Mohon tunggu...
Abd Hafid
Abd Hafid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Ibnu Sina Batam & STAI Ibnu Sina Batam

Doktor Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta, Mahasiswa Manajemen SDM S3-UNJ tahun 2015 dengan status candidat Doktor 2018. Dosen Tetap STAI Ibnu Sina Batam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Budaya Melayu dalam Masyarakat Plural di Kota Batam

28 September 2019   17:50 Diperbarui: 28 September 2019   17:58 3854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tribunnews.com

Dr. (C) Abd. Hafid, S.Ag.,M.Pd.,MM

Dosen Universitas Ibnu Sina

taranghafid@gmail.com

 

Pendahuluan

Kota Batam merupakan sebuah kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Luas wilayah daratan seluas 715 km2 sedangkan luas wilayah secara keseluruhan mencapai 1.575 km2. Jumlah penduduknya mencapai 1.236.399 jiwa yang menyebar di 12 kecamatan (darat dan pulau). Kota Batam memiliki letak yang sangat strategis, berada pada jalur pelayaran internasional, kota ini juga memiliki jarak yang sangat dekat dan berbatasan langsung dengan negara Singapura dan Malaysia. Dari segi pertumbuhan, kota Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia.

Dari aspek sejarah, tepatnya pada dekade 1970-an, kota Batam dibentuk dengan tujuan awal untuk menjadikan pulau Batam sebagai Singapura-nya Indonesia. Sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973, pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam. Kemudian pada tahun 1990-an, dengan terbitnya Undang-Undang nomor 53 tahun 1999, kotamadya administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yakni pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikutsertakan Badan Otorita Batam ( BP Batam).

Masyarakat Kota Batam merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Beragam suku dan golongan itu antara lain, Melayu, Jawa, Batak, Minangkabau, Tionghoa, Bugis-Makassar, Flores dan beberapa suku dari Wilayah Indonesia Timur lainnya. Walaupun beragam suku dan golongan, namun masyarakat kota Batam sangat kondusif. Hal ini karena berpayungkan Budaya Melayu dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dalam menggerakkan kegiatan ekonomi, sosial politik serta budaya dalam masyarakat. Sesuai data statistik tahun 2017[1], komposisi masyarakat berdasarkan etnis adalah sebagai berikut:  

  • SUKU / ETNIS
  • PERSENTASE (%)
  • Jawa
  • 26,78
  • Melayu
  • 17,61
  • Batak
  • 14,97
  • Minangkabau
  • 14,93
  • Tionghoa
  • 6,28
  • Bugis-Makassar
  • 2,29
  • Banjar
  • 0,67
  • Lain-lain
  • 16,47

Sumber: Data Statistik Kota Batam, 2017

 Berdasarkan komposisi etnis masyarakat Kota Batam di atas, dapat diketahui bahwa etnik Melayu sebagai etnik asli (tenpatan) kota Batam hanya berjumlah 17,61% atau dengan kata lain 80% lebih penduduk kota Batam berasal kota-kota lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kota Batam sangat majemuk.  Kemajemukan itu dikenali dari keanekaragaman budaya, adat, suku, ras, Bahasa bahkan agama. Kemajemukan ini juga merupakan kekayaan yang sangat besar nilainya sehingga harus di jaga dan dipertahankan.

 Menurut Azyumardi Azra bahwa heterogenitas budaya akan membawa kita pada kekayaan budaya yang berguna bagi pengembangan pengetahuan. Indonesia punya potensi yang sangat kaya dengan kebudayaan, kemanusiaan. Bahkan homogenitas masyarakat dan agama tak menjamin sebuah bangsa-negara dapat hidup tanpa konflik. Dilihat dari jejak sejarah, hal itu terjadi pada dunia barat. Sedangkan Indonesia tak pernah memiliki konflik agama maupun suku bangsa yang terjadi secara berkepanjangan. Bahkan situasi seperti itu tercipta sejak nama Indonesia belum disematkan. Karena watak budaya Indonesia adalah watak budaya yang toleran, watak budaya akomodatif dan saling menerima. Bangsa Indonesia juga kaya dengan kearifan lokal yang membuat satu suku bangsa.[2]

 Masyarakat kota Batam juga memiliki beragam agama dan budaya. Komposisi masyarakat kota Batam berdasarkan agama dapat dilihat pada table berikut:

NO

AGAMA

PERSENTASE (%)

1

Islam

76,69

2

Kristen

17,02

3

Budha

5,79

4

Katolik

3,32

5

Hindu

0,40

6

Konghucu

0,12

 

        Sumber: Data Statistik Kota Batam, 2017

Keberagaman agama dan budaya masyarakat kota Batam juga tidak lepas dari kesadaran bahwa kebudayaan merupakan pencerminan karakteristik dari suatu masyarakat, sehingga masyarakat dan kebudayaan sangatlah erat kaitannya, sebab tidak ada satu pun masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan. Karena nilai-nilai budaya itu tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Nilai budaya yang mengikat masyarakat kota Batam selama ini adalah nilai budaya Melayu. Dalam konteks kota Batam, budaya Melayu merupakan budaya yang memiliki kearifan lokal yang mestinya dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat   yang berbeda-beda latarbelakang suku, agama, budaya, ras dan etnik dengan tujuan agar tercipta keharmonisasi sosial masyarakat. Oleh karena itu, budaya Melayu harus tetap eksis dan menonjol dalam kehidupan masyarakat Kota Batam. Untuk mencapai tujuan itu maka  budaya Melayu dipelajari ditanamkan nilai-nilai budaya tersebut kepada masyarakat. 

 Kata Melayu berasal dari kata Mala dan yu. Mala artinya mula atau permulaan, sedangkan Yu artinya negeri. Jadi Melayu artinya negeri yang mula-mula ada. Pendapat lain mengatakan Melayu berada dari kata Layu yang artinya rendah. Maksudnya bangsa Melayu ini rendah hati dan selalu menghormati pemimpinnya.[3] Salah satu suku yang memiliki kebudayaan khas dan selalu menjadi daya tarik bagi orang diluarnya adalah suku Melayu. Suku Melayu merupakan kelompok suku bangsa dengan jumlah populasi nomor 8 terbanyak di Indonesia. Suku Melayu adalah sebuah kelompok etnis dari orang Austronesia terutama yang menghuni Semenanjung Malaya, Sumatera bagian timur, bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, pulau Singapura, Borneo pesisir termasuk Brunei Darussallam. Luasnya wilayah cakupan ini menjadikan suku Melayu merupakan suku yang tersebar di negara Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand.[4] 

 Budaya Melayu memiliki ciri khusus tersendiri, diantaranya adalah tentang kepercayaan dan agama. Suku Melayu merupakan suku yang memilih agama Islam sebagai kepercayaan yang dianutnya. Islam di alam Melayu telah hadir sejak abad ke 13 M. Kedatangan Islam pada saat itu telah mendatangkan perubahan yang sangat dinamis dalam kehidupan orang Melayu. Perubahan tersebut meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, intelektual, sastra, kepercayaan dan politik serta beberapa aspek kehidupan lainnya.[5] Ciri-cirinya lainnya misalnya panggilan dalam keluarga, bahasa Melayu, adat istiadat, dan kesenian Melayu. Menurut Koentjaraningrat, manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas berurusan dengan hasil-hasil budaya.[6] Hal ini sejalan dengan UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 bahwa "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya".[7] 

 Menurut Omar Al Syaibani bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang berusaha mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dengan segala kemampuannya. Termasuk pengembangan segala segi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, serta bersedia menyelesaikan problem masyarakat masa kini dalam menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaannya.[8] Kaitannya dengan kemasyarakat, pendidikan mengandung makna sebagai warisan kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. Dengan kata lain, masyarakat memiliki nilai-nilai budaya atau adat istiadat yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya agar tetap dilestarikan.

 Oleh beberapa tokoh, nilai mengandung beberapa arti dan makna, diantaranya Gordon Allport seperti dikutip Rahmat Mulyana mengatakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.[9] Kupperman mengemukakan bahwa nilai adalah normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.[10]  Adapun Kluckhohn, ia menganggap nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan dan tujuan akhir tindakan.[11] 

Sedangkan John Dewey menyatakan ".....value is any objective of social interest". Maknanya adalah bahwa sesuatu bernilai apabila disukai dan dibenarkan oleh sekelompok manusia (sosial). Dewey mengutamakan kesepakatan sosial (masyarakat, antar manusia, termasuk negara).[12] Jack R Fraenkel menegaskan sejumlah rumusan tentang nilai, bahwa nilai atau value adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang yang biasanya mengacu pada estetika (keindahan)  etika, logika, baik, efisien, bermutu serta benar dan adil.[13]  

 Adapun kebudayaan dalam konteks yang lebih luas, oleh Ralph Linton bahwa kebudayaan adalah keseluruhan cara dari aktivitas hidup suatu masyarakat secara keseluruhan  yang dianggapnya lebih tinggi dan lebih dibutuhkan.   Lebih lanjut Linton mempertegas lagi dengan menyatakan "A culture is the configuration of learned behavior and results of behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular society". Atau  kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat. Mencermati beberapa pendapat di atas tentang nilai, maka dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas dan berguna bagi manusia. Dalam konteks ini, nilai budaya Melayu diharapkan dapat memberi dampak yang dapat berguna bagi masyarakat secara umum dan lebih khusus bagi anak didik di Kota Batam.  Nilai-nilai budaya dalam arti yang lebih spesifik, merupakan nilai-nilai dasar fundamental yang merupakan sistem kepribadian dan sosio-budaya yang berfungsi mengendalikan nilai-nilai sosial untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang berpengaruh pada nilai-nilai praktis. Jika dilihat dalam perkembangan budaya, nilai-nilai budaya adalah akar atau landasan dari nilai lainnya.[14]

 Allport, Vernon dan Lindzei mengidentifikasi enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama.[15] Nilai teori adalah hakekat peneman kebenaran lewat berbagai metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi artsitik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian yang memberi kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antar manusia dan penekanan segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan masyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transcendental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi. Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih penting dan yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut dan mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori. 

 Budaya Melayu sebagai sebuah budaya lokal, telah menjadi kebudayaan nusantara di Indonesia. Bahasa Indonesia yang diambil dari Bahasa Melayu, merupakan bukti bahwa budaya Melayu telah memberi nilai-nilai bagi kebudayaan nasional. Nilai-nilai luhur budaya Melayu ini diintegrasikan dengan nilai-nilai budaya lokal lainnya yang berasal dari berbagai daerah di  Indonesia. Bagi masyarakat kota Batam, nilai-nilai tersebut telah bersifat universal (artinya semua warga mmasyarakat harus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu tersebut tanpa meninggalkan budaya asalnya sendiri). Dengan prinsip "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", warga masyarakat Batam dapat mengaktualisasikan diri sebagai warga yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Melayu. Nilai-nilai itu antara lain: religius, kegotong royongan (kebersamaan), persatuan dan kesatuan, saling menghormati, kesantunan, kesopanan, kedemokrasian (kemufakatan), keseimbangan, kejujuran, keadilan, keramah-tamahan dan keterbukaan (terbuka bagi semua suku bangsa).

 Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang sifatnya universal dapat dikenali dalam tiga wujud yaitu: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dan nilai yang paling ideal adalah sistem nilai budaya.[16] Demikian juga Richard Kluckhohn,  menyatakan dalam aspek kehidupan manusia sebahagian dapat dipelajari sebagai sebuah keputusan bersama dan sebahagian  dipelajari secara bersama-sama.[17] 

 Olehnya itu, kota Batam sebagai sebuah kota multikultural di Indonesia, mempunyai karakteristik masyarakat yang disebut diversitas. Interaksi sosial  dalam konteks diversitas tidak dapat dipisahkan dari keragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan agama.[18] Keanekaragaman yang dimiliki oleh kota Batam ini dapat mempererat integrasi sosial atau bahkan sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan sebagai komunitas sosial berperan secara substansial dalam internalisasi nilai-nilai budaya Melayu dalam keragaman budaya masyarakat. Dengan begitu maka toleransi beragama, harmonisasi sosial, kebersamaan dan kedamaian. 

 Internalisasi budaya Melayu melalui lembaga pendidikan di kota Batam bertujuan untuk mendidik siswa agar tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki moral sosial dan menjadi pribadi toleran, inklusif, berteologi multikultural, serta menghargai perbedaan. Menurut Ibrahim Ali[19] implementasi nilai-nilai keragaman merupakan bentuk perubahan paradigma teologi teosentris menuju antroposentris-sosiologis. Hal ini memungkinkan masyarakat Muslim untuk memahami secara obyektif-kritis dalam mengatasi perubahan sosial yang fluktuatif dan cepat serta dapat mengatasi problematika sosial yang kerap muncul     

 Hal ini sejalan dengan Levinson dalam jurnal berjudul Culture, Education and Anthropology menyatakan bahwa  proses pendidikan dapat ditafsirkan secara luas sebagai metode unik kemanusiaan untuk memperoleh, mentransmisikan, dan menghasilkan pengetahuan untuk menafsirkan dan bertindak atas dunia. Dalam  arti luas, pendidikan mendasari setiap kemampuan kelompok manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hidup.[20]  Adapun dalan arti sempitnya, bahwa pendidikan di kota Batam harus menjadi dasar utama dalam setiap kelompok masayarakat yang memiliki latarbelakang yang berbeda-beda untuk senantiasa beradaptasi secara baik dan harmonis dalam kehidupan sosial sehari-hari. Levinson dalam memperkuat argumennya mengutip pendapat antara lain Bateson dan Geertz bahwa pendidikan yang efektif memungkinkan kelompok untuk terus beradaptasi dan dengan demikian mereproduksi kondisi keberadaannya.  Pada bagian lain Bateson dan Geertz mengakui ada pertentangan, secara implisit mengkritik pandangan budaya sebagian besar tentang adaptasi dan reproduksi.

 Internalisasi budaya Melayu melalui lembaga pendidikan akan melahirkan humanisasi pendidikan. Darmiyati Zucdi menyatakan humanisasi pendidikan perlu segera dijadikan misi setiap lembaga pedidikan di Indonesia tidak terkecuali madrasah, supaya nilai-nilai dasar toleransi, inklusifitas dan kemajemukan menjadi landasarn dalam pembentukan akhlak dan moral bangsa.[21]  Demikian juga Mukhibat menyatakan pendidikan seharusnya menjadi salah satu instrumen fundamental dalam membentuk karakter bangsa di tengah heterogenitas dan fluralitas yang menjadi karakter utama bangsa ini.[22]  

 Sejalan dengan itu, H.A.R Tilaar juga menyatakan telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Sehingga pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.[23] Hal yang sama dikatakan Syamsul Ma'arif, bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas.[24] Demikian juga pendapat Azyumardi Azra bahwa di era modern ini, pendidikan seyogyanya mengarah pada pendidikan emansipatoris, yaitu paradigma pembelajaran yang membebaskan siswa dalam segenap eksistensinya sehingga mereka tidak lagi terbelenggu dan dapat mewujudkan keseluruhan (wholeness) potensi kependidikan dirinya.[25] 

 Lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal memegang peranan penting dalam membangun sosial-budaya masyarakat. Hal sejalan dengan pandangan Jorgen S Nielsen, ia menyatakan bahwa mengabaikan lembaga pendidikan sebagai penggerak sosial dan nation-building berperan dalam menjaga dan memelihara integrasi sosial.[26] Oleh karena rekonstruksi sosial perlu dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di kota Batam sebagai kota majemuk dan multikultur. 

 Oleh karena itu, internalisasi[27] nilai-nilai budaya Melayu ke dalam nilai-nilai keragaman budaya masyarakat kota Batam yang multikultural harus dilembagakan ke dalam pendidikan baik formal maupun nonformal. Baidhawy mengemukakan bahwa setidaknya ada 17 nilai yang harus ditanamkan pada anak didik, yaitu Tauhid (keesaan Tuhan), ummah (hidup bersama), ramah (saling mengasihi), muswah (persamaan), tafahm (saling pengertian), takrm (saling menghormati) ta'ruf (ko-eksistensi), fastabiqul khairt (persaingan sehat dalam berbuat baik), amanh (kejujuran), usnuan (berpikir positif), tasmu (toleransi), fw (pemaaf), sul (rekonsiliasi), il (resolusi konflik), ilh/salm (perdamaian), lain (non-kekerasan), dan dl (keadilan).[28] Nilai-nilai tersebut telah diaktualisasikan oleh masyarakat Batam dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika terjadi konflik antar individu yang bisa berpotensi mengarah pada konflik horizontal dengan menyeret-nyeret pada konflik suku dan agama maka dengan cepat diselesaikan melalui jalan musyawarah yang di fasilitasi oleh Lembaga Adat Melayu ( LAM) Batam, Forum Komunikasi Batam ( FKB), Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) serta pemerintah kota Batam dan aparat keamanan sendiri.  

 Selanjutnya, Will Kymlicka sebagaimana dikutip Dede Rosyada, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai pendidikan yang menjunjung tinggi hak-hak individual dan hak-hak budaya, keadilan dan hak-hak minoritas, aspirasi kelompok minoritas, serta toleransi antar individu dan kelompok.[29]  

 Secara historis, kebudayaan Melayu telah menanamkan nilai-nilai agama Islam pada warga suku Melayu melalui pendidikan non-formal. Bahkan sejak awal penyebaran Islam di daerah Sumatera, agama itu telah berhadapan dengan norma-norma, praktek dan konversi tradisional yang sudah meresap dalam kebudayaan Melayu yang dikenal sebagai "adat"[30]. Dalam banyak hal hubungan antara adat dan Islam bersifat dialektis karena ambiguitas, jika bukannya ambivalen, terus-menerus mencirikan dua kekuatan yang saling berhubungan satu sama lain.  Pada bagian lain Malinowski menyatakan bahwa magi[31] dan religi keduanya masuk dalam bidang sakral, sebuah unsur yang tidak dapat arti  lebih lanjut. Menurut pemikiran Malinowski mungkin paling tepat diistilahkan sebagai supernatural. Religi adalah "a body of self contained acts being themselves the fulfillment of their purpose".[32] Dalam buku Antropologi Budaya, Roger M.Keesing menyatakan, magis adalah upaya manusia memanipulasikan sebab akibat antara peristiwa dimana bagi kita tidaklah rasional.[33] 

 Adapun agama, Clifford Geertz merumuskan bahwa agama yaitu sistem simbolik yang fungsinya  menanamkan motivasi yang kuat dan  mendalam serta bertahan lama pada manusia dengan melahirkan konsepsi yang bersifat umum tentang keberadaan, kemudian membungkus konsepsi itu sedemikian rupa dalam suasana faktualitas sehingga suasana dan motivasi itu kelihatan sangat realistis.[34]

 Pendapat Geertz diperkuat lagi oleh Kluckhonn yang ditulis Roger M.Keesing menyatakan bahwa agama, pertama memberi penjelasan. Agama menjawab berbagai pertanyaan yang bersifat eksistensial: bagaimana asal-mula bumi, seperti apa hubungan antara manusia dengan makhluk lain serta kekuatan alam lainnya. Kedua, agama memberi pengesahan. Agama mengakomodir adanya kekuatan dalam alam semesta yang dapat mengendalikan dan menopang  tata susila dan tata sosial masyarakat leluhur, roh atau dewa-dewa memperkuat peraturan-peraturan dan memberi pengesahan serta  arti kepada perbuatan manusia. Ketiga, agama memberi kekuatan pada manusia dalam menghadapi segala kelemahan dalam hidup, mati, penyakit, kelaparan, bencana dan kegagalan.[35]

Dalam kaitan antara agama dan adat[36] sebagai sebuah unsur budaya, Azyumari Azra menyatakan dalam bukunya berjudul Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi bahwa tidak ada pertentangan antara adat dan agama. Hubungan adat dan agama yang seperti itu sangat indah diungkapkan dalam pepatah Minang; "adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Syara mangato adat memakai, Camin nan tidak kabau, palito nan tidak padam". ("Adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah. Syara' menyatakan adat mengejawantahkan. Cermin yang tidak buram, pelita yang tidak padam").[37] Hubungan adat dengan agama digambarkan dalam lambang kelengkapan sebuah nagari (negeri). Manurut Azra lambang nagari di Minangkabau adalah balai adat dan masjid. Tidaklah lengkap dan sempurna suatu nagari apabila salah satu dari yang dua itu tidak ada.[38] Demikian juga di kota Batam, masyarakat Melayu juga memiliki ungkapan yang sama yakni "Adat Bersendi syara', syara' bersendikan kitabullah". Ungkapan ini menjadi motivasi bagi seluruh masyarakat kota Batam dalam kehidupan sehari-hari bahwa setiap aktivitas hidup angota masyarakat harus berdasarkan atas tuntunan dan syariat agama masing-masing. 

 Sidi Gazalba menilai bahwa balai adat  merupakan sebuah lembaga kebudayaan, adapun masjid adalah lembaga agama. Kedudukan masjid di samping  balai adat sebagai lambang keharmonisan antara nini mama dan alim ulama pada masyarakat Minangkabau.[39] Hamka menyimpulkan, sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Ia bukan panduan minyak dengan air dalam susu. Islam bukan tempelan-tempatan dalam adat Minangkabau.[40]

 Dalam konteks budaya Melayu di Kota Batam, adat sebagaimana diuraikan Gazalba disebut Lembaga Adat Melayu (LAM).  Adapun Melayu sebagai sebuah budaya, terdapat banyak perbedaan definisi. Werndly, misalnya mengatakan bahwa kata "melayu" berasal dari kata "melaju" yang diambil dari dasar kata "laju" yang mengandung makna cepat, deras dan tangkas. Ini dapat diartikan bahwa orang melayu bersifat tangkas dan cerdas, segala tindak tanduk mereka cepat dan deras.[41] Begitu pun Van der Tuuk, menyatakan bahwa kata melayu berarti penyeberang. Maknanya adalah bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya dari Hindu-Budha kepada Islam. 

Kemudian Hollander, juga memberi arti melayu sebagai pengembara. Sebab  orang melayu suka mengembara atau menjelajah dari satu tempat ketempat lain.[42] Pendapat lainnya dari Harun Aminurrashid, mengatakan melayu berasal dari istilah bahasa sanskit yaitu "malaya", atau dari perkataan Tamil yaitu "malai" yang berarti bukit atau tanah tinggi.[43] Begitu juga Omar Amir Husin yang menyatakan bahwa kata melayu berasal dari satu daerah di negeri Persia yang bernama Mahaluyah. Penduduk Mahaluyah telah mengembara ke Asia Tenggara dan menetap di Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Suku Mahaluyah itulah yang membawa pengaruh kebudayaan Persia di daerah ini (seperti dalam kesusastraan melayu) beliau juga mengatakan kata melayu mungkin berasal dari nama-nama guru yang bergelar "Mulaya", guru inilah yang berperan menyuburkan kebudayaan melayu.[44]  Selain perbedaan pendapat mengenai arti dan makna melayu, asal usul bangsa melayu juga mengalami hal yang sama. Misalnya Van Ronkel, yang mengatakan bahwa bangsa Melayu ialah orang yang bertutur bahasa Melayu dan mendiami semenanjung tanah Melayu, kepulauan Riau Lingga serta beberapa daerah sumatera khususnya di Palembang.[45]

 Integrasi antara Melayu dengan  Islam yang kuat dalam masyarakat di kota Batam  sejalan dengan  idiom  yang berbunyi "Dunia Melayu-Dunia Islam" dan "Budaya Melayu-Budaya Islam". Yang dimaksud dengan dunia Melayu (The Malay World) di sini merupakan sebuah istilah yang sudah lama digunakan di dalam literatur asing  guna mengacu pada wilayah yang lebih luas dari wilayah Nusantara hingga kawasan Asia Tenggara.  Integrasi nilai Islam dan nilai budaya Melayu yang kuat dalam masyarakat suku Melayu di kota Batam  ini tidak lahir begitu saja, akan tetapi melalui proses panjang. Misalnya saja bagaimana kehidupan masyarakat Melayu di awal-awal masuknya Islam. Dimana realitas budaya Melayu yang kuat dengan nilai kepercayaan leluhurnya. Karena itu menghadapi kenyataan seperti ini maka agama Islam yang dijunjung tinggi oleh ulama melakukan tindakan-tindakan budaya yang dilakukan secara perlahan tetapi memberi hasil yang pasti, yaitu antara lain dilakukan proses Islamisasi budaya Melayu misalnya kepercayaan atau agama sebelumnya digeser dari arah kepercayaan makhluk halus (dewa-dewa) kepada kepercayaan dan kekuasaan Allah. Atau upaya-upaya ulama memperkaya budaya Melayu dengan dibuatnya karya tulis. Itulah sebabnya sebagian besar pengarang Melayu adalah juga seorang Ulama. Ulama di samping  menulis berbagai kitab juga membuat karya sastra seperti Gurindam, Hikayat, Syair maupun Pantun Tarekat yang kesemuanya dapat memperkaya khasanah budaya Melayu yang Islami. Proses ini juga merupakan sebuah proses yang mengandung nilai-nilai pendidikan sebab semua karya tersebut baik kitab maupun sastra  ditulis dalam bahasa arab Melayu.        

Menurut Tenas Efendy[46] di dalam bukunya "Melayu Masyarakat Terbuka" menyatakan bahwa identitas Melayu sangat perlu didudukkan secara benar. Jika Melayu dipahami secara ras, di dunia ini banyak jenis ras Melayu yang tersebar dari Indonesia sampai ke Madagaskar. Dalam Melayu yang besar ini, terdapat cabang-cabang di antaranya adalah Melayu serumpun seperti kita dengan Malaysia, Brunai Darussalam dan Melayu di Singapura. Kemudian dalam Melayu serumpun ada lagi Melayu serantau, puak Melayu Riau, Deli, Jambi dan lain-lain. 

