"Bentar lagi kamu juga bakal tahu. Aku janji setelah semuanya selesai aku pengen balikan lagi sama kamu."
Aku tercengang, permainan macam apa lagi yang sedang Radit mainkan?
"Ada satu rahasia lagi yang ingin aku bagi sama kamu, Prin." Radit menatapku tajam, seolah memohon agar aku percaya lagi padanya.
"Sudahlah, Dit. Lebih baik kamu pergi. Silahkan ceritakan rahasiamu pada Rinta saja. Jangan padaku."
"Kenapa kamu jadi sekejam ini padaku, Prin? Tidak ingatkah kamu dengan masa-masa indah kita dulu?"
"Kejam? Aku? Tanyakan dulu pada nuranimu jika kamu masih punya. Apa yanng sudah kamu lakuin ke aku itu lebih kejam, Dit. Dan sekarang kamu gitu aja datang seolah nggak pernah terjadi apa-apa diatara kita?" Aku benar-benar geram.
"Kamu boleh membohongi perasaanmu, itu urusanmu. Aku tidak akan ikut campur lagi dengan pendirianmu. Aku cuma mau bilang bahwa Pak Ryo bukanlah ayah kandungku. Aku permisi."
Begitu saja Radit pergi membuatku tak percaya dengan apa saja yang aku dengar dari pernyataannya yang terakhir. Sebanyak apa sih rahasia yang Radit simpan? Permainan apa lagi yang sedang Radit berusaha menangkan? Ah, Radit bilang begitu paling juga hanya hendak mengelak dari kenyataan.
***
Belum pula Rades bebas dari di penjara, Â keadaan semakin memanas. Bertubi-tubi musibah menimpa keluarganya, saat ini Randa terbaring sekarat di rumah sakit dan harus secepatnya dioperasi. Diantara kebingungan mencari biaya operasi yang besar, Pak Ryo harus merelakan jabatannya lepas sebagai kepala sekolah karena dinilai tidak becus mengurus pekerjaannya. Tidak berhenti hanya disitu, Pak Ryo juga ikut-ikutan ditahan atas tuduhan penggelapan dana sekolah. Operasi Randa terpaksa ditunda, menunggu entah kapan biayanya akan terkumpul. Papa dan Mamaku bersedia membantu, tapi bantuannya masih belum mencukupi. Bingung ke sana- ke mari mencari bantuan. Tidak banyak yang bersedia, sebab image keluarga Pak Ryo yang sudah kepalang rusak turut mempersulit.Â
Semua terjadi hanya dalam beberapa saat. Memang ya, nasib buruk tidak ada yang menduga. Seperti saat kita melihat berita di televisi atau membaca koran. Setiap nasib buruk yang kita dengar hanya akan cukup menjadi berita sambil mengabaikan kemungkinan bahwa nasib buruk semacam itu juga dapat jatuh menimpa tanpa peringatan. Sampai saat kisah seperti dalam cerita TV itu benar-benar menimpa kita tanpa peringatan, semua sudah terlambat. Â