Mohon tunggu...
Linggar Rimbawati
Linggar Rimbawati Mohon Tunggu... Guru - Tidak punya jabatan

Penulis kelahiran Jambi yang selalu rindu Solo. Manulis cerpen, puisi, dan esai ringan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Wangi: Surat Kematian Ibu (Bag.1)

26 Juli 2024   16:10 Diperbarui: 26 Juli 2024   16:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Ibu saya mati kemarin sore dan hari ini saya menyiramkan kopi pada muka Pak RT. Wajah berkumis baplang seperti Burisrawa itu seketika serupa kepiting rebus. Barangkali lebih karena malu atau marah daripada menahan panas. Lagipula, sepertinya minuman itu sudah beranjak dingin.

Apapun yang keluar dari mulutnya kemudian hanya terdengar seperti kumur-kumur di telinga saya. Atau seperti dengung ribuan lebah. Tetapi, mata saya nyalang melihat laki-laki itu beranjak dari kursinya dan menunjuk-nunjuk pintu keluar.

Saya geming belaka. Seperti tak bisa menggerakkan badan. Tubuh saya seperti terkunci. Saya membeku seketika. Saya bahkan tak berkedip. Tidak saja keseluruhan tubuh luar saya, tetapi juga sepertinya hati saya. Sesuatu di dalam diri saya.

Meski demikian, sebagaimana saya bisa melihat Pak RT menuding-nuding, saya juga bisa merasa Bu RT tergopoh-gopoh masuk ruang tamu. Perempuan lencir itu memandang saya dengan tatapan bingung seolah saya ini adalah seonggok kemustahilan.

Mulut sepasang suami-istri itu membuka-menutup tanpa suara seperti film bisu. Mata mereka kadang melotot. Lalu, dengan satu lambaian tangan kesal Pak RT meninggalkan ruang tamu dan masuk ke ruang tengah.

Saat itulah saya mendapatkan pendengaran saya kembali. Saat itulah saya bisa merasakan tubuh saya lagi.  

"Kenapa kamu siram muka Pak RT dengan kopi?"

"Karena hanya itu yang ada di meja."

Tadinya, saya tak berharap bisa bicara lagi. Toh saya sudah capek berkata-kata sejak Bapak moksa. Lelah berbusa-busa tapi tak didengar. Lelah disingkirkan.

Bu RT meletakkan kedua tangannya di pangkuan. Ujung daster pendeknya sedikit tersingkap memperlihatkan setitik tahi lalat di atas lutut kiri. Barangkali sadar saya melirik pahanya, perempuan itu lalu menurunkan kainnya.  

"Pulanglah, Wangi. Ibu kamu baru saja mati. Kapan-kapan lagi saja kamu ke sini."

Saya mengangkat wajah. Bu RT memasang ekspresi meminta pemakluman. Rasanya ini sudah keentah berapa kali saya mengalah sejak keluarga kami kehilangan Bapak. Mengalah pada apa saja, pada siapa saja. Pada hidup, pada orang-orang berseragam safari atau berkemeja batik, pada mereka yang bersepatu lars, pada negara, pada sejarah. Pada Gubernur! Juga pada Presiden! Hanya pada Bu RT saya mengalah dengan ikhlas. Mungkin karena dia perempuan. Atau mungkin juga bukan karena itu.

Saya mengangkat pantat dari kursi rotan berlapis busa tipis dan meninggalkan suara decit yang mengiris. Saya berlalu dari rumah itu. Tetapi, besok saya akan kembali. Besoknya lagi, dan besoknya lagi.

Permintaan saya tidak banyak untuk ibu saya yang kemarin sore mati: surat kematian. Kata tetangga, tidak sulit buat mengurusnya. Pertama-tama saya harus sowan ke Pak RT dulu untuk minta surat pengantar. Setelah itu orang di kelurahan akan memprosesnya.

Rupanya, tetangga saya bohong. Baru di tahap awal saja saya sudah gagal. Pak RT malah mendebat saya dengan bicara ngalor-ngidul soal sabar, ikhlas, nerima, mengalah. Dia bilang supaya saya jangan merepotkan orang banyak.

Saya muak dinasehati untuk sabar. Jadi, saya siram saja mukanya dengan air kopi.

Apanya yang merepotkan, coba? Saya hanya minta Pak RT menuliskan di surat bahwa ibu saya mati karena kecewa. Kecewa pada mereka. Burisrawa itu tahu siapa yang saya maksud dengan mereka. Dia pintar, kok. Gelarnya saja Sarjana Hukum.

Tetapi, Pak RT malah menuduh saya hanya mengada-ada. Padahal, orang yang tak pernah kuliah seperti saya mana bisa mengada-ada. Orang yang tidak sekolah seperti saya kan hanya bisa berkata iya, iya dan iya.

Seorang anak buruh seperti saya hanya bisa berkata nggih saat aktivis-aktivis sok gagah itu datang ke rumah kami, duduk jegang di ruang tamu kami yang sempit dan bau kucing gering sambil menyeruput kopi yang disuguhkan Simbah.

Saya mengangguk-angguk meski tak paham apa yang diomongkan oleh orang-orang berpenampilan nyentrik itu. Bicaranya ndakik-ndakik. Otak saya nggak nyampe!

Seorang bakul jamu seperti saya mana bisa mengada-ada seperti calon gubernur yang tiba-tiba jadi sok akrab sama keluarga saya. Masa waktu itu dia bilang mau mencari bapak saya sampai ketemu.

Nggedabrus!

Bapak saya sudah lima belas tahun hilang dan tak ada yang sanggup menemukannya, bahkan barangkali Tuhan sendiri. Lha kok calon gubernur seperti dia berani menjanjikan hil yang mustahal seperti itu. Memangnya dia lebih hebat dari Gusti Allah? Lebih pintar dari Presiden?

Sang Jenderal sudah jatuh dan Presiden sudah berganti-ganti, tetapi nasib bapak saya masih jadi misteri.

Seorang yang hanya lulusan SMK seperti saya mana cukup cerdas untuk mengarang cerita seperti calon gubernur itu. Masa dia bilang sering bertemu bapak saya waktu jalan-jalan ke sawah. Katanya bapak saya lagi nyangkul.

Hahaha. Nyangkul apaan?

Lha wong bapak saya itu bukan petani. Kerjanya itu motong kain di pabrik garmen. Lagipula apa gubernur itu lupa bahwa sudah tidak ada sawah di kota kami sejak berpuluh tahun yang lalu? Orang-orang berdasi sudah mengubahnya menjadi mall, hotel, mall, hotel, mall, hotel yang lebih cepat mendatangkan uang. Uang bagi mereka. Ya kali buat kami?

Lihat, kan? Orang bodoh seperti saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa jual jamu gendong untuk bertahan hidup. Kadang-kadang mijet nyonya-nyonya di perumahan elit di sebelah kampung kami sambil pulang bawa cucian untuk kasih ibu saya rejeki. Ndoro-ndoro itu tidak punya waktu untuk cuci baju.

Orang bodoh dan tak tahu adab seperti saya hanya bisa menyiramkan kopi ke muka seseorang saking marah dan putus asanya. Percayalah, itu sangat melegakan.

"Yu, kamu apakan Pak RT? Orang-orang membicarakan kamu."

Bangun, adik saya, mencegat saya di pintu rumah kami yang sempit dan bau kucing gering. Tumben sekali dia belum keluar untuk cangkruk jam segini. Bersama pemuda kampung yang pengangguran, adik saya satu-satunya itu sering menghabiskan waktu di gardu dekat perempatan kampung. Saya tidak menyalahkan mereka. Memangnya apa lagi yang bisa anak-anak itu lakukan?

"Dari mana saja kamu, Yu? Malam-malam baru pulang."

"Diam kamu anak bayi," saya menjawab asal sambil menepis lengan Bangun. Ketiaknya yang tadi terpampang seketika mingkup.

"Orang-orang bilang kamu nyiram muka Pak RT pakai air kopi. Emang kamu dimintai uang berapa tho buat surat kematian ibu? Mbok kasih saja semampunya."

"Pakai harga diri keluarga. Bukan sekadar uang."

"Maksudnya? Kamu nggak mau ya, cepat dapat warisan itu? Kalau kamu nggak butuh, aku yang butuh, Yu!"

Bangun masih mengejar saya hingga ke bagian belakang rumah. Di bagian rumah ini terasa lembab dan pengap sebab tak ada matahari dan udara yang mengalir.

"Mbuh. Aku arep ngising! Kowe arep melu?"

Saya membanting pintu kamar mandi dan mulai menangis sendiri. Ibu saya mati kemarin sore, tetapi baru sekarang air mata saya sanggup untuk tumpah. Mata saya basah dalam cahaya remang lampu neon lima watt.  

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun