"Tadi pagi sempat sadar sebentar, Mas. Tapi ya sekarang beliau begini."
"Dokter tadi bilang, kesadaran Mbah terus turun karena hantaman keras di kepalanya. Saya berserah saja sama Allah, Mas," cerita Mbak Ningsih lirih.
Esok harinya, Mbah Darmo telah pulang ke rumah. Namun kembalinya beliau bukan untuk mencangkul pekarangan warga seperti biasanya, ataupun menjadi muazin. Tapi kembali ke rumah untuk dimandikan dan disalatkan di masjid yang senantiasa ia pel lantainya. Ia elap debu-debu di kacanya.
**
Lepas pemakaman tak jauh dari masjid, Mbak Ningsih cerita pada saya saat-saat terakhir hidup Mbah Darmo.
"Bapak itu kemarin pagi, seperti yang saya bilang ke Mas kemarin, sempet sadar. Setelah itu ndak sadar-sadar lagi."
"Pas pagi sadar, Mbah bilang sama saya: Ning, jangan lupa buatkan nasi kuning untuk Muludan. Tempo hari kan bapak udah kasih uangnya dari Pak Haji ke kamu. Bagi-bagikan ke warga komplek ya. Ke pengurus DKM juga jangan lupa, Ning." Mbak Ningsih menceritakannya sembari terisak, menahan tangis.
Mendengar wasiat Mbah Darmo tadi, hati saya tertegun. Membayangkan betapa besar cinta beliau kepada Kanjeng Nabi, dalam bentuk yang paling orisinil dari seorang hamba.
Ia mungkin memang tidak terlahir sebagai orang yang berpaham agama mumpuni. Tidak tinggi dalam hal pendidikan. Tak cukup fasih dalam melafalkan ayat-ayat suci. Dan tak mengerti berbagai aliran mazhab dalam Islam.
Mbah Darmo juga, bukanlah orang yang cukup cerdas dalam memaknai perihal halal/haram/bidah/subhat sesuai syariat Islam. Juga tak punya cukup gelar haji dan ustaz, untuk memahami berbagai keluasan khazanah ilmu agama.
Namun beliau masih sempat memikirkan bagaimana cara memuliakan Nabi, bahkan di sisa-sisa akhir waktu hidupnya. Ia hanya tahu untuk selalu senantiasa memuliakan Nabi Muhammad Saw, dalam tiap detik helaan nafasnya. Dalam setiap bunyi detak jantungnya.