"Kalau kamu nggak ngirim uang, aku nggak bakalan pulang."
Darni tertegun, " Ya, mas. Aku usahakan secepatnya."
Seketika ingatan Darni menuju Surti, kakak satu-satunya. Semenjak  bapak dan ibunya tiada, hanya Surti tempat Darni berkeluh kesah. Dia faham, kakaknya juga bukan kalangan orang berada, walaupun suaminya seorang Pegawai Negeri Sipil golongan rendah. Namun dia tak punya pandangan lain. Darni bukan jenis perempuan yang punya banyak teman. Dia terlalu malu untuk mengganggu orang lain, walau pun kepentingan yang mendesak.
Segera dia menelepon kakaknya.
"Mbak, maaf ya. Aku mau ngrepoti." Ujarnya lirih.
"Ada apa, Dik? , " tanya kakakku.
"Anu, Mbak, anuu....mau pinjam uang, ada? Sedikit saja, kok." Kata Darni takut-takut.
"Berapa? Buat apa? Jatah bulanan suamimu habis?" tanya kakakku bertubi-tubi tapi lembut.
"Mas Harjo, Mbak. Dia pergi lagi. Sudah dua hari," jawabku menahan tangis.
"Ya Allah, Dik. Kenapa nggak bilang aku? Doni dan Mira bagaimana? Masih punya bahan makanan untuk mereka? Kasihan. Atau dibawa saja ke sini, Dik? Biar mereka bermain dengan Arsyil"
Kakaknya terlihat sangat khawatir. Dia faham benar  masalah Darni  dengan kondisi suami bipolar-nya. Selama ini, memang hanya dia yang tahu permasalahan rumah tangga adik satu-satunya itu. Dia juga awalnya tak menyangka, karena Harjo adalah sosok yang sangat mudah bergaul dan rajin beribadah. Tak terlihat sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa Harjo adalah seorang penderita bipolar disorder.