"Ada apa?" tanyaku. Aku membiarkannya beberapa saat terutama ketika hujan sedang deras-derasnya, karena lewat tangannya itulah aku merasa lebih baik, lebih hangat. Tetapi setelah hujan telah reda, orang-orang mulai bertebaran dimana-mana, ia masih menahan tanganku. Dadaku berdebar-debar ketika telapak tangannya semakin hangat, dan ia mulai menatapku.
Terjawab sudah apa yang kupertanyakan selama ini mengenai laki-laki sirih yang kini dengan percaya diri menatapku. Aku leluasa menatap kornea berkabut dan pupil kunang-kunangnya. Bahkan ia memicingkan mata ketika aku mulai menangis di hadapannya.
"Aku bisa membuatmu merasa lebih baik," bisiknya.
Aku mengangguk. Namun yang ia lakukan hanya terus menatapku. Awalnya aku mengira bahwa ia akan mengajakku pergi ke suatu tempat atau dengan lantang menegaskan perihal-perihal yang membuatku tidak sedih lagi.
"Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Aku pun tidak memiliki sisa waktu yang mungkin cukup untukmu. Jujur, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Aku hanya akan membagi apa yang kumiliki, dan kuusahakan agar dapat membuatmu lebih tenang."
Aku enggan menanggapi. Bukan berarti tidak mau menjawab, aku hanya ingin melihatnya berbicara padaku lebih lama. Suaranya merdu, nada bicaranya nyaman. Keindahan kornea berkabut dan pupil kunang-kunang itu kunikmati di depan mataku. Sesekali aku menahan kedipan agar tidak melewatkan caranya menatapku. Dan benar saja, setelah itu aku menjadi lebih tenang. Aku tersenyum padanya, dan sangat berharap mendapat reaksi yang sama. Tetapi ia tidak menarik urat bibirnya lebih jauh, malah menatapku lebih tajam.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan banyak hal untukmu."
Aku mengangguk. Kini tanganku menahan tangannya yang hendak melepaskan genggaman. Ia membiarkanku beberapa saat lalu menjauhkan diri dariku.
"Ini untukmu," katanya pelan, tangannya mengulurkan sesuatu padaku.
Ia memberikan sekuntum anyelir, lengkap dengan botolnya. Dalam hati aku berteriak kegirangan mendapat perlakuan paling mengesankan dari manusia yang dulu kuanggap seperti tanaman sirih. Setelah menerima anyelir itu, aku yakin jika dia adalah seekor kumbang. Aku yakin! Pikiranku kembali berfantasi seliar-liarnya, mengangankan pernikahan dengan laki-laki berpupil kunang-kunang.
Ia melambaikan tangannya dan kemudian berjalan menjauhiku. Setelah ia menghilang dari pandangan, aku melompat-lompat kecil kegirangan tidak sabar menunggu esok hari untuk pertemuan selanjutnya. Aku merasa memulai segala sesuatu dari awal dan siap untuk kejutan yang lain.