Mohon tunggu...
Linggar Rimbawati
Linggar Rimbawati Mohon Tunggu... Guru - Tidak punya jabatan

Penulis kelahiran Jambi yang selalu rindu Solo. Manulis cerpen, puisi, dan esai ringan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Wangi: Surat Kematian Ibu (Bag.1)

26 Juli 2024   16:10 Diperbarui: 26 Juli 2024   16:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bapak saya sudah lima belas tahun hilang dan tak ada yang sanggup menemukannya, bahkan barangkali Tuhan sendiri. Lha kok calon gubernur seperti dia berani menjanjikan hil yang mustahal seperti itu. Memangnya dia lebih hebat dari Gusti Allah? Lebih pintar dari Presiden?

Sang Jenderal sudah jatuh dan Presiden sudah berganti-ganti, tetapi nasib bapak saya masih jadi misteri.

Seorang yang hanya lulusan SMK seperti saya mana cukup cerdas untuk mengarang cerita seperti calon gubernur itu. Masa dia bilang sering bertemu bapak saya waktu jalan-jalan ke sawah. Katanya bapak saya lagi nyangkul.

Hahaha. Nyangkul apaan?

Lha wong bapak saya itu bukan petani. Kerjanya itu motong kain di pabrik garmen. Lagipula apa gubernur itu lupa bahwa sudah tidak ada sawah di kota kami sejak berpuluh tahun yang lalu? Orang-orang berdasi sudah mengubahnya menjadi mall, hotel, mall, hotel, mall, hotel yang lebih cepat mendatangkan uang. Uang bagi mereka. Ya kali buat kami?

Lihat, kan? Orang bodoh seperti saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa jual jamu gendong untuk bertahan hidup. Kadang-kadang mijet nyonya-nyonya di perumahan elit di sebelah kampung kami sambil pulang bawa cucian untuk kasih ibu saya rejeki. Ndoro-ndoro itu tidak punya waktu untuk cuci baju.

Orang bodoh dan tak tahu adab seperti saya hanya bisa menyiramkan kopi ke muka seseorang saking marah dan putus asanya. Percayalah, itu sangat melegakan.

"Yu, kamu apakan Pak RT? Orang-orang membicarakan kamu."

Bangun, adik saya, mencegat saya di pintu rumah kami yang sempit dan bau kucing gering. Tumben sekali dia belum keluar untuk cangkruk jam segini. Bersama pemuda kampung yang pengangguran, adik saya satu-satunya itu sering menghabiskan waktu di gardu dekat perempatan kampung. Saya tidak menyalahkan mereka. Memangnya apa lagi yang bisa anak-anak itu lakukan?

"Dari mana saja kamu, Yu? Malam-malam baru pulang."

"Diam kamu anak bayi," saya menjawab asal sambil menepis lengan Bangun. Ketiaknya yang tadi terpampang seketika mingkup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun