"Sumpah Apoteker. Lima hari lagi. Datang ya, Ghost!" Aku tersenyum penuh harap.
"Aku kerja, Lis. Maaf ya. Malamnya saja ya, sekalian makan malam."
Sudah pukul tiga dini hari. Angin malam di pinggiran Suramadu makin tak bersahabat. Ghost juga harus istirahat agar kondusif untuk kerja jam delapan pagi, lalu lanjut ke kampus jam lima sore. Kadang baru selesai jam sepuluh malam. Kalau aku, pasti sudah tidak kuat setiap hari berkutat dengan aktifitas sepadat itu.
"Kalau aku mudah menyerah, bagaimana akan jadi suamimu kelak?" Begitu Ghost memberi alasan sambil nyengir.
Setelah hari pengambilan Sumpah Apoteker, malamnya ia mengajakku makan di sekitaran Monkasel, menebus kekecewaanku karena tak hadir di Sumpah Apotekerku. Katanya ia tak bisa lama, nyatanya percakapan selalu berhasil mengalir lebih lama dari yang direncanakan hingga memasuki dini hari. Selalu begitu, seolah benar-benar memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum semuanya akan berakhir. Karena terkadang hati kita selalu butuh waktu lebih, untuk menerima apa yang pikiran kita sudah ketahui.
Sumpah Apoteker usai, itu artinya perantauanku juga harus segera usai. Rencana pengabdian sudah siap menyambutku. Akhirnya di suatu subuh, Â Ghost mengantarkan ke Stasiun Gubeng, aku sudah harus boyongan, meninggalkan Surabaya, meninggalkan Ghost.
"Aku pamit, Ghost. Kalau rindu, ditabung dulu ya." Aku nyengir, meski hati terasa getir. Dingin aroma subuh membuat upacara sakral perpisahan ini kian syahdu.
 "Sini salaman dulu." Ghost menjulurkan tangannya.
Aku jabat tangannya, "Salaman buat?"
"Namaku Ghost, jangan lupakan aku. Ingat-ingatlah saat kita jalan bersama, makan, nonton, ke pantai. Asal jangan diingat juga dibagian kamu ngambek ya, Lis." Ghost tersenyum, mencubit hidungku.
"Nanti kalau bikin ngambek lagi, nggak aku maafin kecuali kamu cukur kumis dan jenggotmu." Aku nyengir, Ghost buru-buru memegang kumis dan jenggotnya dengan kedua tangan.