Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Trouble Maker (Part 7)

22 Maret 2019   13:40 Diperbarui: 22 Maret 2019   13:59 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Kamu lihat foto itu?" Tunjuk Rades pada foto yang terpajang di atas tempat tidurnya.

" Itu foto aku kan?" Jawabku dengan percaya diri.

" Salah! Itu bukan foto kamu."

Baca Juga: Trouble Maker (Part 6)           

 Jelas-jelas di foto itu ada wajah aku. Apanya yang bukan aku? Tapi memang sih, rasa-rasaya aku tidak punya baju seperti di foto dan tidak pernah bergaya seanggun itu.

 "Coba kamu dekati foto itu, baca tanda tangan yang ada di pojok bawah foto itu." Kuturuti Perntah Rades, mendekat ke dinding tempat foto itu terpajang.

 "NAJWA?"

" Iya! Aku tunjukin sesuatu yang lebih hebat dari itu ke kamu."  Rades menghampiriku, kembali menarik tanganku ke meja belajarnya.

Aku dibiarkan berdiri, sementara Rades duduk menghadapi laptopnya untuk beberapa saat. Sejurus kemudian di layar monitor bermunculan berpuluh-puluh foto yang hampir seluruhnya terdapat wajah yang sama denganku. Dan semakin ku lihat, tak mungkin itu fotoku.

 "Dia Najwa?"

" Iya!"

Mataku terpana pada suatu gambar, antara Najwa dan Rades yang tersenyum merona begitu mesra.

 "Pacarmu, Des?"

"My First love."

"Dimana dia sekarang?"

"Najwa-ku sedang tidur, sama seperti adikku. Kamu mau ketemu dia?" Lagi-lagi Rades menarikku untuk keluar. Padahal belum lagi aku mengiyakan.

Belum lagi melalui pintu kamarnya, "Besok aja deh! Udah malam. Kamu nginep ya di sini?" Yang ngajak siapa, yang batalin siapa. Aduh Rades, buat aku penasaran saja.

"Aku mau pulang." Dan aku teringat, Adrian dan Mama masih belum aku kabari. Jangan-jangan mereka khawatir. Benar saja, di ponselku sudah banyak pesan dan panggilan tak terjawab.

"Please! Temenin Randa sampai dia bangun, Prin." Aduh, aku juga tidak tega kalau Rades sudah bilang begini. Bukannya aku tidak mau, tapi...

Rades mengantarkanku ke kamar Randa. Di sana tak terlihat lagi Pak Ryo dan istrinya, dan Randa masih tetap tak sadarkan diri. Aku duduk di samping ranjang Randa, dan Rades di seberangku.

Ponselku memekik, itu Mama. Dia ngomel-ngomel karena aku pergi tanpa pamit, terlebih meninggalkan Andrian begitu saja di rumah.

"Maaf, Tante! Saya pinjam Prinsanya sebentar. Dan untuk malam ini Prinsa akan menginap di sini. Terima kasih!" Langsung saja Rades merampas ponselku lalu mematikannya dan menyerahkannya kembali padaku. Tidak sopan. Bener-bener kasar.

"Bereskan? " Ucapnya menyebalkan.

 "Kamu belum pernah diajarkan sopan santun ya, Des? Itu Mama aku, boleh kamu kasar dan sengak sama aku, tapi setidaknya sama orang yang lebih tua harus tahu etika dan tata krama."

"Stop! Sudah deh. Tidak usah memperbesar masalah. Aku tidak suka debat sama kamu."

Ku palingkan muka. Emosi ku tahan. Bisa-bisanya Rades ngomong gitu.

"Kak Rades kok marahin kak Prinsa sih?"

Suara Randa seketika membuyarkan perdebatan kami.

"Randa! Kamu udah bangun, sayang?" Sergahku sambil membantu Randa untuk meninggikan bantalnya. Dengan segera Rades mendekati Randa.

 "Ya udah! Kak Prinsa, Kak Rades minta maaf  ya?" Tukas Rades melembut.

" Iya, aku maafkan," Aku tidak jadi marah sama Rades.

Semalaman aku dan Rades menemani Randa. Rades membacakan buku cerita untuk Randa dengan penuh keceriaan, kelembutan dan perhatian. Inikah seorang Rades bagi Randa?

