragam.” saya mengelus rambutnya.

Alka kecil mengangguk dan tangisannya mereda, “Rambut birumu bagus sekali! Mereka seharusnya tak ragu membuat pensil warna biru.”

“Mereka takut pensil warna biru nanti dimakan anak-anak kecil. Mereka lupa, semua pensil warna sama bahayanya jika dimakan. Mereka juga lupa, langit yang menjelma jadi atap mereka seharian warnanya biru, tapi tidak beracun. Ada awan, ada air hujan. Apakah kamu mati jika hujan turun?”

Alka kecil menggeleng.

“Siapa yang menjadikan warna biru sebagai warna yang mewakili racun?”

“Manusia. Selalu. Alka, saya harus segera kembali. Meski sedikit, tapi ada orang-orang yang menanti saya pulang,” ujar saya sambil melepas pelukan.

Saya melangkah keluar.

“Hei, Alka!”

Saya menoleh, “ya?”

“Terima kasih!”

***

Jadi, Alka. Ketika kelak kamu membaca catatan harian ini, saya harap kamu sudah bisa menerima rambut birumu. Untuk ketidakmampuan saya, ketidakmampuan kita, dalam mengubah apa yang memang ada pada diri kita, saya minta maaf.

Menurutmu, apakah ada orang di kota kita yang berlutut memohonkan rambut biru kepada Pencipta?

Lagi, maafkan saya, Alka.

***

“Ibu! Ibu!”

Perempuan berambut biru menutup buku harian di pangkuannya dengan segera. Seorang gadis kecil dengan kuncir kuda baru pulang dari sekolah tengah merengek keras di hadapannya.

“Ada apa?” tanya perempuan itu dengan khawatir.

“Lihat!” ucap si gadis kecil sambil menunjuk ujung rambutnya, tak berhenti merengek.

Rupanya ada sepercik biru di ujung kuncir kuda.

 

 

 

Kota milik rambut merah muda,

14 Mei 2017, Livia Halim

-

Alka juga dapat dijumpai di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun