Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Trouble Maker (Part 10)

28 Maret 2019   11:21 Diperbarui: 28 Maret 2019   11:46 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga hari pasca penahanan Geng TM, kini digelar sidang perdana kasus mereka. Hari ini kukorbankan sekolahku untuk mengikuti persidangan itu. Batinku berkecamuk. Dari kursi penonton aku pandangi berganti-ganti wajah Rades dan Radit. Ada seraut ketakutan dalam air muka Rades. Ia tak banyak bertingkah, sementara pengacara yang di sewa Pak Ryo terus saja membisikkan hal yang entah apa. Lain lagi Radit, ia memang selalu menjadi Radit. Wajahnya tenang dan sering mengedar pandang ke arah penonton, apakah ada yang sedang ia tunggu? Siapa?

Baca Juga: Trouble Maker (Part 9)

Persidangannya di gelar. Radit tersenyum puas, pada siapa?  Ah, ya. Ada Rinta di bangku penonton paling depan. Entah apa yang mereka komunikasikan, tapi yang aku lihat, Radit sama sekali tak pernah melihat ke arahku. Aku kesal. Tapi siapa aku yang punya hak untuk menolak perlakuan Radit yang begitu?

Kasus persidangan segera di kupas, 3 pengacara dari pihak Rades dan Geng TM seperti kewalahan, Rades terlihat ketakutan. Ku lihat ke arah Radit, dia begitu tenang dengan tatapan dinginya seperti biasa dengan Rinta yang setia menemaninya. Aku geram, tapi tak berdaya, hasil persidangan seperti sudah di skenario oleh seseorang yang berada di balik layar, geng TM dipukul telak, benar memang Rades tidak terbukti sebagai pengedar tapi dia terbukti bersalah atas tuduhan penganiyaan atau tindak kekerasan. Dia akan berada di tahanan paling tidak 6 bulan, semua itu berlaku bagi geng TM, terkecuali Herman, dia terbukti sebagai pengedar bersama Alan. Dan kabar baik datang pada Radit, dia bebas, aku turut senang mendengarnya. Tapi bercampur geram yang sagat saat diakhir persidangan kulihat Radit memeluk Rinta erat dengan tawa penuh kemenangan.

Rades menangis dalam pelukan Pak Ryo. Aku menghampirinya. Kupegang tangannya, dingin sekali. Sepertinya ketakutan sudah menjalar dalam seluruh tubuhnya. Kuseka air matanya dengan tisu, dan Rades tersenyum.

"Terima kasih." Air matanya semakin deras menuruni pipi dan rahangnya yang keras. Tah tahan aku melihatnya begitu. Kutarik tubuhnya, kupeluk erat. Lama Rades tenggelam dalam dekapanku, tak satu katapun keluar dari Rades, pasti dia sangat terpukul.

"Mari!" Suara itu, benar cuma satu kata tapi benar-benar menghancurkan momen mengharukan ini, dua orang polisi menyeret Rades lepas dari dekapanku.

"Rades!" Pekikku lemah, dan ia berlalu bersama polisi yang kembali membawanya ke dalam penjara.

"Sudahlah! Anggap ini pelajaran. Bukannya ini bayaran dari kelakuannya selama ini?" Pak Ryo menepuk pundakku, mencoba menenangkanku. Tapi dari kata-katanya sepertinya dia tidak terlalu sedih, seperti mensyukuri dan berharap ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk Rades agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.

Radit datang menghampiriku, dengan tangan Rinta bergelayut di lengannya. Seolah sengaja menghampiriku untuk memamerkan kemesraan mereka.

"Thanks ya!" Ucap Radit sembari menjulurkan tangannya. Dengan ragu-ragu aku sambut jabat tangan itu. "Kamu udah datang meski kamu datang bukan untuk aku." Lanjut Radit kemudian melenggang pergi bersama Rinta yang tak satu katapun melempar sapa padaku.

"Oh ya Rinta...." Cegahku. Mereka berdua kembali berbalik, "Selamat ya. Selamat untuk hubungan kalian dan selamat untuk kebebasanmu, Radit. Beneran, aku turut bahagia buat kalian." Aku tidak mau dianggap sebagai pihak yang kalah juga di hadapan dua orang ini. Kupaksakan senyum manisku menghadapi Radit, mantan pacarku, dan Rinta, mantan sahabatku? Pantang bagiku membiarkan mereka di atas angin.

***

Hari ini berjalan begitu berat. Dua bulan berlalu, selalu kusempatkan waktu untuk menjenguk Rades paling tidak setiap akhir pekan, dia masih terpukul, Pak Ryo tak mau membebaskan Rades dengan uang jaminan. Masih kukuh bahwa Rades harus belajar bertanggungjawab atas apa yang berani ia perbuat.

Raditpun kembali melanjutkan hidupnya, melanjutkan sekolahnya, tapi di sekolah lain diikuti pula Rinta, dasar mereka benar-benar cocok. Nggak tahu kenapa sekarang aku bersyukur tidak lagi satu sekolah dengan 2 manusia itu. Aman. Tentram. Apalagi sekolah ini udah bebas dari ancaman geng TM.

"Ini yang aku maksud kebenaran nggak bakalan pernah kalah, dan itu udah terbuktikan ?......." Ucap Radit suatu ketika dia tiba-tiba datang ke rumahku sebulan setelah kebebasannya, dia juga menjabat tanganku memberi selamat atas aku dan Rades.

"Ternyata kamu jadi juga ya sama Rades? Nggak nyangka." Tukasnya datar.

"Sama aja kayak aku yang nggak nyangka ternyata kamu jadian ama Rinta. "

" Sorry! Sebenarnya aku nggak pengen ngelakuin ini sama kamu, aku masih cinta banget sama kamu, Prin."

"Butuh waktu satu bulan untuk kamu bilang kayak gini ke aku, Dit?"

"Aku jadian ama Rinta karena keadaan, bukan karena cinta."

"Maksudnya?"

"Bentar lagi kamu juga bakal tahu. Aku janji setelah semuanya selesai aku pengen balikan lagi sama kamu."

Aku tercengang, permainan macam apa lagi yang sedang Radit mainkan?

"Ada satu rahasia lagi yang ingin aku bagi sama kamu, Prin." Radit menatapku tajam, seolah memohon agar aku percaya lagi padanya.

"Sudahlah, Dit. Lebih baik kamu pergi. Silahkan ceritakan rahasiamu pada Rinta saja. Jangan padaku."

"Kenapa kamu jadi sekejam ini padaku, Prin? Tidak ingatkah kamu dengan masa-masa indah kita dulu?"

"Kejam? Aku? Tanyakan dulu pada nuranimu jika kamu masih punya. Apa yanng sudah kamu lakuin ke aku itu lebih kejam, Dit. Dan sekarang kamu gitu aja datang seolah nggak pernah terjadi apa-apa diatara kita?" Aku benar-benar geram.

"Kamu boleh membohongi perasaanmu, itu urusanmu. Aku tidak akan ikut campur lagi dengan pendirianmu. Aku cuma mau bilang bahwa Pak Ryo bukanlah ayah kandungku. Aku permisi."

Begitu saja Radit pergi membuatku tak percaya dengan apa saja yang aku dengar dari pernyataannya yang terakhir. Sebanyak apa sih rahasia yang Radit simpan? Permainan apa lagi yang sedang Radit berusaha menangkan? Ah, Radit bilang begitu paling juga hanya hendak mengelak dari kenyataan.

***

Belum pula Rades bebas dari di penjara,  keadaan semakin memanas. Bertubi-tubi musibah menimpa keluarganya, saat ini Randa terbaring sekarat di rumah sakit dan harus secepatnya dioperasi. Diantara kebingungan mencari biaya operasi yang besar, Pak Ryo harus merelakan jabatannya lepas sebagai kepala sekolah karena dinilai tidak becus mengurus pekerjaannya. Tidak berhenti hanya disitu, Pak Ryo juga ikut-ikutan ditahan atas tuduhan penggelapan dana sekolah. Operasi Randa terpaksa ditunda, menunggu entah kapan biayanya akan terkumpul. Papa dan Mamaku bersedia membantu, tapi bantuannya masih belum mencukupi. Bingung ke sana- ke mari mencari bantuan. Tidak banyak yang bersedia, sebab image keluarga Pak Ryo yang sudah kepalang rusak turut mempersulit. 

Semua terjadi hanya dalam beberapa saat. Memang ya, nasib buruk tidak ada yang menduga. Seperti saat kita melihat berita di televisi atau membaca koran. Setiap nasib buruk yang kita dengar hanya akan cukup menjadi berita sambil mengabaikan kemungkinan bahwa nasib buruk semacam itu juga dapat jatuh menimpa tanpa peringatan. Sampai saat kisah seperti dalam cerita TV itu benar-benar menimpa kita tanpa peringatan, semua sudah terlambat.  

Hari ini aku dan Adrian berencana untuk menjenguk ayah dan anak itu. Tapi seperti biasa, Adrian menunggu di depan. Tak urung menemaniku masuk.

"Kamu tidak apa-apa kan, Des?"

"Bukan aku yang harusnya kamu tanyain, tapi Randa gimana dia sekarang?"

"Operasi masih belum bisa dilakukan."

"Radit memang benar-benar kurang ajar!" Rades kontan menggebrak meja, membuat kami kaget.

"Kok kamu nyalahin Radit?"

"Kamu tidak tahu ya? Orang yang berada dibalik ini semua itu Radit dan ayahnya yang buronan itu."

Sebetar. Apa aku melewatkan sesuatu? Jadi apa yang Radit bilang kapan hari itu benar? Bahwa ia bukan anak kandung Pak Ryo?

"Ayahnya Radit?"

"Ah, sudahlah. Ini bukan urusan kamu, Prin. Lebih baik kamu pulang. Tolong jagain Randa buatku."

"Terimakasih banyak ya, Nak. Kalau bukan keluargamu yang bersedia membantu selagi kami di tahan. Aku sendiri bingung harus bagaimana." Imbuh Pak Ryo.

Aku dan Adrianpun pulang. Di tempat parkir kulihat Radit baru saja tiba dengan seorang lelaki paruh baya. Apa itu ayahnya? Ingin kusapa, tapi amarahku melarang. Aku minta Adrian untuk segera mengantarku pulang saja. Aku tidak mau ikut campur terlalu jauh lagi dengan urusan keluarga mereka yang rumit.

"Tadi itu Pak Aryo, Ayah Radit." Adrian buka mulut saat tiba di rumahku. Seolah merasakan rasa penasaran yang sejak tadi melingkupiku.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 1)

Trouble Maker (Part 2)

Trouble Maker (Part 3)

Trouble Maker (Part 4)

Trouble Maker (Part 5)

Trouble Maker (Part 6)

Trouble Maker (Part 7)

Trouble Makes (Part 8)

Trouble Maker (Part 9)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun