Saya mengangkat wajah. Bu RT memasang ekspresi meminta pemakluman. Rasanya ini sudah keentah berapa kali saya mengalah sejak keluarga kami kehilangan Bapak. Mengalah pada apa saja, pada siapa saja. Pada hidup, pada orang-orang berseragam safari atau berkemeja batik, pada mereka yang bersepatu lars, pada negara, pada sejarah. Pada Gubernur! Juga pada Presiden! Hanya pada Bu RT saya mengalah dengan ikhlas. Mungkin karena dia perempuan. Atau mungkin juga bukan karena itu.
Saya mengangkat pantat dari kursi rotan berlapis busa tipis dan meninggalkan suara decit yang mengiris. Saya berlalu dari rumah itu. Tetapi, besok saya akan kembali. Besoknya lagi, dan besoknya lagi.
Permintaan saya tidak banyak untuk ibu saya yang kemarin sore mati: surat kematian. Kata tetangga, tidak sulit buat mengurusnya. Pertama-tama saya harus sowan ke Pak RT dulu untuk minta surat pengantar. Setelah itu orang di kelurahan akan memprosesnya.
Rupanya, tetangga saya bohong. Baru di tahap awal saja saya sudah gagal. Pak RT malah mendebat saya dengan bicara ngalor-ngidul soal sabar, ikhlas, nerima, mengalah. Dia bilang supaya saya jangan merepotkan orang banyak.
Saya muak dinasehati untuk sabar. Jadi, saya siram saja mukanya dengan air kopi.
Apanya yang merepotkan, coba? Saya hanya minta Pak RT menuliskan di surat bahwa ibu saya mati karena kecewa. Kecewa pada mereka. Burisrawa itu tahu siapa yang saya maksud dengan mereka. Dia pintar, kok. Gelarnya saja Sarjana Hukum.
Tetapi, Pak RT malah menuduh saya hanya mengada-ada. Padahal, orang yang tak pernah kuliah seperti saya mana bisa mengada-ada. Orang yang tidak sekolah seperti saya kan hanya bisa berkata iya, iya dan iya.
Seorang anak buruh seperti saya hanya bisa berkata nggih saat aktivis-aktivis sok gagah itu datang ke rumah kami, duduk jegang di ruang tamu kami yang sempit dan bau kucing gering sambil menyeruput kopi yang disuguhkan Simbah.
Saya mengangguk-angguk meski tak paham apa yang diomongkan oleh orang-orang berpenampilan nyentrik itu. Bicaranya ndakik-ndakik. Otak saya nggak nyampe!
Seorang bakul jamu seperti saya mana bisa mengada-ada seperti calon gubernur yang tiba-tiba jadi sok akrab sama keluarga saya. Masa waktu itu dia bilang mau mencari bapak saya sampai ketemu.
Nggedabrus!