Ini bukan pertama kalinya saya melihat seseorang hendak mengecat langit. Warna langit terus berganti setiap hari. Langit dicat setiap hari oleh orang-orang yang berbeda. Kalian yang sedang bahagia mengecat langit dengan warna biru, seperti warna yang diinterpretasikan orang-orang tentang langit pada umumnya. Kalian yang sedang sedih tak terima kemudian menyemprot langit dengan cat semprot warna kelabu. Kalian yang marah menghapus semua warna dan berusaha keras menghancurkan langit.
Saya belum pernah mengecat langit.
Hari ini, saya melihat seseorang membawa tiga kaleng cat besar, dua ditenteng, satu lagi digelindingkan sambil ditendang seiring langkahnya. Dia bisa jadi merasakan tiga emosi sekaligus. Bukan hal yang aneh di dunia yang kalian tinggali bersama, bukan?
Dia yang datang dengan tiga kaleng cat itu mulai meletakkan semua kalengnya di tanah, lantas mengeluarkan sebuah kuas besar dari saku jaketnya. Sementara, kalian tetap melakukan kegiatan kalian seperti biasanya. Sebagian dari kalian bercakap, sebagian lagi sibuk dengan diri kalian sendiri, sebagian lagi mengeluhkan hal-hal buruk yang terjadi hari ini.
Hei.
Kalian tidak mau tahu warna langit hari ini?
“L, mengapa terdiam?” Waktu bertanya.
“Saya mau menyaksikan proses pengecatan warna langit hari ini.”
“Kamu sendiri? Mengapa belum pernah mewujudkan emosimu di langit?”
“Saya tidak tahu bagaimana cara orang-orang di bawah langit mengartikan emosi yang saya rasakan setiap hari. Saya tidak tahu apakah yang saya rasakan masih merupakan bagian dari apa yang mereka sebut warna.”
Lantas Waktu duduk di samping saya. Diam-diam dia mau menyaksikannya juga, saya tahu.
Saya dan Waktu mulai melihat warna merah di langit.
“L, apakah dia marah?”
“Mungkin, tapi sedikit.” Orang yang sangat marah tidak akan bertoleransi pada warna. Bagi mereka semua warna tidak bagus.
Di sisi lain langit, muncul warna biru.
“Sekarang dia senang, L?”
“Mungkin. Dia senang banyak dan marah sedikit. Hampir semua manusia merasakan hal yang sama.”
Saya nyaris beranjak dari tempat saya duduk sebelum melihat warna merah dan biru di langit mulai menyatu.
“L, dia membaurkan keduanya.”
“Kesimpulanmu apa?”
“Tercipta warna baru bukan? Setahu saya jadi ungu.”
“Ungu.”
“Apa artinya, L?”
…
Benar saja, perpaduan kedua warna itu menghasilkan warna ungu di langit. Kalian mulai berhenti melakukan kesibukan masing-masing, dan memandangi langit dengan heran. Sebagian besar dari kalian mengabadikannya melalui lensa kamera.
“Mungkin ini akhirnya, L.”
“Apa?”
“Emosi berwarna ungu, warna baru. Emosi yang belum kita tahu maknanya.”
Saya mengangguk.
Aneh.
Dia sudah mengecat seluruh langit dengan warna ungu, namun tidak juga beranjak. Dia terdiam di tempatnya. Lama. Kalian sudah puas dengan warna baru langit. Kalian memutuskan untuk menyibukkan diri dengan menyebarluaskan foto langit ungu, kepada kawan dan keluarga. Sementara saya dan Waktu masih sama diamnya dengan dia.
“L, mungkin dia salah mengecat. Lihat, dia mematung seakan menyesal.”
Saya tergelak, lalu mengangguk. Saya salah kira. Tidak ada warna baru di langit, yang ada hanya tidak sengaja menghasilkan warna baru. Kali ini saya benar-benar berdiri, menyiapkan diri untuk pergi dari sini.
“Eh, L! Tunggu dulu! Dia mulai mengecat lagi!”
Lantas saya kembali duduk. Warna putih mulai terlihat di langit, dan langsung membaur dengan warna ungu yang sudah memenuhi langit. Warna langit sedikit lebih muda dari sebelumnya.
“Rupanya dia tidak salah mengecat, L. Dia hanya menunggu warna biru dan merah membaur dengan sempurna karena ingin memudakan hasil dari kedua warna itu.”
Saya mengangguk.
Warna putih muncul sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Dia terus membubuhkan sedikit warna putih hingga warna langit berhenti di satu warna.
Warna langit persis ungu pastel.
Warna langit persis C8A2C8. Warna yang sudah menahun saya kenal, yang saya jelmakan sebagai harapan, yang pernah saya lipat rapi dan simpan di dalam ransel, yang pernah dihujani paku ketika saya berusaha keras terbang tinggi, tapi tidak pernah sobek.
Waktu terkesiap dan terkurung dalam warna langit. Beberapa saat kemudian waktu berhasil keluar dari kurungannya. Saya tidak berhasil, saya terkurung persis di C8A2C8.
Dia merapikan kaleng-kaleng catnya, lantas menoleh pada saya, men-C8A2C8-kan seluruh tanah,
dan jeruji tak tampak yang mengurung saya selamanya.
15 Mei 2016, Livia Halim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H