Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ghost

4 Desember 2018   10:27 Diperbarui: 4 Desember 2018   11:02 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jenengan ditunggu Kiai di ndalem, Bu." Seorang santri menghampiriku tatkala hendak meletakkan ransel berisi cucian kotor di asrama, baru saja kembali dari Surabaya dengan perasaan hancur.

Tuhan sedang menghiburku kiranya. Kiai dan wakil pengasuh memberikan amanah baru untuk menggarap perijinan klinik rawat inap, setelah setengah tahunan ini pengabdianku hanya berkutat di mengajar kimia dan ekstrakurikuler menulis saja. Biar ada gunananya kuliah di kesehatan, begitu dawuh Kiai.

***

Namanya Ghost, anggap saja begitu. Seminggu terakhir sudah empat kali dia muncul dalam mimpiku seperti hantu. Lahir dan besar di Flores, kuliah jurusan Manajemen semester tiga. Perkenalan pertama kami berlangsung di suatu acara bakti sosial.

 Ia, lelaki jangkung dan berhidung mancung dengan kumis dan jambang yang dibiarkan tipis menutupi sebagian wajahnya. Aku yang sudah lulus S1 langsung menganggapnya adik tanpa ada indikasi lain. Sampai saat kita saling bersepakat menunggu pagi di pinggiran Suramadu, ekspektasiku tentangnya berubah.

"Lima tahun lebih di Surabaya dan kamu belum pernah makan nasi babat?" Tanyaku keheranan saat kuajak ia makan di warung pinggir jalan dekat Suramadu. Ia hanya tertawa tipis. Lalu diam. Cukup lama, terasa semakin canggung.

 "Saya pernah daftar Stand Up Comedy." Tuturnya dengan logat ketimurannya, memecah kecanggungan. "Tapi tak jadi ikut, takut nggak ada yang tertawa." Ghost berhasil mencairkan suasana yang terasa begitu kaku. Awalnya aku hanya tertawa untuk menghormati usahanya melucu. 

Lama, ia mulai banyak menceritakan kisah hidupnya yang dramatis tapi kami bisa puas menertawakannya bersama. Dia tipe lelaki yang humoris romantis, begitu kusimpulkan hingga kini.

Dibalik kesantaian dan selengekannya, dia jauh lebih memiliki sikap dewasa dari pada yang aku bayangkan. Ghost adalah anak pertama dari tiga lelaki bersaudara. 

Selepas dari SMK Keperawatan tahun 2011 silam, orang tuanya sudah berencana mengirimkannya ke Makassar untuk kuliah. Tapi ia menolak. Suatu hari, ia kemasi beberapa bajunya dalam ransel. 

Dengan uang seadanya ia pergi ke Labuan Bajo, berlayar menuju Pulau Dewata. Ia hanya sempat berpamit pada mama-nya dan berpesan untuk tidak mencari hingga ia sendiri yang kembali. Dalam pikiran Ghost remaja kala itu, ia harus belajar mandiri. Sebagai kakak tertua ia ingin memberikan contoh untuk tidak menggantungkan diri pada orang tuanya.

Sesampainya di Bali, perantauannya dilanjutkan hingga ke pulau seberang, Jawa. Tepatnya di Kota Malang, sempat pula bertemu dengan Arie Kriting, Komika jebolan Stand Up Comedy, tentunya saat itu Arie masih belum seterkenal sekarang. Tak lama, ia berpindah lagi ke Surabaya. 

Selama awal perantauannya, kerja apapun yang ia bisa, ia lakukan. Mulai dari jadi buruh cuci piring di warung pinggir jalan, bahkan jadi tukang tambal ban, semuanya ia kerjakan demi bertahan hidup. Sampai akhirnya ia mendapat pekerjaan dengan bayaran yang lumayan, jadi fotografer pernikahan.

Pelan, Ghost remaja mulai menabung agar dapat kuliah dengan biayanya sendiri. Ghost masuk Fakultas Kedokteran Hewan di salah satu Universitas Swasta Surabaya. Dari pekerjaannya, ia juga dapat menyisihkan sebagian gajinya untuk mengirimi uang keluarganya setiap bulan.   

Hingga semerter lima, Ghost berhasil mempertahankan IPK-nya diatas 3,5 meski selain aktivitas kuliah, ia harus membagi waktunya bekerja dan organisasi. Untungnya ia mendapat beasiswa, sehingga ia tak begitu pusing masalah biaya. Namun, di akhir semester ia harus mengambil keputusan sulit.

"Aku dituduh menghancurkan kamera yang mahal oleh istri bosku karena menolak meladeninya." Begitu Ghost menceritakan akhir dari pekerjaan nyamannya, dipecat secara tidak hormat.

"IPK turun, beasiswa dicabut. Tidak ada uang buat bayar, akhirnya berhenti." Matanya tertunduk saat ceritanya sampai pada bagian ini. Tapi yang lebih membuat hatinya hancur adalah ketika kekasih hatinya juga memutuskannya dengan alasan tidak mau punya pacar yang tidak kuliah. 

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Semakin bingung apa hendak diperbuat. Tapi bukan Ghost namanya jika gampang menyerah, kelak ia bercerita kembali jika susah payah dapat kuliah lagi di jurusan manajemen.

Aku hanya diam menyimak. Jadi teringat perjuanganku untuk kuliah dulu juga berat. Anak seorang buruh tani berkesempatan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga lewat beasiswa santri berprestasi dari Kemenag. Tapi rasanya, kisahku tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan Ghost.

"Ah, sudah. Kalau dilanjut nanti kamu nangis. Oh iya, kamu kapan wisudanya, Lis?" Sepertinya Ghost paham air mukaku.

"Wisudaku sudah setahun lalu, Ghost." Aku nyengir. Dia ikut nyengir.

"Bukan, yang di Hotel Shangri-La itu."

"Sumpah Apoteker. Lima hari lagi. Datang ya, Ghost!" Aku tersenyum penuh harap.

"Aku kerja, Lis. Maaf ya. Malamnya saja ya, sekalian makan malam."

Sudah pukul tiga dini hari. Angin malam di pinggiran Suramadu makin tak bersahabat. Ghost juga harus istirahat agar kondusif untuk kerja jam delapan pagi, lalu lanjut ke kampus jam lima sore. Kadang baru selesai jam sepuluh malam. Kalau aku, pasti sudah tidak kuat setiap hari berkutat dengan aktifitas sepadat itu.

"Kalau aku mudah menyerah, bagaimana akan jadi suamimu kelak?" Begitu Ghost memberi alasan sambil nyengir.

Setelah hari pengambilan Sumpah Apoteker, malamnya ia mengajakku makan di sekitaran Monkasel, menebus kekecewaanku karena tak hadir di Sumpah Apotekerku. Katanya ia tak bisa lama, nyatanya percakapan selalu berhasil mengalir lebih lama dari yang direncanakan hingga memasuki dini hari. Selalu begitu, seolah benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum semuanya akan berakhir. Karena terkadang hati kita selalu butuh waktu lebih, untuk menerima apa yang pikiran kita sudah ketahui.

Sumpah Apoteker usai, itu artinya perantauanku juga harus segera usai. Rencana pengabdian sudah siap menyambutku. Akhirnya di suatu subuh,  Ghost mengantarkan ke Stasiun Gubeng, aku sudah harus boyongan, meninggalkan Surabaya, meninggalkan Ghost.

"Aku pamit, Ghost. Kalau rindu, ditabung dulu ya." Aku nyengir, meski hati terasa getir. Dingin aroma subuh membuat upacara sakral perpisahan ini kian syahdu.

 "Sini salaman dulu." Ghost menjulurkan tangannya.

Aku jabat tangannya, "Salaman buat?"

"Namaku Ghost, jangan lupakan aku. Ingat-ingatlah saat kita jalan bersama, makan, nonton, ke pantai. Asal jangan diingat juga dibagian kamu ngambek ya, Lis." Ghost tersenyum, mencubit hidungku.

"Nanti kalau bikin ngambek lagi, nggak aku maafin kecuali kamu cukur kumis dan jenggotmu." Aku nyengir, Ghost buru-buru memegang kumis dan jenggotnya dengan kedua tangan.

"Ah, syaratnya yang lain saja dong." Ghost memohon, karena kumis itu belum pernah dipangkas habis, hanya dirapikan, sejak pertama tumbuhnya.

"Hmmm.... Traktir es krim terus dimakan bareng di Suramadu." Kami nyengir. Mengingat memori selama setahun terakhir.

"Waduh, lima menit lagi  berangkat ni. Aku pulang kampung dulu ya,  Ghost. Kutunggu kau di Jember." Ucapku akhirnya menetapkan perpisahan.

Dalam pikiranku, kereta ini akan membawaku pergi jauh darinya dan mungkin tak akan berjumpa lagi, berharap semoga Tuhan menjauhkannya dariku. Sebab aku sendiri tidak sanggup untuk mengambil keputusan menjauh darinya. Ada sebentuk perasaan liar yang mendadak menodong untuk dilepaskan. Aku yang seorang santri, berani meloloskan perasaanku pada non-muslim seperti Ghost. Tapi bukankah cinta tidak pernah salah? Perasaan yang tumbuh di hati bukanlah hal yang salah. Setiap orang berhak dijatuhi cinta, dan sepertinya mulai dari subuh ini hati akan siap untuk patah sepatah-patahnya.

***

            Empat bulan tak  bertemu dan sepi dari komunikasi. Aku ke Surabaya karena diundang menjadi pemateri suatu pelatihan adik-adik mahasiswa. Kami sempat bertemu, sebentar.

"Aku tidak mungkin berpindah agama, dan aku juga tidak akan memaksamu untuk berpindah agama." Ucapku saat percakapan kami kian menuai benang kusut perihal kelanjutan hubungan ini. Ghost hanya diam, aku memainkan sedotan pada es jeruk di depanku.

"Saya bersedia pindah agama." Pernyataan singkat Ghost membuat jantungku memukul mukul tulang rusuk, memaksa keluar dari dadaku. Aku kehabisan kata-kata, takjub. Air asin keluar dari kedua sudut mataku, menggenang, siap mengalir.

"Tapi saya mohon sama kamu satu hal..." Ghost memenggal penjelasan membuatku ditimpa penasaran. "Saat kita menikah nanti, saya berharap kamu tidak akan menceraikan saya sampai akhir hayat kita. Pengorbanan saya ini tidak kecil, Lis. Saat saya pindah agama nanti, keluarga dan teman pasti menjauh, mengucilkan. Hanya kamu yang saya punya. Saya tak tahu lagi jika kamupun meninggalkan saya setelah apa yang saya lakukan untukmu nanti." Ghost memandangiku lekat-lekat.

"Itu pasti." Aku mengangguk mantap, air mataku mengalir dan sekujur tubuhku merinding.

 "Dan ketika kita memiliki anak nanti," Ghost tersenyum, aku tersenyum menghapus air mata, "Kita biarkan anak-anak kita nanti memilih agamanya sendiri, kita tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk agama apa." Matanya nanar menahan badai dalam batinnya, "Sebenarnya saya juga punya ketakutan lain, bagaimana menghadapi keluarga, tetangga dan orang-orang yang seagama denganmu, bagaimana jika tahu keadaan saya lalu semakin bangga merasa agamanya yang paling benar dan merendahkan agamaku?"

Senyumku sirna, pitamku menaik. "Maaf, Ghost. Sejak kecil aku dididik dengan suasana keislaman yang kental, dan sudah menjadi keharusan bagiku mendidik anak-anakku dengan didikan Islam pula. Jujur, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kamu, aku sangat tersanjung. Sebab aku sendiri tidak akan mampu untuk berpindah agama. Lebih baik aku hancur karena terpisah darimu dari pada harus berpindah agama, sebab agama adalah hal yang sangat fundamental bagiku. Maaf jika aku belum bisa seberani kamu, Ghost." Kuhapus air mata, menahan amarah yang bercampur kepedihan dan juga bingung bagaimana harus menyikapi keadaan ini.

Muka Ghost memerah, menggeram. Ia menyeringai. Aku merasa bersalah tak mampu mengontrol emosiku. Ghost beranjak menuju parkiran, aku tetap dalam dudukku, memandang lekat-lekat punggungnya yang menjauh. Ah, kata-kataku terlalu kasar padanya. Langkah Ghost kemudian terhenti, lama, kemudian berbalik menghampiriku, menarik kursi duduk di sampingku. "Aku harus bagaimana lagi agar bisa terus bersama kamu, Lis?" Ghost memegang tanganku, emosiku campur aduk. Bahagia karena Ghost tidak benar-benar akan meninggalkanku, tapi juga bingung harus menjawab apa.

"Ghost, kamu tahu bagaimana perasaanku padamu. Tapi aku juga tidak mau menjadi penghancur hubunganmu dengan keluargamu. Mereka yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Selesaikanlah dulu dengan keluargamu, biacarakan baik-baik. Aku akan tetap menunggu kamu kembali, seperti tadi. Karena aku yakin, kamu akan selalu kembali.  Jika kita berjodoh, semesta akan selalu menemukan cara untuk mempersatukan." Kami saling membalas senyum dan tatapan berusaha saling menguatkan.

Dan begitulah kiranya, aku yakin, masalah ada untuk memperingatkan kita. Bahwasanya ia dapat menguatkan ikatan batin antara dua insan, dapat pula menjadi penegas dari perpisahan. Aku hanya berharap, semoga Tuhan senantiasa memberikan pembelajaran terbaik bagiku dan bagi Ghost juga. Apapun hasilnya, aku akan belajar pasrah.

Kami berpisah, Ghost bersiap untuk menghadiri wisuda temannya. Aku ke lokasi pelatihan. Esok paginya kami berjanji untuk  bertemu  kembali, semoga permasalahan ini sudah menemui titik terangnya.

Tapi hati memang tak seharusnya dibiarkan ditumpuki harapan, kecewa itu menyakitkan. Keesokannya, sampai dengan sore, Ghost mendadak tidak bisa dihubungi. WA tidak dibalas, telfon tak jua diangkat meski sudah puluhan panggilan. Baiklah, Ghost, jika ini keputusan kamu. Kita selesai sampai di sini. Jam sebelas malam aku memesan ojek online ke Terminal Purabaya. Pulang, aku butuh rumah untuk mendamaikan suasana kebatinanku.

            Pukul 02.34, tiga jam sudah pantatku penat cuma duduk dalam bus, setengah perjalanan lagi menuju Jember. Aku posting hasil racauan galauku ke story WA. Ada yang merespon, jadilah sesi curhat dini hari tambah membikin dingin hati yang sedari tadi AC Bus berhasil membuat jemari mengkerut.          

"Cinta yang serius itu, sampean mencari santri, pintar baca kitab, suka ziarah kubur, ganteng, sehat, wirausahawan, punya ekonomi yang cukup. Tidak harus punya gaji tetap, yang penting tetap berpenghasilan. InsyaAllah makmur, Mbak." Begitu Akbar, mahasiswa dua tingkat di bawahku dulu, memberikan nasihat ketika kuhujani curhatan.

            "Ndak ah, nunggu saja. Ndak mau nyari. Yakin Allah sudah mempersiapkan untukku dengan sebaik-baiknya." Timpalku sekenanya disertai emot ngakak.

            "Santri temenan niki. Puasrah pol-polan." Akbar mengajukan kedua jempolnya lewat emoticon.

            "Soalnya kalau nyari kesannya ngebet, kebelet banget." Aku nyengir, Akbar ngakak.

            "Kulo doakan semoga yang datang akan menjadi penenang, panutan, dan idaman." Ucap Akbar kemudian.

Dalam bus, kata-kata berseliweran dibenakku. Dan memang siapa lagi yang lebih mengerti tentang kekacauan perasaan selain kata-kata?

Pada mulanya kata, kau membuka  percakapan, hingga semua merumpun menjadi kita. Pada mulanya kota, latar yang biasa jadi rutinitas kini selalu menikam resah hingga tak pernah tuntas segala rindu. Pada mulanya.... hingga pada akhirnya rindu terasa begitu sendu di kota yang sesak oleh kata-kata. Tutup telinga, tak perlu mendengarkan banyak kata setiap orang yang kau temui. Tutup mata, cukupkan kedipan matamu tak perlu melotot pada tiap orang yang menyalahi kata-katamu. Tutup hatimu, sebab luka tak akan pernah sembuh jika selalu di sentuh. Hingga tiba saatnya, kau jatuh cintalah lebih dulu pada selainku. Agar kita tak berlomba mengaku paling patah hati. Toh, perasaan kita tidak  pernah bisa selesai kita tafsirkan bersama. 

Ah, kiranya jarak terjauh dari cinta bukanlah Surabaya-Jember. Tapi ketika assalamu'alaikum berbalas shalom.

Tuhan memberikan naluri pada manusia, lalu membiarkan kita melakukan banyak hal sekehendak kita sebagai lelucon semesta. Ia menetapkan aturan yang berlawanan. Lihat tapi jangan sentuh. Sentuh tapi jangan rasakan. Rasakan tapi jangan ditelan.

Sukowono, 25 Oktober 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun