Aku tidak banyak tahu tentang dirinya. Tentu saja, ia muncul di kehidupanku baru-baru ini, kira-kira sekitar satu bulan yang lalu. Sebelumnya aku tidak tahu darimana ia berasal, lagipula aku tidak terlalu ingin tahu. Buat apa? Tiap manusia sudah hidup cukup sibuk, aku sendiri sedang berjuang dengan kesibukan dan sakitnya patah hati yang kualami sekaligus.
Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan. Untuk apa? Ia hanya manusia pada umumnya yang berjalan dengan dua kaki serta menyandang kepala kemana-mana. Ia bukan manusia yang banyak bicara. Sama sekali aku belum pernah mendengar suaranya. Ia juga bukan manusia yang suka mencari perhatian. Kutegaskan sekali lagi bahwa ia sama halnya dengan manusia pada umumnya, yang tidak pernah kupedulikan.
Keadaan berbalik arah ketika tatapan mataku hinggap padanya suatu sore. Ia berdiri di sampingku, sama-sama menunggu hujan yang malas untuk reda. Seperti yang telah kukatakan tadi ia bukan manusia yang banyak bicara dan suka mencari perhatian, namun ketidak sengajaan tatapan mataku membuatku ingin tahu tentang dirinya. Itulah tatapan pertamaku padanya yang jatuh pada Selasa sore.
Sore itu, pandanganku hanya mengarah pada kilat matanya, kornea berkabut tipis persis seperti jalanan aspal yang hanya kena hujan sebentar. Kabutnya tipis menyebalkan, membuat enggan. Meskipun begitu yang membuatku cukup takjud adalah pupilnya yang seperti sorot pantat kunang-kunang. Tidak sadar, aku tersenyum waktu itu. Tentu saja, ia tidak tahu apa yang terjadi pada wanita aneh yang berdiri di sampingnya.
Hari kedua dan seterusnya aku tidak memandang mata berkabut itu lagi. Itu bukan berarti aku mulai mengabaikannya. Itulah permulaan aku mulai memperhatikan yang lain darinya, apalagi setelah kutemukan sekuntum anyelir yang ia bawa dengan botol kaca berarir.
Ada apa dengan anyelir dan botol itu? Bukankah ada cara yang lebih sederhana untuk menikmati keindahan sekuntum bunga? Maksudku, mengapa harus dengan ribetnya membawa setiap hari?
Pertanyaan demi pertanyaan itulah yang membuatku selalu memperhatikannya. Bukan hanya kornea mata berkabut, pupil kunang-kunang dan bunga anyelir. Semakin lama aku semakin banyak memiliki pertanyaan tentangnya, tentang fedora hat yang membuat wajahnya selalu teduh, tentang sikapnya yang tetap dingin meski ia dikelilingi manusia-manusia rewel yang protes dan mengeluhkan betapa melelahkannya kehidupan di dunia yang tidak adil ini. Tentang gurat wajahnya yang selalu kaku, aku ingin melihat gerakan di wajahnya selain kedipan mata berkabut pupil kunang-kunang itu.
Aku ingin melihatnya tersenyum, sekali saja. Aku sungguh ingin melihatnya. Jika aku menjadi malaikat pencatat amalannya, mungkin aku akan selalu membujuknya untuk setidaknya tersenyum sekali sehari agar urat senyum yang indah itu akan bekerja, bukannya sia-sia begitu saja.
Aku tahu jika ia menyukai suasana ketika hujan, meski tidak bereaksi seperti kodok yang berpesta pora dengan melompat-lompat, menggembungkan leher lalu bersuara sekeras-kerasnya. Semua orang menjauhi basah oleh hujan dengan berteduh di tempat paling lindung agar tetap kering, sedangkan ia malah berani berada di dekat tetes hujan. Terkadang telapak tangannya ditengadahkan bahkan sepanjang hujan itu turun.Â
Tidak jarang juga aku melihatnya berjalan santai ditengah derasnya hujan. Ia tampak menikmatinya dengan jas hujan yang dikenakan di sekujur tubuhnya. Jika sudah melihatnya demikian, aku menelan ludah kecewa karena tidak dapat melihat kornea berkabut, pupil kunang-kunang dan bunga anyelirnya dari dekat.
"Sssttt orang aneh itu sudah datang!" seru seorang perempuan kepada teman di sebelahnya. Mereka adalah pelanggan toko roti seberang jalan. Setiap hari mereka membeli kue bulat selai nanas untuk sarapan. Jadi mereka mungkin seperti aku, yang mengamati sesuatu yang sama setiap hari, termasuk aku salah satunya. Mereka juga sering membicarakan jepit rambutku yang selalu berupa mutiara, tidak pernah berganti yang lainnya. Namun tentu saja mereka tidak menyebutku aneh karena aku adalah manusia kebanyakan.
"Ssstt orang aneh itu sudah datang!"
Ingin rasanya aku menginjak kaki perempuan itu agar berhenti mengatakan demikian setiap ia datang. Jujur saja aku membantah pernyataan itu, tidak terima sama sekali. Ia bukan laki-laki aneh, bahkan ia tidak serta merta menampakkan dirinya secara menonjol. Aku yakin tidak ada yang akan mengatakan aneh jika mereka mau memperhatikannya.
Laki-laki sirih itu sangat menarik dan mengesankan. Lirikannya memang tidak pernah hinggap padaku, tetapi hatiku seperti dihantam bintang-bintang jatuh yang indah setiap ia memandang apapun. Aku ingin tahu bagaimana dipandang dan diperhatikan olehnya. Sama seperti yang kulakukan padanya.
Jika dibalik, tidak akan mesti sama. Ia menjadi aku, dan aku menjadi dirinya mungkin tentang kornea berkabut, pupil kunang-kunang dan anyelir itu tidak menjadi pertanyaannya. Semuanya mungkin menjadi pertanyaan orang lain.
Aku ingin menyapanya, ingin mendengar suaranya. Sungguh menyedihkan, jujur saja aku belum pernah mendengar dehem ataupun batuknya. Ah fantasi konyol, terlebih jika aku menginginkan anyelir itu diberikan padaku. Mana mungkin?
 Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri, asyik sendiri. Justru itulah yang ingin kuketahui, keasyikan apa yang ia nikmati hingga tidak perlu peduli dengan hiruk pikuk dunia dan manusia. Mungkin ia tidak tahu gaduhnya suara manusia, sakitnya patah hati, gelisah menanti, kecewa setelah diingkari hingga pahitnya jatuh berkali-kali. Mungkin ia tidak tahu rasanya jatuh cinta, harapan yang luas dan serius, indahnya seseorang ketika menyuarakan pikatan, atau sesuatu yang menggairahkan.
Sore ke-tujuh puluh enam, aku tidak menggeser piringan tulang leherku, berdiri tegak, mata menatap lurus ke depan. Aku tidak memperhatikan laki-laki sirih yang memang selalu berada di samping kiriku, kini sama-sama berdiri dan berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku sedang kalut oleh pujian laki-laki yang baru saja tinggal di depan rumah.Â
Ia memuji gelang kakiku yang berupa rangkaian rantai kecil dari perak. Bagaimana bisa ia melihatnya? Sebesar apakah gelang kaki itu? Aku heran, aku dan dia bahkan belum pernah bertemu dan berdekatan. Aku hanya melihatnya pulang dan pergi, itupun dari jendela rumahku. Terlebih lagi gelang kaki itu tidak berkilauan dan sudah usang.
Hujan turun, deras dan berangin. Aku beringsut menjauhi batas atap agar tetap kering. Aku memekik dalam hati ketika rokku terkena percikan air. Sebuah payung abu-abu mengembang di depanku, tepat di depan kaki. Aku tidak peduli siapa yang mengembangkannya, aku benar-benar malas untuk memutar leherku. Namun akhirnya aku harus memutarnya 90 ke arah kiri. Laki-laki sirih itu memegang tanganku, menahanku untuk tetap berada di dekatnya.
Ada apa dengannya?
Aku tidak percaya jika ia memegang tanganku. Apa maksudnya? Untuk beberapa saat aku tercenung dan membiarkan diriku berfantasi sebebas-bebasnya. Apakah ia psikopat? Apakah hendak memelukku? Setelah berfantasi, aku mengalihkan pikiran untuk memastikan apakah ia benar-benar manusia atau bukan. Tangannya hangat, keempukannya sempurna dan tidak terlalu erat. Aku nyaman sehingga yakin jika laki-laki sirih itu bukan makhluk asing, sama-sama manusia sepertiku.
"Ada apa?" tanyaku. Aku membiarkannya beberapa saat terutama ketika hujan sedang deras-derasnya, karena lewat tangannya itulah aku merasa lebih baik, lebih hangat. Tetapi setelah hujan telah reda, orang-orang mulai bertebaran dimana-mana, ia masih menahan tanganku. Dadaku berdebar-debar ketika telapak tangannya semakin hangat, dan ia mulai menatapku.
Terjawab sudah apa yang kupertanyakan selama ini mengenai laki-laki sirih yang kini dengan percaya diri menatapku. Aku leluasa menatap kornea berkabut dan pupil kunang-kunangnya. Bahkan ia memicingkan mata ketika aku mulai menangis di hadapannya.
"Aku bisa membuatmu merasa lebih baik," bisiknya.
Aku mengangguk. Namun yang ia lakukan hanya terus menatapku. Awalnya aku mengira bahwa ia akan mengajakku pergi ke suatu tempat atau dengan lantang menegaskan perihal-perihal yang membuatku tidak sedih lagi.
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Aku pun tidak memiliki sisa waktu yang mungkin cukup untukmu. Jujur, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Aku hanya akan membagi apa yang kumiliki, dan kuusahakan agar dapat membuatmu lebih tenang."
Aku enggan menanggapi. Bukan berarti tidak mau menjawab, aku hanya ingin melihatnya berbicara padaku lebih lama. Suaranya merdu, nada bicaranya nyaman. Keindahan kornea berkabut dan pupil kunang-kunang itu kunikmati di depan mataku. Sesekali aku menahan kedipan agar tidak melewatkan caranya menatapku. Dan benar saja, setelah itu aku menjadi lebih tenang. Aku tersenyum padanya, dan sangat berharap mendapat reaksi yang sama. Tetapi ia tidak menarik urat bibirnya lebih jauh, malah menatapku lebih tajam.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan banyak hal untukmu."
Aku mengangguk. Kini tanganku menahan tangannya yang hendak melepaskan genggaman. Ia membiarkanku beberapa saat lalu menjauhkan diri dariku.
"Ini untukmu," katanya pelan, tangannya mengulurkan sesuatu padaku.
Ia memberikan sekuntum anyelir, lengkap dengan botolnya. Dalam hati aku berteriak kegirangan mendapat perlakuan paling mengesankan dari manusia yang dulu kuanggap seperti tanaman sirih. Setelah menerima anyelir itu, aku yakin jika dia adalah seekor kumbang. Aku yakin! Pikiranku kembali berfantasi seliar-liarnya, mengangankan pernikahan dengan laki-laki berpupil kunang-kunang.
Ia melambaikan tangannya dan kemudian berjalan menjauhiku. Setelah ia menghilang dari pandangan, aku melompat-lompat kecil kegirangan tidak sabar menunggu esok hari untuk pertemuan selanjutnya. Aku merasa memulai segala sesuatu dari awal dan siap untuk kejutan yang lain.
Keesokan harinya aku tidak dapat berhenti tersenyum. Terlebih ketika hujan turun, aku yakin ia akan tertahan lebih lama denganku seperti kemarin sore. Dan aku harap setelah hujan reda, akan turun hujan yang lebih deras dan lama. Aku rindu hangat telapak tangan dan caranya menampakkan giginya padaku, ia memang tidak pernah tersenyum apalagi tertawa. Aku hanya melihat giginya ketika ia berbicara. Singkatnya aku merindukan apapun yang ia miliki. Aku siap menerima sekuntum anyelir yang baru, atau jika memungkinkan aku ingin melihat kebun bunganya.
Hujan, sepi, larut malam, sendirian adalah kombinasi sempurna di sisa malamku. Akhirnya aku pulang dengan kegusaran. Aku terus menoleh ke belakang, menatap tempat itu serta tetap menaruh harapan yang sama, yakni berharap ia berada di sana dan berdiri di samping kiriku.
Hari selanjutnya aku kembali berharap, dan kejadian itu terus berlanjut. Ia tidak lagi dapat kutemukan. Aku ingin bertemu dengannya namun aku tidak tahu dimana keberadaannya. Aku tidak dapat mencarinya, sama seperti aku yang tidak dapat menafsirkan teka-teki yang ia sandang.
Jika saja karena anyelir itu, aku bersedia mengembalikan padanya meski sekarang bunga itu telah mengering. Aku bersedia tidak berfantasi, melupakan berbagai definisi yang kumiliki tentangnya setelah hari itu.
Hari ini adalah hari ke-empat puluh aku tidak bertemu dengannya. Aku memandang 37 anyelir kering, 2 anyelir layu dan sekuntum yang sekarang masih segar di tanganku. Kurasa dengan memiliki sekuntum anyelir segar tiap hari dapat menekan rasa rinduku. Dan kini aku pun menumbuhkan beberapa batang anyelir di halaman. Kelak aku akan memiliki anyelir sendiri di rumah tanpa harus membeli atau diberi orang lain.
Hari ini aku pergi ke toko perhiasan untuk membeli gelang kaki baru. Kurasa memang sudah waktunya gelang kaki usang itu kutanggalkan, diganti dengan yang lebih kemilau. Semalam aku menolak ajakan laki-laki depan rumah yang mengajakku merajah betis daripada menghias kaki dengan gelang kaki usang. Aku yakin setelah melihat gelang kakiku yang baru, ia akan diam.
Sambil menunggu hujan reda, aku iseng bercermin karena beberapa hari terakhir aku merasa mataku seperti memiliki cuaca, cerah berangin sepoi-sepoi. Aku tidak menarik gurat senyumku sama sekali setelah melihat bayanganku sendiri. Aku segera menyimpan cermin, tidak mau melihat bayanganku lebih lama. Tatapan mataku lurus ke depan, tanganku memegang erat anyelir. Anyelir itu kudekap di dada, dan anehnya aku merasakan anyelir itu berdebar sama sepertiku.
"Makhluk seperti apa dirimu?" Aku bertanya sekaligus merasa dipermainkan oleh sekuntum bunga anyelir siluman. Keningku berkerut dan mataku mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Aku hanya dapat membagi apa yang kumiliki, dan kuusahakan agar dapat membuatmu lebih tenang."
Seseorang menggamit tanganku. Dialah laki-laki kornea berkabut, pupil kunang-kunang dengan sekuntum anyelir di tangan, sama sepertiku. Kini bukan hanya ia yang menyandang teka-teki itu, aku pun  telah mengenakannya.
Aku tersenyum. "Rupanya aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak sederhana untuk dimengerti. Aku memang kesulitan dengan teka-teki yang kau miliki, tetapi sepertinya memang banyak hal yang perlu kuketahui tentang dirimu."
Ia tersenyum. Hatiku meledak-ledak.
Ia mengulurkan tangan, memberikan sekuntum anyelir padaku.
Aku menggeleng lalu kutunjukan bahwa aku sudah memiliki anyelir sendiri. "Aku ingin mengenalmu," kataku.
"Seharusnya aku yang mengatakan hal itu padamu." Ia menjawab singkat. Satu kalimat itu kembali membuatku berfantasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H