Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Trouble Maker (Part 8)

26 Maret 2019   14:13 Diperbarui: 26 Maret 2019   14:27 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

8

"Masak cuma sama hewan gitu aja takut.Orang besaran kamu dari pada ular itu." Suara Rades? Dimana dia? Mataku jelalatan berusaha mencari si pemilik suara. Ternyata itu berasal dari atas pohon beringin, Rades dengan santai duduk di dahannya.

"Sialan kamu, Des! Kamu sengaja ngerjain aku ya?" Kesal aku melihatnya, dari tadi aku teriak-teriak bergulat dengan rasa takut sekian lama, ternyata dia duduk di atas pohon.

Baca Juga:  Trouble Maker (Part 7)

 "Rencananya sih ga'. Tapi seru juga ngeliat kamu ketakutan. Hehe "

"Des! Bantuin usir ularnya dong!"

"Tapi dengan satu syarat, kamu harus mau jadi pacarku." Dia masih tak bergeming di atas beringin.

"Ga' mau." Enak saja, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Rades tetap santai di atas sana, pasti karena ular ini tidak berbisa. Ok, mari memberanikan diri.

"Syuu... Syuuhh..." Usaha mengusir ular itu tak berhasil, ia semakin merangsek mendekat. Sementara Rades tetap dalam tawa kemenangannya, enggan untuk turun.

 "Aaaaaarrgg........ " Terlambat, gigi ular itu telah memecah pembuluh darah di kakiku, pandanganku kabur, tubuhku lemas.

"Prinsa!" Teriakan Rades masih ku dengar, segera ia melompat dari atas beringin, mengusir ular itu dengan dahan beringin yang ia patahkan, selebihnya gelap, tak dapat melihat apa-apa lagi.

Terbangun aku dari tidur tak terencana itu. Kaki kiriku diperban, terkapar di ruang perawatan.

 "Eh, Prin! Kamu udah sadar?" Sapa Adrian yang baru masuk membawa sekantong plastik makanan yang kemudian ia letakkan di meja.

"Iya, Yan. Berapa lama aku pingsan?"

"Cuma 3 jam kok, Prin. Hehe. Papa sama Mama kamu sedang diperjalaan. Rades ada di depan, mau aku panggil?"

"Tidak usah. Kalau perlu jangan dikasih masuk." Aku masih kesal dengannya. Bagaimana bisa dia membiarkan aku dipatok ular? Cinta macam apa itu, membiarkan orang yang dicintai dalam bahaya.

"Ya udah kalau gitu. Mau makan buah? Biar aku kupaskan."

"Makasih, Yan. Nanti saja."

"Syukurlah kalau kamu sudah sadar." Tiba-tiba suara menyebalkan itu muncul dari balik pintu.

Aku diam. Malas berbicara dengannya. Huft! Masih tetap tidak bisa mengerti, sebenarnya otaknya ia kasih makan apa sih, bisa-bisanya dia membiarkan ular itu menggigitku hanya karena tak mau mengiyakan permintaannya.

"Yan, kamu jagain dia dulu ya, aku masih ada urusan." Pamitnya lalu pergi tanpa mendengar jawaban dari Adrian. Rades pergi terburu-buru tanpa menoleh.

"Sekalian nggak perlu muncul lagi dikehidupaku." Gerutuku penuh kekesalan.

"Kalian ini lucu ya? Awas berantem terus nanti jodoh loh." Adrian menggoda.

"Kagak bakal deh aku mau sama dia. Jodoh macam apa yang ngebiarin aku dipatok ular di depan kuburan mantannya." Aduh, keceplosan lagi.

"Mantannya Rades? Najwa?"

Aku terperanjat Adrian mengucapkan nama itu.

"Kok kamu tahu Najwa, Yan?" Kami berdua saling tatap penuh keheranan.

"Najwa itu sepupuku."

Kebetulan macam apa ini?

"Ternyata benar ya, dunia itu sempit, selebar daun kelor. Hehe. Tadi pagi Rades membawaku ke kuburan Najwa."

Dan berceritalah Adrian tentang Najwa. Ia adalah seorang gadis yang sederhana dengan keadaan finansial yang cukup memprihatinkan sejak ayahnya meninggal saat usianya masih 6 tahun. Tapi kesungguhan dan semangat Najwa ingin merubah nasib keluarganya, sejak SD ia sudah memperlihatkan kecerdasannya. Ia mampu menyelesaikan program akselerasi, 4 tahun SD dan 2 tahun SMP. Bahkan ia menjadi delegasi tingkat nasional dalam Olimpiade fisika bersaing ketat dengan Radit ketika SMP. Lalu Najwa dan Radit memasuki SMA yang sama, saling kenal bahkan semakin dekat, keduanya berpacaran. Pasangan yang serasi, begitu banyak orang menilai. Kemudian Najwa memutuskan hubungan dengan Radit, saat dokter memvonis umurnya tidak akan lama lagi. Najwa pindah sekolah mengikuti mamanya yang juga pindah bekerja. Sejak saat itu Radit tak pernah tahu lagi kabar tentang Najwa.

"Lalu apa hubungannya Najwa dengan Rades?" Tanyaku semakin penasaran.

"Radit dan Rades bersaudara, mereka tinggal satu rumah. Najwa sering belajar bersama di rumah Radit, dari sanalah Rades dikenalkan dengan Najwa. Dulu Radit dan Rades masih akur, tidak seperti sekarang. Sampai akhirnya ibu Radit, istri kedua Pak Ryo, memaksa Pak Ryo untuk membelikan rumah lain. Hah, entahlah, Prin. Keluarga mereka rumit."

Aku semakin bingung. Cerita macam apa lagi ini? Pak Ryo dan Rades bilang begitu, Adrian bilang begini. Apa jangan-jangan, Radit selama ini pacaran sama aku hanya karena aku mirip dengan Najwa? Cuma untuk membuat marah Rades? Bukan karena benar-benar suka denganku? Jadi, sikap dinginnya selama ini hanya....?? Aduh, kepalaku semakin pusing.

***

Tiga hari berlalu, kesehatanku berangsur pulih dan aku sudah siap untuk menghadapi hari-hari di sekolah lagi. Begitu tahu aku akan masuk sekolah hari ini, pagi-pagi sekali Adrian sudah nangkring depan rumah bersama skuter kesayangannya.

Sejak pulang dari rumah sakit, Rades tidak perah menjengukku di rumah. Bahkan sekedar chat atau telfonpun tidak. Apa sebenarnya yang ada dalam fikirannya? Ah, bodoh amat. Yang penting Rades tidak menggangguku lagi. Itu saja sudah cukup membuat hidupku tenang.

Tapi ketenangan itu rasanya harus segera berakhir. Begitu sampai di pintu kelas, aku sudah dikejutkan dengan keberadaan Rades yang duduk di bangkuku. Aku letakkan saja tas di atas mejaku, lalu keluar kelas berniat ke kantin sebelum bel masuk berbunyi. Rades tak berucap sepatah katapun. Bener-benar aneh ini orang, lagi pula bukan Rades sih kalau melakukan hal yang tidak aneh, iya kan?

Tapi keanehan Rades tidak cuma berhenti di situ saja. Ketika istirahat, aku berpapasan dengannya tapi dia tidak menegurku bahkan bersikap seolah tak melihatku, setiap bertemu denganku, ia pasang wajah yang memuakkan. Rades mulai membabi buta dan beraksi sama seperti dulu bersama geng TM. Ia tak pernah mau berbicara denganku, bahkan setiap kali aku hampiri, dia menghindar. Sebenarnya ada apa dengan Rades? Dasar manusia labil.

Tapi, satu hal yang membuatku semakin habis logika memikirkan Rades, setiap sore dia rutin SMS mengingatkanku buat ke rumahnya untuk menjenguk dan menemani Randa bermain. Satu SMS per hari, setiap aku balas, ia tak meresponnya lagi. Di rumahnya, ia bersikap acuh tak acuh melihatku. Memang pernah sesekali Randa mengajaknya untuk bermain bersama kami, tapi dia tak berbicara sepatah katapun padaku.

Suatu ketika, sengaja aku pura-pura lupa waktu saat menemani Randa, tak terasa waktu sudah malam, Randa meminta Rades mengantarku. Entah dengan terpaksa atau tidak Rades mengantarku.

Suhu dalam mobil terasa mencekam, posisi duduk kami dekat, tapi terasa sangat jauh, sunyi, hanya terdengar suara desah mobil yang melaju. Aku ingin membuka pembicaraan tapi tak punya keberanian. Aku berniat menyalakan radio saja, mengusir perasaan aneh dan asing dalam mobil ini. Tangan kami bersamaan menyentuh tombol untuk menyalakan radio. "Sorry!" Ucap kami bersamaan, untuk beberapa waktu kemudian, kembali tercipta kesunyian.

Sampai depan rumah. Ia tetap duduk dalam diamnya di belakang kemudi tanpa mematikan mesin mobilnya. Aku turun, dia tetap diam, menoleh saja tidak.  Rades jauh lebih menakutkan saat diam tidak bicara.

"Thanks. Mau mampir ke rumah?" Ucapku kagok.

Dia tetap membatu dalam diamnya tanpa berniat menjawab tawaran basa-basiku. Aku semakin salah tingkah, aku turun dan masuk ke rumah, mengintip sebentar dari jendela. Rades langsung tancap gas pergi. Aku langsung ke kamar, semua pertanyaanku tentang Rades menjejali otakku. Hatiku dibuat nyilu menghadapi perubahan sikapnya, diam sejuta kata, tak mau membuka mulut untuk bicara. Rades yang rumit. Serumit benang kusut yang tiada ketemu ujung pangkalnya.

Begitulah hari-hari selanjutnya, tak ada perbedaan, melihatnya dan Geng TM selalu membuat kekacauan lagi. Tak pernah muncul lagi dalam benakku semangat untuk menghentikan kegilaan Geng TM, semangat itu telah musnah seiring dengan perlakuan Rades padaku. Apa aku sakit hati dengan perlakuannya? Mungkin iya, setiap kali aku menatap wajahnya, muncul rasa sakit yang luar biasa, rasanya seperti sesuatu yang ingin aku candak ada di depan mata tapi tak bisa menggapainya, dan aku hanya bisa melihatnya begitu saja dengan segala tingkahnya. Semakin lama perasaan ini semakin membelengguku. Entah jenis perasaan apa ini? Semakin ia diam dan menjaga jarak, semakin aku ingin selalu mengajaknya bicara, ingin mencuri waktu andai saja ada kesempatan bersama dia. Tapi itu tidak mungkin dan jangan sampai mungkin terjadi. Begini saja lebih baik. Aku sudah cukup aman dari kegilaannya dan gengnya. Tapi tetap saja, setiap hari ingin menemuinya. Paling tidak melihatnya dari jauh, memastikan kalau manusia rumit yang satu ini masih hidup di bumi yang sama denganku. Begitu sudah cukup membuatku lega. Apa ini yang namanya rindu?

Hari ini Rades tidak lagi SMS mengingatkanku untuk ke rumahnya. Aku tetap bersiap berangkat ke rumahnya. Sesampainya di sana, satpam bilang kalau Pak Ryo sekeluarga keluar kota, iya sih ini kan hari Sabtu, mungkin mereka liburan. Dan akhirnya aku pulang membawa perasaan yang kosong.

Apa ini cinta? Cinta yang jauh dari kata cinta. Cinta yang jauh dari saling memiliki. Jika ada orang yang berkata cinta itu tak harus memiliki, itu hanyalah omong kosong. Tidak ada ceritanya ketika dia mencintai seseorang tidak mempunyai keinginan untuk memilikinya. Pasti perasaan untuk memiliki itu akan selalu bergejolak sepanjang cintanya tidak berada di dekapannya. Aku rasa kata-kata "Cinta tak harus memiliki"  hanyalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang putus asa karena tak bisa memiliki cintanya, sudah kehilangan cara untuk mendapatkannya. Maka kemudian dia menghibur dirinya dengan kata-kata "Cinta tak harus memiliki". Lalu apakah aku akan bernasib sama dengan kebanyakan orang yang mengucap "Cinta tak harus memiliki" itu? Oh, tidaakk...

Baca Juga: Trouble Maker (Part 1)

Trouble Maker (Part 2)

Trouble Maker (Part 3)

Trouble Maker (Part 4)

Trouble Maker (Part 5)

Trouble Maker (Part 6)

Trouble Maker (Part 7)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun