[Perjalanan yang tiada sengaja. Sebuah ketersesatan yang bertualang antara masa lalu dan (mungkin) masa depan. Tapi garis sketsa kisah manis itu seperti benang merah sutera yang meraut wajah para kupu-kupu di aras pedesaan.........]
Sekitar tujuh bulan yang lewat, perjalanan kaki ini tanpa sengaja melangkah ke sisi Timur Selatan kota Madiun. Beranjak dari nDungus, selepas Monumen Kresek ke Selatan, menyusuri lereng gunung Wilis. Roda-roda sejarah tanpa sengaja menyisir jalan sempit semi makadam. Sekali waktu badan ini terguncang. Namun kesederhanaan bukit-bukit kecil yang menaungi atap rumah penduduk menyadarkanku tentang sebagian impian yang hilang, yaitu bukit ranum di mana keheningan menyelimuti perenungan.
Sesaat, jalan terus menanjak dan berkelok. Rumah jarang di antara pepohonan Wadang  bertengger di tanah keras. Di sisi perjalanan, senyum ramah para pekebun tersembul dari caping gunung. Bahkan ketika debu membual dari semak belukar, senyuman mereka melebar menjadi seringai yang akrab. Gugusan keramahan itulah yang memperpanjang niat hati untuk terus menelusuri pendakian.Â
Beberapa pekebun yang istirahat di bawah rimbunnya daun waru renyah berujar, "Mendaki terus ke Selatan Barat perjalanan akan berujung di sebuah Perkebunan kopi". Saat menatap si penutur, asap tingwi mengumbar ketulusan. Ada keinginan ke sana, sayangnya jalan yang rumpil dan "batas-batas" tak jelas dari para pegawai Perkebunan itu membuatku malas meneruskan pencarian ke pucuk-pucuk loji yang tertata rapi. Dan saat memalingkan wajah dari kebekuan Rumah Mewah itu, terpampang bukit-bikit hening yang kucari.......Â
["Ketika buah kopi memerah"]
Kandangan......Â
Mendengar nama itu ingatan ini tidak hendak asing. Seorang kakak ipar (dari sepupu) berasal dari sana. Tapi entah Kandangan yang mana, karena banyak perkebunan bernama sama. Sayangnya juga perjalananku belum sempat menyusuri batang-batang kopi yang menetaskan butiran biji terbalut rekahan merah.Â
(Dulu di sela menggoreng kulit dadar gulung simbok mampu  bercerita tentang kampung itu dengan indah, sehingga bayangan pedusunan dengan penduduk yang mendiaminya menjelma menjadi telaga khayangan tempat bidadari menaburkan keceriaan dan ketenangan...)Â
Hingga waktu berlalu kisah perjalanan di sepanjang dusun perbukitan yang hening dan konon dingin itu terus terajut. Ada harapan untuk sekedar memiliki rumah mungil yang hangat di situ. Di sela bukit menjelang perkebunan, dengan teras mungil untuk meluangkan waktu senja sambil merangkai kisah; atau nyuruput kopi bertoping hati. Mungkin enak juga menikmati pisang goreng di tengah mentari manyun di ufuk barat......sambil ura-ura
Ketika rasa terentang, sekuntum kupu-kupu bertanya kepadaku:
"Apakah tempatnya asyik ? Hening ?"
Aku terdiam mengumpulkan ingatan tentang jalanan berbatu yang tepiannya dihiasi bunga liar, senyuman itu. Kepulan mimpi di asap tingwe yang ngrembaka. Seperti syair lagu di relung samar dalam dekapan kabut ilalang dan perdu basah....
"...suatu kali ku temukan
bunga di tepi jalan .."
Saat itu yang terbayang adalah tempat tetirah yang lapang. Jauh dari kerutan. Terbebas dari hasrat bagi renungan untuk mencintai waktu, hingga akan tergubah beberapa lukisan dan tergurat seraut teorema.
"Rasanya sangat sederhana. Yang jelas tak macet, meski debu membuat kelopakmu kelabu"
Kupu-kupu itu beranjak mengulum siang yang gelisah. Mungkin karena hampir dua minggu padangnya kebanjiran. Tapi aroma ketertarikan samar menyembul pada bisikan ke-2
"Indah nggak ?" (dengan meme pink lucu)
Aiish.... gagasan pengembara. Romantisme keheningan yang terus menapak ke ruang-ruang silaturahmi tanpa beranjak dari peraduannya.Â
.........
Padahal berpuluh tahun jiwa ini telah terpaut ke Puncak Bukit Jamus. Perkebunan Teh di lereng Lawu yang melintang dari kota Ngawi, nJogorogo, atau membujur melalui Pabrik Gula Purwodadi, ngGlodhog. Rasa indah itu di sana. Lewat jemari yang terus melilit kemesraan di rumputan. Di antara tenda-tenda dan guguran edelweis masa silam. Selebihnya.....Pucuk teh yang wangi, serta mawar putih yang merebak di antara bebatuan. Semua kenangan itu bermain-main dalam puisi feminim yang jengah untuk kubaringkan.
 [Diambil dari Internet]
"..........rambutmu yang hitam panjang jatuh di bahu
kadang luruh di ujung daguÂ
saat engkau tertunduk ......."
Dan maafkan jika pada akhirnya sebagian ingatan tentang Geni Langit-pun akan terhapus tanpa sadar. Perlahan, tapi memudar seperti bukit lembut di ujung Selatan Plaosan. Entah mengapa, atau biasa.... kenangan itu tercerabut begitu saja dari tajuk pucuk pinus.
Kandangan........ Â Â
Mungkin tak ada lagi bidadari di sana, semenjak engkau pergi. Hening, dingin.....Tapi rasanya unik membayangkan jejak-jejak kecil yang tertinggal di pucuk daun kopi..... Di celah masa indah dan biji buah yang memerah
Sumber gambar 1:Â adventure-in.com
Sumber gambar 2: tandapagar.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H