"Ndak ada, Mas!" jawab Mbah Darmo dengan logat Jawanya yang terdengar medok itu.
"Lha biasanya kan ada pengajian sama ceramah. Ada makan-makan tumpeng juga kan, ya?"
"Pengurus masjid yang sekarang aneh, Mas. Wong aku mau selawatan di masjid saja ndak boleh. Ndak ngerti aku."
"Tapi aku udah minta cucu ku, Ningsih, buat bikin nasi kuning ntar. Sudah dikasih uangnya dari Pak Haji Ali, Mas. Mantan ketua DKM yang dulu."
Saya yakin Mbah Darmo bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ilmu agamanya pun rasa-rasanya biasa saja. Jadi wajar, kalau ia tak paham berbagai aliran mazhab yang bermunculan dalam Islam. Utamanya yang acap melarang perkara ini dan itu, atas dasar ketiadaan tuntunan dari Nabi.
**
Seminggu lepas dari waktu Mbah Darmo membersihkan halaman di samping rumah kami, ada satu kejadian yang hingga kini membekas di hati saya. Sebuah peristiwa yang kemudian "menampar" dengan keras berbagai kepongahan pengetahuan yang saya miliki.
Saya dengar dari salah satu tetangga kami, Mbah Darmo mengalami kecelakaan. Tertabrak angkot saat hendak menyebrang di jalan menuju pasar. Konon, lukanya cukup serius, hingga sempat tak sadarkan diri.
Saya dan beberapa tetangga di sekitar rumah, kemudian berinisiatif untuk menengok beliau di rumah sakit. Seraya mengumpulkan dana ala kadarnya untuk membantu proses pembiayaan penyembuhan.
Sesampainya di sana, saya lihat Mbah Darmo masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Luka di sekitar kepalanya, ditutupi perban yang mesti diganti beberapa kali oleh suster.
"Bagaimana keadaan Mbah?" tanya saya kepada Mbak Ningsih, cucu perempuan Pak Darmo.