Aku mengangguk, dan Rades menuntunku ke sebuah kamar di lantai dua.
"Ini kamarnya!" Rades membuka pintu. Terlihat Pak Ryo serta istri pertamanya sedang duduk disamping ranjang.
"Dia sedang tertidur sekarang. Kamu bisa tidak bangunin dia?"
Di atas ranjang itu, tengah terkapar seorang Randa dengan wajah pucat dengan selang infus dan masker oksigen.
"Randa kenapa?"
"Dia nungguin kamu sejak tadi siang, karena capek dia tidur, Randa minta dibangunin kalau kamu sudah datang, please bangunin dia sekarang. Udah lama dia tidak bangun-bangun. " Ku lihat tetes air mata mengaliri wajah sengak seorang Rades, dia mendekati ranjang di mana adiknya terbaring, ia tekuk kakinya, ia pegang tangan Randa inilah pertama kalinya kulihat Rades meneteskan air mata. Mataku nanar mendengar perkataan Rades. Diam, tak paham harus bagaimana bersikap.
"Memang Randa kenapa?"
"Sejak kecil tubuhnya memang lemah. Randa menderita penyakit jantung, sejak lahir jantungnya bermasalah. Dokter sudah memvonis hidup Randa tidak lebih dari 3 bulan lagi." Pak Ryo menjelaskan.
Seberat itukah beban yang harus dipikul seorang anak sekecil Randa?
"Duduk sini!" Pinta Rades setelah menarik sebuah kursi ke dekat ranjang, aku duduk.
 "Sejak dulu Randa memang ingin punya kakak perempuan," tambah Bu Aisyah, istri Pak Ryo.