Pagi ini suasana hati saya agak lain. Semacam ada rindu yang terbayar tuntas dengan teman-teman KJog aka Kompasianer Jogja. Pasalnya ini adalah kali pertama saja join lagi di event budaya-nya KJog paska Pandemi Covid-19. Terakhir ikut kayaknya jauh-jauh hari sebelum pandemi resmi bertandang ke Indonesia. Menariknya, event budaya kali ini KJog berkesempatan jalan-jalan bareng teman-teman dari KOTEKA aka Komunitas Traveler Kompasiana dan kawan-kawan dari Faircle. Ikuti keseruannya, yuk?
Mari Berkeliling Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat!
Perjalanan kami Rabu, 23 Agustus kemarin dimulai dengan menjelajahi area Kedhaton. Sebagai tambahan informasi, ada tiga destinasi wisata budaya yang dapat kawan-kawan nikmati di sekitar area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada Kedhaton, Wahanarata dan Tamansari.
“Di setiap pintu masuk keraton pasti akan dijumpai patung Kalamakara, yang tidak lain merupakan simbol tolak bala”, papar Ibu Eni mengawali cerita usai beberapa langkah memasuki pintu gerbang area Kedhaton. Bu Eni merupakan abdi dalem keraton yang menemani perjalanan kami pagi itu. Dari identitas yang beliau kenakan, Bu Eni merupakan abdi dalem keraton yang masuk dalam Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nitya Budaya Radya Kartiyasa Museum Kedhaton.
Area pertama yang kami datangi adalah bangunan dengan gaya arsitektur khas Jawa (Joglo) yang bernama Bangsal Srimanganti. Area yang dulunya digunakan sebagai tempat persinggahan sultan saat akan kembali ke Kedhaton ini kini difungsikan sebagai tempat untuk menggelar berbagai event keraton, seperti uyon-uyon, pementasan wayang golek, pementasan wayang kulit, macapat hingga pementasan tarian. Jadwal lengkap terkait pementasan di Bangsal Srimanganti dapat diakses di akun Instagram @kratonjogja.event
Selanjutnya, kami diperkenalkan dengan Bangsal Traduman yang kini difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan gamelan, Gedung Kuning yang merupakan tempat tinggal Sultan, Gedung Purworetno yang menjadi tempat kerja Sultan hingga Gedung Proboyekso yang merupakan tempat untuk menyimpan pusaka keraton. Selain itu ada pula Bangsal Kencono, Bangsal Manik, Gedung Gongso hingga Gedung Patehan. Sebuah bangunan yang digunakan untuk meracik minuman teh bagi raja, keluarga dan para abdi dalem.
Jalan-Jalan di Ruang Daur Hidup dan Pameran Narawandira, Yuk?
Jelajah kami pagi itu terasa tambah lengkap karena ada dua pameran yang bisa kami nikmati. Pertama ada jelajah di Ruang Daur Hidup yang berisi peragaan busana penganten keluarga raja, lengkap dengan alur prosesi pernikahan adat Jawa. Dan yang kedua adalah Pameran Temporer bertajuk Narawandira. Pameran bertagline Keraton, Alam dan Kontinuitas ini menawarkan ragam agenda pendukung yang sangat menarik mulai dari Royal Botanical Tour, Curatorial Tour hingga berbagai workshop menarik.
Dari pameran ini, saya baru tahu lho kalau ada tanaman yang bernama Timaha, yang dalam Bahasa Jawa disebut dengan Timoho. FYI aja nih, di Jogja memang ada kawasan bernama Timoho. Lha mau nggak mau kan akhirnya saya jadi kepikiran juga. Jangan-jangan penamaan area Timoho ada hubungannya dengan tanaman ini, hohoho. Menariknya lagi, Pameran Narawandira juga dilengkapi dengan berbagai sketsa tanaman yang dibuat dengan indah dan persis sekali dengan tanaman aslinya.
Sketsa bunga pohon keben ini salah salah satunya. Salah satu dari sekian sketsa yang membuat saya terkagum-kagum saat melihatnya. Saya notice hal ini karena pohon keben ini merupakan salah satu pohon raksasa yang terdapat di dekat area pembelian tiket masuk Kedhaton. Kebetulan pohon ini juga sedang berbunga. Dan di mata saya, bunganya tergolong unik. Baik dari segi warna maupun bentuknya. Adakah yang sependapat juga?
Menengok Suasana Baru di Museum Wahanarata
Usai berkeliling di Pameran Narawandira, kami putar balik menuju pintu keluar Keraton Jogja guna menuju Museum Wahanarata (Museum Kereta Kraton). Sebelum keluar, kami sempat menikmati pementasan wayang di Bangsal Srimanganti. Sejujurnya saya agak kaget dengan wajah baru Museum Wahanarata ini. Pasalnya, terakhir saya ke sini dengan teman-teman KJog, Museum Wahanarata belum sebesar dan sebagus ini.
Selain terdapat berbagai koleksi kereta milik Keraton Jogja, kini museum ini juga dilengkapi dengan wahana atraktif seperti AR photo booth yang dapat digunakan untuk berfoto para pengunjung museum. Menariknya, hasil foto di AR photo booth ini bisa langsung didownload melalui QR Code yang tersedia di layar. Setelah seseruan berfoto di sini, kami buru-buru ke ruang audiensi yang masih berlokasi di area Museum Wahanarata.
Acara selanjutnya tak kalah spesialnya, yakni sesi tanya jawab dengan GKR Bendara. Siang itu audiensi diramaikan dengan membahas topik terkait sumbu filosofi, trend pariwisata di Jogja, beragam keunikan seputar wisata desa di Kota Gudeg hingga cerita perihal berbagai pendekatan budaya yang ditempuh Keraton Jogja untuk merangkul generasi muda dengan cara yang lebih kekinian. Untuk penjelasan detailnya dapat kawan-kawan lihat di Youtube Koteka Kompasiana, ya!
Jalan-jalan dalam rangka Koteka Trip kali ini, kita juga diajak untuk icip-icip kuliner di nDalem Benawan. Di sini kami berkesempatan untuk berbincang dengan RM. Kukuh Hertriasning, yang dikenal luas dengan nama Gusti Aning. Cucu Sri Sultan HB VIII yang kini menjadi Pembina Faircle Trade and Tourism ini memperkenalkan kami dengan konsep wisata berkelanjutan, lengkap dengan berbagai produk karya local champion Jogja yang dipajang di teras nDalem Bengawan.
Faircle berdiri atas dasar keprihatinan atas nasib UMKM dan wisata, khususnya di Jogja yang sempat porak-poranda akibat pandemi Covid-19 yang sempat melanda dunia beberapa waktu lalu. Menggandeng perkembangan teknologi terkini, Faircle diharapkan dapat menjadi rumah bagi para pelaku UMKM. Menariknya, Faircle juga menyediakan berbagai paket eduwisata sejarah dan budaya, yang salah satu spotnya dapat dinikmati di nDalem Bengawan.
Di sini rombongan wisatawan akan dibawa “time travel” menuju tahun 1900an awal. Rombongan bisa menikmati paket wisata dengan baju Jawa khas Keraton Jogja, disambut dengan para prajurit hingga menikmati atraksi seni sekaligus menikmati jamuan khas keraton. Jadi selain dapat belajar sejarah terkait Mataram Islam, baik dari segi filosofi hingga “manner” khas Jawa, wisatawan juga dapat berkenalan langsung dengan pelaku UMKM binaan Faircle.
Siang itu ada dua local champion binaan Faircle yang sempat kami temui di nDalem bengawan. Pertama ada Ibu Surati selaku owner dari Samigiri Artisan Tea. Salah satu brand teh premium yang berasal dari Samigaluh, Kulon Progo. Kebetulan saya sempat bertemu beliau di Pameran UMKM yang diadakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM DIY. Waktu itu saya sempat membeli Teh Samigirinya Ibu Surati yang rasanya memang premium. Sewaktu bertemu kembali di nDalem Bengawan, packaging Teh Samigirinya sudah berubah jadi lebih kece.
Sedangkan local champion ke-2 yang kami temui adalah Mbokde Mukinem. Seorang penganyam daun pandan yang memiliki keahlian untuk mengolah pandan laut berduri menjadi berbagai produk craft menarik, seperti tas, pouch, slepen (tempat beras yang bentuknya mirip dengan pouch), sandal dan masih banyak lagi.
Dengan konsep wisata berkelanjutan seperti yang diusung oleh kawan-kawan dari Faircle, produk craft seperti karya Mbokde Mukinem ini akan dihargai lebih. Selain turut melestarikan produk lokal karya anak bangsa, hal-hal semacam ini diharapkan dapat mendekatkan para pelaku UMKM dengan konsep jual beli yang lebih manusiawi (fair trade).
Btw, aku mau kasih beberapa contoh jamuan khas keraton yang sempat kami nikmati di Ndalem Bengawan ya. Siang itu, santap siang kami dimulai dengan menikmati songgobuwono. Sebutan untuk makanan pembuka yang berberntuk seperti roti sus namun diisi dengan semur ayam. Di lidah aku rasanya unik, enak dan segar karena dipadu padankan dengan acar dan mayones homemade.
Lanjut ke main course ada gecok ganem, yakni bola-bola daging yang dimasak dalam kuah santan yang gurih tapi segar karena diberi tambahan berupa potongan tomat hijau. Di menu ini tekstur bola-bola dagingnya tidak mirip dengan kreni, namun lebih mirip dengan tekstur bakso. Siang itu gecok ganem kami dihidangkan bersama nasi dua warna, lengkap dengan lalapan dan keripik tempe.
Santap siang kami kemudian ditutup dengan pudding tape bernama manuk enom. Semua menu yang dihidangkan di nDalem Bengawan ternyata memiliki filosofi tersendiri lho! Kalau teman-teman penasaran dengan rangkaian wisata berkelanjutan yang berpusat di nDalem Keraton ini, plus tertarik mencicipi gaya ngeteh ala keraton yang sempat saya spill sedikit di atas, bisa langsung menghubungi pihak Faircle.com ya. Karena semua informasi terkait paket eduwisata sejarah tersebut ada di sana!
Akhir kata, dear KJog, Koteka dan Faircle, terima kasih ya atas pengalaman eduwisata sejarahnya kali ini. Semoga lain waktu bisa berjumpa kembali.
Salam hangat dari Jogja,
-Retno-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H