Dalam paradigma adat resam Melayu menuturkan bahwa adat bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabullah yang merupakan ungkapan refleksionis dari suatu tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi adat sekaligus menegakkan tiang agama. Kitabullah merujuk pada Al Qur'an yang di dalamnya memuat segala petunjuk bagi umat Islam yang berfaedah ganda (duniawi dan ukhrawi). Meletakkan adat dan agama secara beriringan di dalam sosialitas Melayu kala itu merupakan wujud nyata kekuatan budaya yang sangat indah. Ini tidak lain menjelaskan bahwa budaya Melayu itu identik dengan agama Islam. Artinya ada akulturasi agama Islam dan budaya Melayu di dalam diri orang Melayu.[47] 

 Menurut Azyumardi Azra, dalam agama termasuk agama Islam terdapat didalamnya simbol-simbol  sistem sosia-kultural yang dapat memberikan konsepsi terhadap realitas dan rancangan untuk merealisasikannya. Akan tetapi simbol-simbol terkait realitas ini tidaklah harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Ajaran agama manapun, konsepsi manusia tentang realitas tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi kepercayaan pada otoritas mutlak yang berbeda dari suatu agama dengan agama lainnya. Di dalam Islam, konsepsi realitas berasal dari wahyu al-Qur'an dan Hadis. Konsepsi dasar realitas yang diberikan kedua sumber ini dipandang bersifat absolut dan karenanya, transenden dari realitas sosial.[48]

 Di samping itu agama juga merupakan realitas sosial, yang hidup dan berkembang sebagai manifestasi di dalam masyarakat. Di sini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas yang harus berhadapan dengan kenyataan adanya, dan bahkan keharusan atau sunnatullah dalam bentuk perubahan sosial. Dengan demikian al-Qur'an yang diyakini kaum Muslimin sebagai kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat berbenturan dengan kenyataan sosial yang selalu berubah.  Menurut Atho Mudzhar bahwa konsep integrasi atau akomodasi tersebut semakin yampak jika dikaitkan dengan pandangan yang mengatakan, bahwa Islam tidak seharusnya dilihat pada konteks agama wahyu dan doktrinal saja. Tetapi Islam harus dilihat juga sebagai fenomena dan gejala budaya dan sosial.[49]

 Hal ini sejalan dengan pendapat Max Weber bahwa tingginya tingkat perkembangan agama bukan ditentukan oleh konteks-konteks sosiologis entah di ranah kepemimpinan maupun pengikut melainkan suatu tingkat yang didalamnya struktur sosial masih menyisakan kemampuan untuk menjangkau, yang fleksibelitasnya sangat terbuka sehingga ketika inovasi kharismatik muncul apapun alasannya, jangkauan fleksibelitas yang terbatas namun sangat penting ini memampukan peluang penginovasian terwujud, dan yang pada akhirnya jadi terlembagakan.[50]   

 Salah satu tujuan pendidikan yakni melestarikan dan meningkatkan kebudayaan suatu masyarakat, dengan pendidikan manusia dapat mentransfer kebudayaannya pada generasi selanjutnya. Begitu juga sebagai  masyarakat tentu mencita-citakan terwujudnya masyarakat dan kebudayaannya yang lebih baik lagi ke depan, untuk mewujudkan itu maka  pendidikan juga harus seiring kearah yang lebih baik. Budaya melayu sebagai hasil budi dan karya masyarakat pendukungnya di kota Batam  dalam hal berbagai bentuk dan eksistensinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik masyarakat yang secara elastis dan tidak kaku, bahkan selalu mengalami perkembangan dan perubahan serta membina masyarakat pendukungnya untuk selalu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural.

Kaitan dengan itu, Carter V.Good[51] dalam buku Dictionary of Education dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses perkembangan kecakapan manusia berupa sikap dan prilaku yang dianut dalam suatu masyarakat, dimana manusia dapat dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang terorganisir seperti lembaga sekolah sehingga ia dapat mencapai tingkat kecakapan sosial serta mengembangkannya pada pribadi masing-masing. Sedangkan Freeman Butt dalam buku  Cultural History of Western Education, disebutkan bahwa pendidikan adalah proses kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebudayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.[52]

 Memperhatikan uraian di atas sangat jelas betapa besar keterikatan antara agama, budaya Melayu dan pendidikan. Agama khususnya Islam begitupun budaya khususnya budaya Melayu dapat menjadi perekat keharmonisan di tengah-tengah masyarakat multikultural dan pluralitas di kota Batam. Karena itu salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menghindarkan manusia dari kebodohan, ketertindasan dan pertikaian adalah melalui pendidikan yang baik, kompetetif dan merata. Pendidikan yang dimaksud disini adalah tentu pendidikan dalam arti yang luas, bukan sekedar pendidikan dengan gelar-gelar akademik yang tinggi, akan tetapi pendidikan yang menanamkan nilai-nilai agama dan mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban yang unggul dan memberi manfaat yang besar di tengah masyarakat, bukan saja yang bersumber dari budaya lokal, tapi juga yang bersumber dari nilai ilahiah yanag cenderung terkikis oleh zaman yang kekinian ini. Itulah sebabnya M. Amin Abdullah menyatakan bahwa diperlukan sebuah model pendidikan yang dapat mengakomodasikan budaya setempat (dalam hal ini budaya Melayu), sekaligus mempertahankan tradisi dan identitas keagamaan.[53]  

Kemudian dipertegas lagi oleh Azyumardi Azra, pendidikan adalah lebih dari sekedar pengajaran, jika pengajaran hanya berfokus pada proses transfer ilmu, akan tetapi dalam pendidikan terdapat pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik. Dengan demikian nilai-nilai keagamaan, kebudayaan dan suatu bangsa dapat diwariskan kepada generasi muda.[54]  Adapun pendidikan Islam digambarkan dalam Al Qur'an dengan istilah tarbiyah dalam surat Al Isra' ayat 24 "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah : "Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".[55] Abdurrahman an-Nahlawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah dalam ayat di atas adalah memeliharan fitrah anak dan menumbuhkan seluruh bakatnya, serta mengarahkannya agar menjadi baik dan sempurna secara bertahap.[56] Sedangkan Syeh Muhammad al Naquib al Attas tidak menerima penggunaan kata tarbiyah untuk menandai konsep pendidikan jika yang dimaksud pendidikan Islam adalah sesuatu yang khusus bagi manusia. Menurut pendapatnya, kata tarbiyah mengandung arti "menghasilkan, mengembangkan, membesarkan, atau menjadikan bertambah dalam pertumbuhan".[57]

Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fatah Jalal menawarkan istilah ta'lim untuk menunjukkan konsep pendidikan dalam Islam. Menurutnya, ta'lim adalah proses pembentukan pengetahuan, pemahaman, pengertian dan tanggung jawab sehingga terjadi penyucian atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikannya berada dalam kondisi yang memungkikan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.[58]  Dengan demikian, dalam konteks kajian ini maka yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah ilmu yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah A'zza wa Jalla dan menyiapkannya untuk hidup dengan bahagia dalam naungan syariat Allah Ta'ala.[59] 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.A. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005.

Al Syaibani, Omar. Falsafah Pendidikan Islami. Perdana Publishing, 2008.

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. Konsep pendidikan dalam Islam (terj) haidar Baqir dari The Concept of Education of Islam). Mizan, Bandung, 1984.

Ali, Ibrahim. Pengelolaan Pembangunan Berkelanjutan. LeutikaPrio, 2014.

Ali, Maulana Muhammad, desainbuku.com, studiquran.com, and okebook. Al Qur'an Terjemah dan Tafsir. Darul Kutubil Islamiyah, 2015.

Allport, Gordon Willard, and Philip Ewart Vernon. A Study of Values, a Scale for Measuring the Dominant Interests in Personality: Manual of Directions. Houghton Mifflin, 1931.

Andaya, Barbara Watson. "The Role of the Anak Raja in Malay History: A Case Study from Eighteenth-Century Kedah." Journal of Southeast Asian Studies 7, no. 2 (1976): 162--86.

Andaya, Leonard Y. "Orang Asli and The Melayu in the History of Malay  Peninsula." Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 75, no. 1 (282) (2002): 23--48.

Antono, Agil. "Kebudayaan Suku Melayu yang Paling Fenomenal." IlmuSeni.com, December 28, 2017. https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-melayu.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, 1992. https://books.google.co.id/books?id=aO5BAQAACAAJ.

Azra, A. Esei-Esei Intelektual Muslim Dan Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu, 1999.

---------. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Azra, A., and I. Thaha. Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modernisasi. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama Prenadamedia Group, 2017.

Azra, Azyumardi. Paradigma baru pendidikan nasional: rekonstruksi dan demokratisasi. Penerbit Buku Kompas, 2014.

Baidhawy, Zakiyuddin. "Building Harmony and Peace through Multiculturalist Theologybased Religious Education: An Alternative for Contemporary Indonesia." British Journal of Religious Education 29, no. 1 (January 2007): 15--30.

Banks, David J. "Resurgent Islam and Malay Rural Culture: Malay Novelists and the Invention of Culture." American Ethnologist 17, no. 3 (1990): 531--48.

Banks, James A., and Cherry A. McGee Banks. Multicultural Education: Issues and Perspectives. John Wiley & Sons, 2009.

Bogdan, R. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theories and Methods. Pearson Education, Limited, 2012.

Brickman, William W. "A Warm (Even Hot) Welcome for New Dictionary of Education." Edited by Carter V. Good. The Phi Delta Kappan 55, no. 6 (1974): 424--25.

Chaplin, James Patrick. Kamus lengkap psikologi. Raja Grafindo Persada, 2005.

Cohen, A.P. Symbolic Construction of Community. Key Ideas. Taylor & Francis, 2013.

Darmiyati Zucdi. Pendidikan karakter dalam perspektif teori dan praktik. UNY Press, 2015.

Duranti, Alessandro. Linguistic Anthropology: A Reader. John Wiley & Sons, 2009.

Effendy, T. Melayu Masyarakat Terbuka. Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, 2005.

FEE, LIAN KWEN. "The Construction of Malay Identity across Nations: Malaysia, Singapore, and Indonesia." Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 157, no. 4 (2001): 861--79.

Gall, M.D., J.P. Gall, and W.R. Borg. Educational Research: An Introduction. Pearson/Allyn & Bacon, 2007.

Gazalba, S. Mesjid, Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam. Pustaka Antara, 1983.

Geertz, C., A. Mahasin, and B. Rasuanto. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa. Komunitas Bambu, 2013.

Glaser, Barney. Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Routledge, 2017.

Gould, W.L., and M. Barkun. Social Science Literature: A Bibliography for International Law. Princeton Legacy Library. Princeton University Press, 2015.

Grasindo, Tim. UUD 1945 Republik Indonesia. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2017.

GRIJNS, C.D. "Van Der Tuuk and the Study of Malay." Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 152, no. 3 (1996): 353--81.

Hamka. Ayahku: PTS Publishing House, 2015.

Hamzah, 'Umar Yusuf. Ma'alimu't Tarbiyat fi'l Quran wa's-Sunnat. Yordan: Dar Usama, 1996.

Haukkala, H., C. van de Wetering, and J. Vuorelma. Trust in International Relations: Rationalist, Constructivist, and Psychological Approaches. Routledge Global Cooperation Series. Taylor & Francis, 2018.

Haviland, W.A. Antropologi. Penerbit Erlangga, 1988.

Hollander, J.J. de. Pedoman Bahasa Dan Sastra Melayu. Balai Pustaka. Balai Pustaka, 1984.

Jalal, Abdul Fatah. Asas-asas pendidikan Islam (terj). Hery Noer Aly dari Min Al Ushul Tarbiyah fi al Islam. Diponegoro, Bandung, 1988.

Jati, Wasisto Raharjo. "Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikultural SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta." Jurnal Cakrawala Pendidikan 1, no. 1 (February 5, 2014).

Keesing, R.M., and R.G. Soekadijo. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Erlangga, 1992.

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

---------. Pengantar Antropologi. Pengantar Antropologi. Rineka Cipta, 2012.

Lincoln, Y.S., Y.S.L.E.G. Guba, and E.G. Guba. Naturalistic Inquiry. Sage Focus Editions. SAGE Publications, 1985.

Ma'arif, Syamsul. Revitalisasi pendidikan Islam. Graha Ilmu, 2007.

Madkour, I. Aliran Dan Teori Filsafat Islam. Bumi Aksara, 1995.

Matheson, Virginia. "Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Lingga-Riau." Journal of Southeast Asian Studies 17, no. 1 (1986): 5--38.

Media, Kompas Cyber. "Indonesia Negara Majemuk, Berkah atau Musibah bagi Pengembangan Iptek?" KOMPAS.com, August 23, 2017. https://sains.kompas.com/read/2017/08/23/172029423/indonesia-negara-majemuk-berkah-atau-musibah-bagi-pengembangan-iptek.

Merriam, S.B., and E.J. Tisdell. Qualitative Research: A Guide to Design and Implementation. The Jossey-Bass Higher and Adult Education Series. Wiley, 2015.

Miles, M.B., A.M. Huberman, and T.R. Rohidi. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, 1992.

Milner, A. C. "Islam and Malay Kingship." Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no. 1 (1981): 46--70.

---------. "Malay Local History: An Introduction." Journal of Southeast Asian Studies 17, no. 1 (1986): 1--4.

Mudzhar, M.A. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek. Seri Studi Agama. Pustaka Pelajar, 1998.

Muhadjir, H.N. Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Dan Realisme Metaphistik, Telaah Studi Teks Dan Penelitian Agama. Rake Sarasin, 1996.

Mukhibat, Mukhibat. "Meneguhkan Kembali Budaya Pesantren Dalam Merajut Lokalitas, Nasionalitas, dan Globalitas." KARSA: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman 23, no. 2 (February 2, 2016): 177.

Mulyana, D. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Mulyana, Rahmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 2011.

Nahlawi, Abdurrahman an-. "Ushul Al Taarbiyah Al Islamiyah Wa Asalibuha Fi Al Bayt Wa Al Madrasah Wa Al Mujtama." Daar Al Fikr, Damaskus, 1979, h.12.

Nawawi, H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press, 1990.

Nielsen, Jrgen S. "Citizenship Education in Multicultural Societies." In Islam and Citizenship Education, edited by Ednan Aslan and Marcia Hermansen, 57--66. Wiener Beitrge Zur Islamforschung. Wiesbaden: Springer Fachmedien Wiesbaden, 2015.

nikodemusoul. "Literas et Linguam -- Asal Dan Arti Kata 'Melayu.'" NikodemusYudhoSulistyo's World (blog), 2013. https://nikodemusoul.wordpress.com/2013/05/05/literas-et-linguam-asal-dan-arti-kata-melayu/.

Pijnappel, J. Maleische Spraakkunst. Great Collections Microfilming Project: John M. Echols Collection. M. Nijhoff, 1866.

Rohman, Miftahur. "Internalisasi Nilai-Nilai Sosio-Kultural Etno-Religi di MAN Yogyakarta III" 12, no. 1 (2017): 26.

Ronkel, P.S. van. Adat Radja Radja Melajoe: Brill, 1929.

Rosyada, Dede. "Pendidikan Multikultural di Indonesia Sebuah Pandangan Konsepseional  L." SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal 1, no. 1 (June 29, 2014).

Sekaran, Uma. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach. Wiley, 2000. https://books.google.co.id/books?id=8ClZAAAAYAAJ.

Spradley, James P. Metode etnografi, 1997.

Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan: (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D). Alfabeta, 2008.

Sumihara. "Pendidikan Islam Dengan Nilai-Nilai Budaya." Adabiyah XI, no. 3 (2011).

Tambak, Syahraini. "Implementasi Budaya Melayu Dalam Kurikulum Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di Riau." MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 41, no. 2 (January 22, 2018).

Tilaar, H. A. R. Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia. Remaja Rosdakarya, 2002.

Varenne, Herv. "Culture, Education, Anthropology." Anthropology & Education Quarterly 39, no. 4 (2008): 356--68.

Weber, M., E.A.H. Iyubenu, and M. Yamin. Sosiologi Agama. Ircisod, 2002.

Winstedt, R. O. "A Malay History of Riau and Johore." Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 10, no. 2 (114) (1932): 320--303.

---------. "Outline of A Malay History of Riau." Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 11, no. 2 (117) (1933): 157--60.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun