Cerita Pembuka
Pertengahan Agustus 2021, Kota Hujan
Sore itu mendung dan sejuk, tapi tak mengurangi minat saya pada segelas Iced Matcha Latte. Rekan saya, sebut saja namanya Lebah, belum tampak selesai dengan pilihan minumannya. “On me,” saya bilang, mengingatkan dia kalau kudapan kami sore ini adalah hadiah perpisahan dari saya.
Kawan saya itu akhirnya menulis pesanannya di secarik kertas dan kemudian pergi ke counter. Entah apa yang dipesannya, tapi saya perhatikan raut wajahnya masih cemberut setelah kembali ke meja. Ia duduk sembari menghela napas panjang.
“Gue kemarin ngadep yayasan lagi,” katanya, “Coba apa jawabannya?”
Saya menaikkan alis. Bibir saya sudah menyatu dengan sedotan.
“Jadi guru tuh harus ikhlas.” Suaranya bergetar saat menirukan atasannya. “Gaji kagak sampe 2 masih disuruh ikhlas!”
Seketika matcha yang melewati lidah saya terasa pahitnya saja. Jujur saya sedikit kaget. Lebah memang sudah lama merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerjanya, tapi ini kali pertama saya melihat dia mengeluh selugas ini. Kami sama-sama seorang guru di sekolah swasta Islam, tapi di tempat yang berbeda tentunya beda pula pengalaman yang kami terima. Menurut pengalaman saya, saya beruntung—eh, bahkan tanpa dibandingkan dengan kawan saya inipun, saya akan tetap bilang bahwa diri saya ini beruntung. Soal gaji, saya memang lebih besar dari Lebah, tapi jujur bukan itu yang membuat saya meraasa beruntung. Saya merasa beruntung sebab saya merasa menjadi manusia utuh selama bekerja di sekolah yang akan saya tinggalkan beberepa pekan ke depan itu. Saya merasa berharga, sebab saya dihargai. Saya merasa kaya, tidak dengan harta, tetapi pengalaman dan inspirasi. Sungguh, jika bisa, saya ingin berlama-lama di sekolah saya mendidik saat itu.
Selanjutnya obrolan kami didominasi curahatan hati kawan saya itu. Soal yayasan, soal orang tua murid, sampai masalah keluarganya. Saya yang mendengarnya merasa campur aduk. Saya ingin berempati, tapi di satu sisi saya ingin sedikit membela diri bahwa tidak semua institusi pendidikan seperti itu. Tapi akhirnya saya urungkan, sebab cerita saya soal pengalaman-pengalaman mengajar saya yang menyenangkan pasti hanya akan jadi garam untuk lukanya—dan tampaknya begitulah kejadiannya saat dia mengeluhkan keadaan ekonominya yang belum sejahtera tapi malah disuruh untuk ikhlas.
“Sorry telat, guys. Gila macet banget Bogor.” Kawan saya yang lain datang, sebut saja namanya Merpati. Sama seperti saya dan Lebah, Merpati juga guru swasta. Bedanya, Merpati ini guru swasta sekolah Katolik.
Sambil mengipas-ngipasi dirinya dengan buku menu, Merpati mengeluarkan laptop dari tasnya. Itu HP Pavilion x360, saya bisa tahu sekali lihat sebab sudah lama saya menaruhnya dalam keranjang Tokopedia. Melihat jemari Merpati menari-nari di layar sentuh laptopnya, saya dan Lebah hanya bisa menelan ludah dan menahan ekspresi mupeng. Haha, dasar manusia…