Aku terdiam mengumpulkan ingatan tentang jalanan berbatu yang tepiannya dihiasi bunga liar, senyuman itu. Kepulan mimpi di asap tingwe yang ngrembaka. Seperti syair lagu di relung samar dalam dekapan kabut ilalang dan perdu basah....
"...suatu kali ku temukan
bunga di tepi jalan .."
Saat itu yang terbayang adalah tempat tetirah yang lapang. Jauh dari kerutan. Terbebas dari hasrat bagi renungan untuk mencintai waktu, hingga akan tergubah beberapa lukisan dan tergurat seraut teorema.
"Rasanya sangat sederhana. Yang jelas tak macet, meski debu membuat kelopakmu kelabu"
Kupu-kupu itu beranjak mengulum siang yang gelisah. Mungkin karena hampir dua minggu padangnya kebanjiran. Tapi aroma ketertarikan samar menyembul pada bisikan ke-2
"Indah nggak ?" (dengan meme pink lucu)
Aiish.... gagasan pengembara. Romantisme keheningan yang terus menapak ke ruang-ruang silaturahmi tanpa beranjak dari peraduannya.Â
.........
Padahal berpuluh tahun jiwa ini telah terpaut ke Puncak Bukit Jamus. Perkebunan Teh di lereng Lawu yang melintang dari kota Ngawi, nJogorogo, atau membujur melalui Pabrik Gula Purwodadi, ngGlodhog. Rasa indah itu di sana. Lewat jemari yang terus melilit kemesraan di rumputan. Di antara tenda-tenda dan guguran edelweis masa silam. Selebihnya.....Pucuk teh yang wangi, serta mawar putih yang merebak di antara bebatuan. Semua kenangan itu bermain-main dalam puisi feminim yang jengah untuk kubaringkan.
 [Diambil dari Internet]