Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Trouble Maker (Part 11)

30 Maret 2019   12:19 Diperbarui: 30 Maret 2019   12:33 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tadi itu Pak Aryo, Ayah Radit." Adrian buka mulut saat tiba di rumahku. Seolah merasakan rasa penasaran yang sejak tadi melingkupiku.

"Kamu tahu dari mana, Yan?"

"Ya.... Tahu aja. Hehe."

"Cerita dong, Yan..." Aku merengek. Penasaran.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 10)

Dulu Tante Rianti, ibunya Radit, sebelum menikah dengan Om Aryo, ketika masih SMA Tante Rianti menjalin hubungan dengan Pak Ryo. Kemudian kandas karena Pak Ryo dijodohkan dengan Tante Aisyah, Ibunya Rades. Maka ketika Tante Rianti bercerai dengan Om Aryo karena Om Aryo divonis 2 tahun penjara karena kasus narkoba, ya Om Aryo terbukti sebagai pengedar. Pak Ryo yang masih belum bisa melupakan perasaannya pada Tante Rianti, menikahinya secara sirri. Awalnya Radit dan Rades yang kala itu masih SMP bisa bergaul akur. Lama setalah Om Aryo dibebaskan dari pejara, ia meminta Tante Rianti untuk rujuk. Di situlah hubungan rumit keluarga ini dimulai. Tentu saja Tante Rianti tidak mau untuk kembali pada Om Aryo. Om Aryo sering diam-diam menemui Radit. Pernah pula Om Aryo terlibat pertengkaran dengan Pak Ryo yang menyebabkan Om Aryo ditahan beberapa hari atas laporan Pak Ryo karena melalukan penyerangan dan kegaduhan di rumahnya. Ternyata tidak cuma anak muda saja suka berantem berebut pacara. Hihi....

***

Siang ini, duduk santaiku di depan TV terganggu, pasalnya tiba-tiba saja Rinta hadir di depanku ngomel-ngomel kayak orang kesurupan.

"Kamu bener-bener kurang ajar ya, Prin! " Labraknya, membuat camilan yang aku pegang tumpah.

"Ngomong apa sih kamu, Rin? Datang ke rumah orang harus tahu sopan santun dong!"

"Katanya kamu sudah jadian sama Rades, tapi kenapa kamu masih ngeganggu aku sama Radit ?"

Oh! Itu to masalahnya. Ternyata Radit mutusin Rinta dengan alasan masih sayang sama aku katanya, jadi wajar kalau Rinta sampai marah-marah macam ngelabrak pelakor, bahkan dia mengeluarkan sumpah serapan dan tamparan yang tentunya berhasil aku tangkis. Maaf Rinta, mungkin dulu kamu boleh sampai berbusa curhat tentang seberapa banyak cowok yang kamu putusin duluan begitu kamu sudah bosan. Tapi kali ini? Aku tidak akan menjadi pendengar yang baik. Mungkin sudah tiba karma untukmu. Tahu kan bagaimana rasanya ditinggal ketika sayang-sayangnya?

"Lebih baik kamu pulang saja, Rin. Percuma kita bicara kalau kamu lagi emosi." Usirku berusaha tenang agar tidak semakin membuat suasana makin runyam.

"Aku nggak akan tinggal diam kalau kamu masih terus dekat sama Radit." Ucapnya kemudian pergi.

Aduh, Rinta. Hanya karena perasaanmu dibutakan oleh cinta, persahabatan yang kita bangun hancur seketika. Bagaimana mungkin semua kenangan persahabatan kita berubah menjadi tidak ada artinya begitu saja saat ini? Andai saja kamu bicara baik-baik, aku pasti akan berusaha merelakan Radit untuk kamu, Rin. Ah, sudahlah! Cinta memang buta, saking bukanya, orang yang coba membantu menuntunpun dianggap lawan yang akan menjegal.

***

"Pasti Rinta datang ke kamu ya? " Tukas Radit keesokan harinya, bertamu ke rumahku.

"Selesaikan dulu masalah kamu dengan Rinta, baru kamu boleh datang lagi padaku, Dit!"

"Aku benar-benar tulus sayang sama kamu, kamu mau kan balikan lagi ama aku, Prin?" Ah, dasar Radit, yang tidak suka bertele-tele dan langsung ke topik.

"Ini yang kamu maksud tempo hari? Kamu anggap persahabatan aku dan Rinta itu tidak artinya sehingga kamu bisa dengan mudah dan tidak berperasaan menghancurkannya?" Aku geram.

"Sudah aku bilang, saat itu masih ada urusan yang harus aku selesaikan, Prin. Dan sekarang, kita bisa kembali seperti dulu tanpa ada yang mengganggu lagi."

"Urusan yang harus diselesaikan itu, pertama menghancurkan keluarga Rades dan memenjarakan Pak Ryo? Kedua merusak persahabatanku dengan Rinta? Ketiga, Menghancurkan keberadaan Geng TM? Keempat, membantu Ayahmu melampiaskan dendamnya?" kutarik nafas panjang berusaha meredam emosiku yang bersiap meledak. Sementara Radit masih selalu sama, tenang dalam raut mukanya yang datar dan terus menjelaskan alasan dari banyak hal yang aku tuduhkan padanya.

"Aku tidak sejahat itu, Prin. Kalau masalah Rades, itu bukan salah aku, memang fakta kan? Rades dan geng TM memang berkasus sejak dulu. Masalah pemecatan Pak Ryo dan penahanannya, kamu butuh bukti apa? Dia korup itu bukan fitnah, aku cuma ngejalanin kewajiban sebagai warga negara yang baik untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Jadi bukan salah aku kalau akhirnya mereka mendapatkan balasan dari perbuatan mereka sendiri. Sedang keluargaku, mereka hancurkan dengan kebusukan mereka, sekarang siapa yang jahat, aku atau mereka? Kamu belum tahu saja bagaimana jahatnya Pak Ryo yang sengaja menjebak Ayahku hingga divonis sebagai pengedar Narkoba." Radit melantangkannya dengan kesungguhan, dan aku hanya terdiam karena aku sudah menyerah untuk memahami duduk permasalahan kerumitan keluarga mereka. Cerita apa lagi ini? Mana yang harusnya aku percaya? Apa saat ini nilai kebenaran sudah tidak lagi terkotak pada hitam dan putih? Semua berubah abu-abu dan dapat menjadi hitam atau putih tergantung siapa yang menjelaskan? Ah, kepalaku nyilu. Hatiku lebih nyilu.

"Kalau masalah Rinta, aku memang salah. Aku benar-benar minta maaf. Tidak seharusnya aku memanfaatkan perasaannya demi mensukseskan rencanaku. Bolehkan aku membantumu untuk berbaikan lagi dengan Rinta. Besok ayo kita bersama temui Rinta." Radit mendekat dan memegang tanganku. Hatiku makin nyilu. Perasaan macam apa ini? Ah, Radit...

"Sorry, Dit! Aku tidak bisa nerima kamu lagi." Kulepas tangannya dan melipat kedua tanganku di dada.

"Kenapa?"

"Memang perasaan sayang itu masih ada buat kamu, tapi aku tidak bisa, dengan sikap kamu ke Rinta yang kayak gitu, tidak menutup kemungkinan kamu bakal memperlakukan aku kayak gitu juga. Kamu peluk saat kamu butuh, kamu lempar jika sudah tidak menghasilkan keuntungan."

"Nggak Prin! Tolong beri aku kesempatan."

"Kercayaanku belum lagi pulih, Dit.  Lagi pula aku sudah jadian dengan Rades."

Radit diam. Lama.

"Ya sudah, aku pamit, Prin." Ucapnya beranjak dari duduknya.

Aku hanya  mengangguk mengantar kepergiannya lewat pandangan mataku.

"Semoga kamu tidak lebih menyesal lagi jika nanti kamu tahu bagaimana Rades sebenarnya."

"Oh! Kamu mau bilang kalau kamu itu lebih baik dari Rades gitu?"

"Tidak, aku cuma pengen bilang kalau saat ini aku sedang berusaha menjaga orang yang aku cintai." Iapun beranjak  dengan langkah yyang dipercepat.

Kepergiannya menyisakan sederet tanda tanya besar dalam benakku. Kenapa semua harus begini? Raditya Anggara yang dulu memang tak ku fahami tabiatnya kini  bertambah tak ku mengerti. Sikapnya yang seperti ini, apa benar ini Radit yang ku kenal? Bukankah dulu Radit sering bersikap dingin dan masa bodoh jika aku ngambek? Mengapa sekarang begitu kukuh ia meyakinkanku untuk kembali?

Dan Rades, aku sendiri masih percaya mengapa bisa aku bersedia menjadi pacarnya. Rasanya dia dulu adalah Monster Setan yang sangat ku benci. Selalu membuat onar seenaknya. Tapi kenapa deganku sekarang? Malah jatuh dalam dekapannya. Bukannya sejak dulu takdir sudah seperti ini? Selalu mempermainkan manusia seenaknya. Adda banyak hal yang bisa dibolak-balik sekenanya oleh waktu. Apa yang dibenci, takkan selamanya dibenci. Ada banyak hal yang tak kita suka dapat menjadi hal yang sangat kita suka jika sudah mengenalnya lebih dekat.

Aku sendiri tak tahu, tindakanku ini benar atau tidak, aku tidak tahu kenapa bisa menerima Rades. Padahal aku masih belum kenal betul pribadi Rades yang sebenarnya. Apalagi sekarang Rades dipenjara, memang dia di sana karena kesalahan masa lalunya, tapi itu bukannya telah memberiku cukup bukti bahwa Rades bukanlah yang terbaik untuk ku? Ditambah lagi keluarganya bermasalah. Mungkin benar ya ungkapan bahwa Badboy itu lebih menarik? Aduh, Prinsa. Pikiran macam apa sih yang sedang meracunimu? Sadarlah....

Oh ya! Hari ini aku masih belum menjenguk Randa.

Ku tata langkah walau dengan sejuta tanya menghujani otakku. Kali ini aku sedang berjalan di atas benda yang terhampar memutih, tetapi tak seputih hatiku. Dengan membawa otak yang penuh perkara aku mencoba menguatkan diri menjenguk Randa.

"Suster! Pasien di ruang ini kemana?" Tanyaku ketika tak kudapati Randa di ruangannya.

"Oh! Pasien di ruang ini ada di ruang sentral bedah sedang melakukan operasi."

"Apa!....Randa sedang operasi? Ruangannya dimana ya, Sus?"

"Mari saya antar."

Kuekori langkah si suster itu. Begitu tiba di sana, ku lihat Tante Aisyah sedang duduk dalam gelisahnya menunggui ruang operasi, ditemani Radit yang duduk agak jauh. Apa? Ada usrusan apa Radit di sini?

"Tante! Gimana keadaan Randa?" Tanyaku menyapa.

"Prinsa! Tante nggak tahu harus gimana,  sudah dua jam Randa di dalam sana."

"Sudahlah tante! Prinsa yakin kok, Randa akan baik-baik saja. Dokter pasti akan melakukan yang terbaik."

Kutemani tante dengan tangisnya, kucoba untuk menguatkannya. Lagi pula ibu yang setegar apapun kalau sudah menyangkut nyawa anaknya pasti akan gelisah. Selama sekian satuan waktu kulihat ke arah Radit yang duduk membisu yang sibuk bergantian melihat kearah kami.

Satu jam kemudian,  operasi selesai.

"Gimana keadaan Randa, Dok?"

"Operasinya berhasil." Tukas sang dokter di sertai senyuman yang kiranya dimaksudkan untuk menenangkan kami. Dan memang benar, semua perasaan cemas dan ketegangan telah sirna dan berganti ketenangan.

"Boleh saya melihatnya dok?" Rupanya tante Aisyah tak sabar melihat si buah hatinya.

"Boleh, tapi dia masih belum sadarkan diri lebih baik tunggu saja kalau sudah di pindah ke ruang rawat."

Malam ini kami bertiga menginap menunggu Randa. Tante Aisyahpun dengan setia menunggu Randa di dalam sana. Begitu besar kebahagiannya dan berharap vonis yang selama ini ramai di ucapkan oleh dokter yang memeriksanya segera sirna.

"Kamu dapat dari mana biaya operasi Randa?" Tanyaku kemudian memecah kesunyian diantara kami.

"Itu bukan urusan kamu." Jawab Radit dingin. Ah ya, Radit yang beginilah yang aku kenal memang.

Aku diam kembali. Tak mau mencampuri lebih jauh

 "Aku dapat dari taruhan." Jawab Radit saat beberapa menit kemudian.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 1)

Trouble Maker (Part 2)

Trouble Maker (Part 3)

Trouble Maker (Part 4)

Trouble Maker (Part 5)

Trouble Maker (Part 6)

Trouble Maker (Part 7)

Trouble Makes (Part 8)

Trouble Maker (Part 9)

Trouble Maker (Part 10)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun