Sesampainya di Bali, perantauannya dilanjutkan hingga ke pulau seberang, Jawa. Tepatnya di Kota Malang, sempat pula bertemu dengan Arie Kriting, Komika jebolan Stand Up Comedy, tentunya saat itu Arie masih belum seterkenal sekarang. Tak lama, ia berpindah lagi ke Surabaya.Â
Selama awal perantauannya, kerja apapun yang ia bisa, ia lakukan. Mulai dari jadi buruh cuci piring di warung pinggir jalan, bahkan jadi tukang tambal ban, semuanya ia kerjakan demi bertahan hidup. Sampai akhirnya ia mendapat pekerjaan dengan bayaran yang lumayan, jadi fotografer pernikahan.
Pelan, Ghost remaja mulai menabung agar dapat kuliah dengan biayanya sendiri. Ghost masuk Fakultas Kedokteran Hewan di salah satu Universitas Swasta Surabaya. Dari pekerjaannya, ia juga dapat menyisihkan sebagian gajinya untuk mengirimi uang keluarganya setiap bulan. Â Â
Hingga semerter lima, Ghost berhasil mempertahankan IPK-nya diatas 3,5 meski selain aktivitas kuliah, ia harus membagi waktunya bekerja dan organisasi. Untungnya ia mendapat beasiswa, sehingga ia tak begitu pusing masalah biaya. Namun, di akhir semester ia harus mengambil keputusan sulit.
"Aku dituduh menghancurkan kamera yang mahal oleh istri bosku karena menolak meladeninya." Begitu Ghost menceritakan akhir dari pekerjaan nyamannya, dipecat secara tidak hormat.
"IPK turun, beasiswa dicabut. Tidak ada uang buat bayar, akhirnya berhenti." Matanya tertunduk saat ceritanya sampai pada bagian ini. Tapi yang lebih membuat hatinya hancur adalah ketika kekasih hatinya juga memutuskannya dengan alasan tidak mau punya pacar yang tidak kuliah.Â
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Semakin bingung apa hendak diperbuat. Tapi bukan Ghost namanya jika gampang menyerah, kelak ia bercerita kembali jika susah payah dapat kuliah lagi di jurusan manajemen.
Aku hanya diam menyimak. Jadi teringat perjuanganku untuk kuliah dulu juga berat. Anak seorang buruh tani berkesempatan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga lewat beasiswa santri berprestasi dari Kemenag. Tapi rasanya, kisahku tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan Ghost.
"Ah, sudah. Kalau dilanjut nanti kamu nangis. Oh iya, kamu kapan wisudanya, Lis?" Sepertinya Ghost paham air mukaku.
"Wisudaku sudah setahun lalu, Ghost." Aku nyengir. Dia ikut nyengir.
"Bukan, yang di Hotel Shangri-La itu."