Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang sifatnya universal dapat dikenali dalam tiga wujud yaitu: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dan nilai yang paling ideal adalah sistem nilai budaya.[16] Demikian juga Richard Kluckhohn,  menyatakan dalam aspek kehidupan manusia sebahagian dapat dipelajari sebagai sebuah keputusan bersama dan sebahagian  dipelajari secara bersama-sama.[17]Â
 Olehnya itu, kota Batam sebagai sebuah kota multikultural di Indonesia, mempunyai karakteristik masyarakat yang disebut diversitas. Interaksi sosial  dalam konteks diversitas tidak dapat dipisahkan dari keragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan agama.[18] Keanekaragaman yang dimiliki oleh kota Batam ini dapat mempererat integrasi sosial atau bahkan sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan sebagai komunitas sosial berperan secara substansial dalam internalisasi nilai-nilai budaya Melayu dalam keragaman budaya masyarakat. Dengan begitu maka toleransi beragama, harmonisasi sosial, kebersamaan dan kedamaian.Â
 Internalisasi budaya Melayu melalui lembaga pendidikan di kota Batam bertujuan untuk mendidik siswa agar tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki moral sosial dan menjadi pribadi toleran, inklusif, berteologi multikultural, serta menghargai perbedaan. Menurut Ibrahim Ali[19] implementasi nilai-nilai keragaman merupakan bentuk perubahan paradigma teologi teosentris menuju antroposentris-sosiologis. Hal ini memungkinkan masyarakat Muslim untuk memahami secara obyektif-kritis dalam mengatasi perubahan sosial yang fluktuatif dan cepat serta dapat mengatasi problematika sosial yang kerap muncul   Â
 Hal ini sejalan dengan Levinson dalam jurnal berjudul Culture, Education and Anthropology menyatakan bahwa  proses pendidikan dapat ditafsirkan secara luas sebagai metode unik kemanusiaan untuk memperoleh, mentransmisikan, dan menghasilkan pengetahuan untuk menafsirkan dan bertindak atas dunia. Dalam  arti luas, pendidikan mendasari setiap kemampuan kelompok manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hidup.[20]  Adapun dalan arti sempitnya, bahwa pendidikan di kota Batam harus menjadi dasar utama dalam setiap kelompok masayarakat yang memiliki latarbelakang yang berbeda-beda untuk senantiasa beradaptasi secara baik dan harmonis dalam kehidupan sosial sehari-hari. Levinson dalam memperkuat argumennya mengutip pendapat antara lain Bateson dan Geertz bahwa pendidikan yang efektif memungkinkan kelompok untuk terus beradaptasi dan dengan demikian mereproduksi kondisi keberadaannya.  Pada bagian lain Bateson dan Geertz mengakui ada pertentangan, secara implisit mengkritik pandangan budaya sebagian besar tentang adaptasi dan reproduksi.
 Internalisasi budaya Melayu melalui lembaga pendidikan akan melahirkan humanisasi pendidikan. Darmiyati Zucdi menyatakan humanisasi pendidikan perlu segera dijadikan misi setiap lembaga pedidikan di Indonesia tidak terkecuali madrasah, supaya nilai-nilai dasar toleransi, inklusifitas dan kemajemukan menjadi landasarn dalam pembentukan akhlak dan moral bangsa.[21]  Demikian juga Mukhibat menyatakan pendidikan seharusnya menjadi salah satu instrumen fundamental dalam membentuk karakter bangsa di tengah heterogenitas dan fluralitas yang menjadi karakter utama bangsa ini.[22] Â
 Sejalan dengan itu, H.A.R Tilaar juga menyatakan telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Sehingga pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.[23] Hal yang sama dikatakan Syamsul Ma'arif, bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas.[24] Demikian juga pendapat Azyumardi Azra bahwa di era modern ini, pendidikan seyogyanya mengarah pada pendidikan emansipatoris, yaitu paradigma pembelajaran yang membebaskan siswa dalam segenap eksistensinya sehingga mereka tidak lagi terbelenggu dan dapat mewujudkan keseluruhan (wholeness) potensi kependidikan dirinya.[25]Â
 Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal memegang peranan penting dalam membangun sosial-budaya masyarakat. Hal sejalan dengan pandangan Jorgen S Nielsen, ia menyatakan bahwa mengabaikan lembaga pendidikan sebagai penggerak sosial dan nation-building berperan dalam menjaga dan memelihara integrasi sosial.[26] Oleh karena rekonstruksi sosial perlu dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di kota Batam sebagai kota majemuk dan multikultur.Â
 Oleh karena itu, internalisasi[27] nilai-nilai budaya Melayu ke dalam nilai-nilai keragaman budaya masyarakat kota Batam yang multikultural harus dilembagakan ke dalam pendidikan baik formal maupun nonformal. Baidhawy mengemukakan bahwa setidaknya ada 17 nilai yang harus ditanamkan pada anak didik, yaitu Tauhid (keesaan Tuhan), ummah (hidup bersama), ramah (saling mengasihi), muswah (persamaan), tafahm (saling pengertian), takrm (saling menghormati) ta'ruf (ko-eksistensi), fastabiqul khairt (persaingan sehat dalam berbuat baik), amanh (kejujuran), usnuan (berpikir positif), tasmu (toleransi), fw (pemaaf), sul (rekonsiliasi), il (resolusi konflik), ilh/salm (perdamaian), lain (non-kekerasan), dan dl (keadilan).[28] Nilai-nilai tersebut telah diaktualisasikan oleh masyarakat Batam dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika terjadi konflik antar individu yang bisa berpotensi mengarah pada konflik horizontal dengan menyeret-nyeret pada konflik suku dan agama maka dengan cepat diselesaikan melalui jalan musyawarah yang di fasilitasi oleh Lembaga Adat Melayu ( LAM) Batam, Forum Komunikasi Batam ( FKB), Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) serta pemerintah kota Batam dan aparat keamanan sendiri. Â
 Selanjutnya, Will Kymlicka sebagaimana dikutip Dede Rosyada, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai pendidikan yang menjunjung tinggi hak-hak individual dan hak-hak budaya, keadilan dan hak-hak minoritas, aspirasi kelompok minoritas, serta toleransi antar individu dan kelompok.[29] Â
 Secara historis, kebudayaan Melayu telah menanamkan nilai-nilai agama Islam pada warga suku Melayu melalui pendidikan non-formal. Bahkan sejak awal penyebaran Islam di daerah Sumatera, agama itu telah berhadapan dengan norma-norma, praktek dan konversi tradisional yang sudah meresap dalam kebudayaan Melayu yang dikenal sebagai "adat"[30]. Dalam banyak hal hubungan antara adat dan Islam bersifat dialektis karena ambiguitas, jika bukannya ambivalen, terus-menerus mencirikan dua kekuatan yang saling berhubungan satu sama lain.  Pada bagian lain Malinowski menyatakan bahwa magi[31] dan religi keduanya masuk dalam bidang sakral, sebuah unsur yang tidak dapat arti  lebih lanjut. Menurut pemikiran Malinowski mungkin paling tepat diistilahkan sebagai supernatural. Religi adalah "a body of self contained acts being themselves the fulfillment of their purpose".[32] Dalam buku Antropologi Budaya, Roger M.Keesing menyatakan, magis adalah upaya manusia memanipulasikan sebab akibat antara peristiwa dimana bagi kita tidaklah rasional.[33]Â
 Adapun agama, Clifford Geertz merumuskan bahwa agama yaitu sistem simbolik yang fungsinya  menanamkan motivasi yang kuat dan  mendalam serta bertahan lama pada manusia dengan melahirkan konsepsi yang bersifat umum tentang keberadaan, kemudian membungkus konsepsi itu sedemikian rupa dalam suasana faktualitas sehingga suasana dan motivasi itu kelihatan sangat realistis.[34]