Selepas Randa tertidur lelap, Rades mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar rumahnya, sambil sesekali ngobrol tentang dirinya dan keluarga ini yang katanya begitu harmonis hingga sampai ketika seorang wanita datang merayu papanya, Rades menyebut ibunya Radit dengan sebutan wanita jalang. Terlihat jelas sekali kebencian dimatanya. Selama beberapa tahun pertama waktu papanya menikahi wanita itu, kehidupan mamanya seperti terlantar, tentu saja waktu itu masih belum ada Randa. Baru setelah Randa lahir, Pak Ryo kembali mencurahkan kasih sayangnya pada keluarganya, ternyata wanita itu tak bisa memberi keturunan bagi Pak Ryo. Sedang Radit adalah anak hasil pernikahan wanita itu dengan suami sebelumnya. Sedangkan ayah kandung Radit tak tahu entah kemana sekarang, ada yang bilang ayahnya kabur ke luar negeri terkait kasus penyelundupan narkoba. Jadi wajar saja jika Pak Ryo lebih sayang pada Rades dari pada Radit. Dan sekarang ketika Pak Ryo hendak menceraikan wanita itu, selalu saja ada halangan dan alasan yang dibuat-buat oleh wanita itu yang intinya dia tidak mau dicerai.

"Jadi wajar kan kalau anaknya ngikut ayahnya?" Cercah Rades. Mungkin inilah kenapa Radit tak pernah mau menceritakan keluarganya padaku.

Ini adalah bagian lain dari takdir. Tapi apa ini benar? Ataukah ini hanya bisa-bisanya Rades untuk menjelek-jelekkan Radit?

"Lalu Najwa?"

 "Besok juga kamu bakal tahu."

Sudah larut malam, Rades menyuruhku tidur di kamar tamu. Sementara dia beranjak ke kamar Randa lagi, menemaninya sampai pagi, hingga tertidur di samping ranjang Randa.

***

 "Princess! Cepetan bangun dong!" Tak ampun Rades menggedor-gedor pintu membuatku terkaget, hampir aku terloncat dari tempat tidur.

Dengan malas ku buka pintu. "Apa?" Tanyaku sambil mengusap-usap mata.

"Bangun, udah pagi!"

Ku lihat Rades sudah berpakaian rapi, bukan seragam tentunya, karena ini minggu.

"Belum juga jam enam. Ngantuk ni."

"Gadis kok bangunnya siang. Rejekinya keburu dipatok ayam. Katanya pengen ketemu Najwa. Udah sana cepetan mandi, terus ganti baju, sarapan, udah gitu aku anterin buat ketemu Najwa-ku."

Najwaku? Haha. Geli banget dengernya.

"Iya!" Ku banting pintu di depan mukanya.

"Woi! Nutup pintu pelan-pelan dong. Kasar banget jadi cewek."

Selesai sarapan, sekitar jam tujuh pagi Rades telah menarik tanganku kembali, capek deh! Tidak ada bosen-bosennya ni anak narik-narik tangan orang.

Entah kemana Rades membawaku, sama sekali aku tak mengenalinya, seperti di perbukitan, lumayan jauh dari pemukiman penduduk, cuma terlihat 1 -2 rumah lama, dengan   masih menggandeng tanganku, Rades mengajakku melintasi padang ilalang. Sementara di ufuk timur matahari mulai setinggi tombak. Ku lirik jam ditangan, masih jam delapan pagi, benar saja jika tetes embun, masih tersisa dibeberapa dedaunan kecil. Pemandangan yang indah, perbukitan yang diapit beberapa anak gunung. Kira-kira Najwa itu tinggal dimana ya? kok sampai lewat jalan yang kayak gini?

Rades menghentikan langkahnya ketika sampai di sebuah danau di tengah padang ilalang ini, disalah satu tepi danau itu ada sebuah pohon, pohon beringin.

"Prinsa, kenalkan ini Najwa. Najwa, kenalkan ini Prinsa." Tukas Rades, tepat di depan sebuah kuburan di bawah pohon beringin.

 "Ya, ini adalah danau keabadian dimana aku ngabadiin kenangan aku dengan Najwa. Dulu kami sering ke sini, bahkan kami jadian di sini 4 tahun yang lalu. Dan di sinipulalah tempat Najwa-ku tidur dalam keabadian." Ia mengedar pandang ke hamparan permukaan air di danau yang jernih.

"Dia meninggal karena penyakit jantung, seperti Randa." Rades duduk di dekat nisan, " Di sinilah Najwa-ku tidur."

 "Seandainya ada kata yang lebih tinggi dari pada kata cinta, kata itulah yang akan selalu kuucapkan padamu, sayang. Karena perasaanku padamu melebihi kata cinta yang banyak orang ucapkan hanya untuk bahan olokan. " Ucap Rades sambil megelus nisan bertuliskan nama Najwa.

Wiih! Puitis banget. Dan seorang Rades yang mengatakannya?

"Itu kata-kata yang pernah Najwa ucapin ke aku."

Pantes. Aku yakin tidak mungkin seorang Rades bisa ngomong gitu.

"Sejak kapan dia meninggal?" Tanyaku, duduk di sampingnya.

"Sejak 2 tahun yang lalu."

"Terus kenapa foto itu baru kamu pajang sejak 3 tahun yang lalu? Kenapa Randa dan Pak Ryo bilang itu fotoku, bukan Najwa?"

"Tidak ada seorangpun yang tahu tentang Najwa kecuali kamu sama ..... Radit."

"Radit?"

"Iya, Najwa itu mantannya Radit, aku kenal Najwa dari Radit. Dan karena itulah kami tidak pernah kelihatan akur sejak aku dekat dengan Najwa. Radit menganggap aku merebut Najwa dari dia padahal waktu itu mereka udah putus lebih dahulu."

Waduh, kok sama ya kayak ceritanya aku, Radit dan Rinta. Hmmm...

Di sini, di danau keabadian, Rades melarutkan segala perasaannya. Tentang kerinduannya pada sosok Najwa yang telah meninggalkannya sendiri di dunia. Tentang kenangannya yang terasa masih sangat segar ia ceritakan hingga nanar matanya tak bisa dibendung, bagai sngai kecil yang mengaliri wajahnya. Tentang kematiannya yang sama sekali tak pernah Rades relakan. Seorang Rades menangis. Ia menangis, tepat di depan mataku.

"Dia meninggal saat minta aku buat meluk dia, Najwa-ku meninggal di pangkuanku ....." Air matanya menggenangi pelupuk matanya, segera ia hapus air matanya, mungkin pula ia malu padaku. Begitu besar pengaruh Najwa dalam hidupnya hingga ketika Najwa telah pergi sempat Rades kehilangan semangat hidup, hidupnya hancur. Yang ia lakukan adalah bersenang-senang untuk melupakan Najwa. Dan arti dari kata bersenang-senang itu adalah melampiaskan segala amarah, kekesalan, kekecewaan dan ketidak relaan kehilangan Najwa dengan membentuk Geng TM, sesuka hati jadi jagoan yang tanpa ampun menghakimi orang semaunya, begitu ia bercerita.

"Saat kamu jadi anak baru di sekolah aku kayak yang sesak nafas ngeliat kamu,  kamu itu mirip sama Najwa. Aku ngeliat Najwa dalam diri kamu, dan kenangan Najwa kembali hadir menyiksaku. Itulah kenapa aku sering ngerjain kamu, aku marah karena kamu itu mengingatkanku pada luka yang sangat menyakitkan."

"Bukan salahku jika wajahku mirip dengan Najwa."

"Aku tahu. Tapi aku adalah manusia egois. Aku tidak bisa pura-pura nggak ngeliat Najwa di diri kamu. Sampai suatu ketika hati aku bilang mungkin ini adalah kesempatan kedua yang Tuhan berikan kepadaku."

 "Tapi aku bukan Najwa, sama sekali bukan Najwa."

 " Iya, aku sudah faham itu, Prin. Yang aku lihat di depan aku saat ini adalah seorang Prinsa yaitu cewek yang sudah berhasil ngerebut hati aku, bukan Prinsa yang mirip Najwa. "

 "Dasar gila ni anak! Kalau mau main-main, tidak perlu mengajakku jauh-jauh ke sini. Aku pulang aja." Aku bingung harus merespon bagaimana, wajahku panas, memerah. Aku membalik badan dan melangkah keluar dari padang ilalang untuk menunggu di mobil saja. Aku menoleh sebentar kea rah Rades, ia masih tetap sibuk memandangi kburan itu tanpa mempedulikanku yang pergi. Hmm...

Semakin lama aku berjalan, aku jadi bingung. Dimana-mana hanya ilalang yang terlihat, kemana mobil Rades yang diparkir tadi? Waduh! Gawat ni. Dari pada tersesat semakin jauh, aku kembali ke arah danau. Sesampainya kembali di danau, tak ku temukan Rades.

"Rades! Kamu dimana?" Aku hanya terus memanggil-manggil tanpa ada tanda-tanda Rades menjawab panggilanku. Apa iya Rades udah tidak ada disini? Dia meninggalkanku sendirian di sini? Merinding juga sih kalau sendirian di tempat beginian, mana jauh banget lagi dari pemukiman warga.

Aku duduk ditepi danau dengan melingkarkan kedua tangan pada kedua betisku. Mengedar pandang berusaha menindas rasa takut. Lama. Mukaku semakin merah, air mata tak kuasa aku tahan mengalir, aku takut. Apa yang harus aku lakukan jika Rades tak kunjung muncul hingga malam menjelang? Berbagai pikiran negatif melayang-layang diotakku. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari belakang. Aku menoleh.

"Rades, itu kamu?"

Seperti semula tak ada jawaban.

Semakin dekat, dari padang ilalang itu menyumbul sesuatu sebesar ibu jari, ku amati lamat-lamat, itu seekor ular. Nafasku semakin tak beraturan, aku bangkit dan berjalan mundur. Rasanya seperti sedang melihat kematian segera menjemputku. Yang bisa aku lakukan hanya berteriak minta tolong, berharap ada yang mendengar.

Baca Juga: Trouble Maker (Part 5),  Trouble Maker (Part 4), Trouble Maker (Part 3), Trouble Maker (Part 2), Trouble Maker (Part 1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun