Sebut saja namanya Mbah Darmo. Sosok pria sepuh, dengan usia lebih dari 70 tahun, berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Ia pekerja lepas yang sering diminta warga sekitar komplek untuk membersihkan pekarangan rumah. Menyabut rumput-rumput liar yang tumbuh, agar aliran air saat hujan bisa diserap dengan baik oleh tanah.
Sebenarnya warga komplek agak segan meminta ia untuk bekerja. Selain karena sudah terlihat renta, ia pun sering batuk saat menarik cangkulnya. Tarikan nafas yang terengah-engah, juga menjadi alasan ketidaktegaan warga dalam mempekerjakan dirinya.
Tapi mereka tak berdaya. Karena cukup sering Mbah Darmo sendiri yang memang memaksakan dirinya untuk mau dipekerjakan. Adapun upah seikhlasnya yang diberikan warga, lebih terkesan menjadi semacam amal sedekah saja, dibanding sebagai imbalan atas kinerjanya.
**
Satu waktu, Mbah Darmo menghampiri rumah kami. Tanpa perlu permohonan darinya untuk membereskan halaman samping rumah, saya langsung mempersilakan Mbah Darmo untuk mengerjakannya. Sebab bentuk rumput yang ada memang sudah terlihat tak teratur. Sehingga perlu untuk dipangkas.
"Ini jarang dicabut rumputnya ya, Mas?" tanya beliau pada saya.
"Iya, Mbah. Abis di rumah kan jarang ada orang. Paling adanya malem aja. Sabtu atau Minggu juga males rasanya," saya jawab sembari terkekeh.
"Pantes sering dipake kucing buang air. Banyak banget nih bekasnya, Mas."
Selain aktif mencangkul halaman rumah warga sekitar, Mbah Darmo juga rajin bantu-bantu di masjid. Kadang ia juga ikut mengepel lantai, dan membersihkan kaca-kaca masjid yang berdebu.
Sesekali waktu, ia turut menyumbang suara saat waktu salat tiba. Mengumandangkan azan, agar warga komplek bisa menunaikan salat tepat pada waktunya.
"Di masjid gak ada acara, Mbah? Dua minggu lagi kan Muludan (Maulid Nabi)," tanya saya kepada Mbah Darmo yang sedang mencabut rumput.
"Ndak ada, Mas!" jawab Mbah Darmo dengan logat Jawanya yang terdengar medok itu.
"Lha biasanya kan ada pengajian sama ceramah. Ada makan-makan tumpeng juga kan, ya?"
"Pengurus masjid yang sekarang aneh, Mas. Wong aku mau selawatan di masjid saja ndak boleh. Ndak ngerti aku."
"Tapi aku udah minta cucu ku, Ningsih, buat bikin nasi kuning ntar. Sudah dikasih uangnya dari Pak Haji Ali, Mas. Mantan ketua DKM yang dulu."
Saya yakin Mbah Darmo bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ilmu agamanya pun rasa-rasanya biasa saja. Jadi wajar, kalau ia tak paham berbagai aliran mazhab yang bermunculan dalam Islam. Utamanya yang acap melarang perkara ini dan itu, atas dasar ketiadaan tuntunan dari Nabi.
**
Seminggu lepas dari waktu Mbah Darmo membersihkan halaman di samping rumah kami, ada satu kejadian yang hingga kini membekas di hati saya. Sebuah peristiwa yang kemudian "menampar" dengan keras berbagai kepongahan pengetahuan yang saya miliki.
Saya dengar dari salah satu tetangga kami, Mbah Darmo mengalami kecelakaan. Tertabrak angkot saat hendak menyebrang di jalan menuju pasar. Konon, lukanya cukup serius, hingga sempat tak sadarkan diri.
Saya dan beberapa tetangga di sekitar rumah, kemudian berinisiatif untuk menengok beliau di rumah sakit. Seraya mengumpulkan dana ala kadarnya untuk membantu proses pembiayaan penyembuhan.
Sesampainya di sana, saya lihat Mbah Darmo masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Luka di sekitar kepalanya, ditutupi perban yang mesti diganti beberapa kali oleh suster.
"Bagaimana keadaan Mbah?" tanya saya kepada Mbak Ningsih, cucu perempuan Pak Darmo.
"Tadi pagi sempat sadar sebentar, Mas. Tapi ya sekarang beliau begini."
"Dokter tadi bilang, kesadaran Mbah terus turun karena hantaman keras di kepalanya. Saya berserah saja sama Allah, Mas," cerita Mbak Ningsih lirih.
Esok harinya, Mbah Darmo telah pulang ke rumah. Namun kembalinya beliau bukan untuk mencangkul pekarangan warga seperti biasanya, ataupun menjadi muazin. Tapi kembali ke rumah untuk dimandikan dan disalatkan di masjid yang senantiasa ia pel lantainya. Ia elap debu-debu di kacanya.
**
Lepas pemakaman tak jauh dari masjid, Mbak Ningsih cerita pada saya saat-saat terakhir hidup Mbah Darmo.
"Bapak itu kemarin pagi, seperti yang saya bilang ke Mas kemarin, sempet sadar. Setelah itu ndak sadar-sadar lagi."
"Pas pagi sadar, Mbah bilang sama saya: Ning, jangan lupa buatkan nasi kuning untuk Muludan. Tempo hari kan bapak udah kasih uangnya dari Pak Haji ke kamu. Bagi-bagikan ke warga komplek ya. Ke pengurus DKM juga jangan lupa, Ning." Mbak Ningsih menceritakannya sembari terisak, menahan tangis.
Mendengar wasiat Mbah Darmo tadi, hati saya tertegun. Membayangkan betapa besar cinta beliau kepada Kanjeng Nabi, dalam bentuk yang paling orisinil dari seorang hamba.
Ia mungkin memang tidak terlahir sebagai orang yang berpaham agama mumpuni. Tidak tinggi dalam hal pendidikan. Tak cukup fasih dalam melafalkan ayat-ayat suci. Dan tak mengerti berbagai aliran mazhab dalam Islam.
Mbah Darmo juga, bukanlah orang yang cukup cerdas dalam memaknai perihal halal/haram/bidah/subhat sesuai syariat Islam. Juga tak punya cukup gelar haji dan ustaz, untuk memahami berbagai keluasan khazanah ilmu agama.
Namun beliau masih sempat memikirkan bagaimana cara memuliakan Nabi, bahkan di sisa-sisa akhir waktu hidupnya. Ia hanya tahu untuk selalu senantiasa memuliakan Nabi Muhammad Saw, dalam tiap detik helaan nafasnya. Dalam setiap bunyi detak jantungnya.
Jika sebagian dari kita masih disibukan untuk memikirkan jatah pembagian harta kepada keluarga di saat maut menjelang, "harta" Mbah Darmo berupa kecintaan beliau kepada Kanjeng Nabi-lah yang ia wariskan.
Pada akhirnya, mungkin memang kita yang harus banyak mawas diri. Terjaga dari berbagai macam potensi pengultusan diri. Merasa ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, sudahlah cukup untuk menjadi bekal menuju Ilahi. Sebuah kepongahan intelektual, yang tak jarang banyak menjerumuskan manusia dalam lubang neraka yang kekal.
Dan melakui cerita hidup Mbah Darmo itulah, saya belajar banyak hal.
Allahuma Sholi Ala Muhammad, Wa Ali Muhammad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H