"Ssstt orang aneh itu sudah datang!"
Ingin rasanya aku menginjak kaki perempuan itu agar berhenti mengatakan demikian setiap ia datang. Jujur saja aku membantah pernyataan itu, tidak terima sama sekali. Ia bukan laki-laki aneh, bahkan ia tidak serta merta menampakkan dirinya secara menonjol. Aku yakin tidak ada yang akan mengatakan aneh jika mereka mau memperhatikannya.
Laki-laki sirih itu sangat menarik dan mengesankan. Lirikannya memang tidak pernah hinggap padaku, tetapi hatiku seperti dihantam bintang-bintang jatuh yang indah setiap ia memandang apapun. Aku ingin tahu bagaimana dipandang dan diperhatikan olehnya. Sama seperti yang kulakukan padanya.
Jika dibalik, tidak akan mesti sama. Ia menjadi aku, dan aku menjadi dirinya mungkin tentang kornea berkabut, pupil kunang-kunang dan anyelir itu tidak menjadi pertanyaannya. Semuanya mungkin menjadi pertanyaan orang lain.
Aku ingin menyapanya, ingin mendengar suaranya. Sungguh menyedihkan, jujur saja aku belum pernah mendengar dehem ataupun batuknya. Ah fantasi konyol, terlebih jika aku menginginkan anyelir itu diberikan padaku. Mana mungkin?
 Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri, asyik sendiri. Justru itulah yang ingin kuketahui, keasyikan apa yang ia nikmati hingga tidak perlu peduli dengan hiruk pikuk dunia dan manusia. Mungkin ia tidak tahu gaduhnya suara manusia, sakitnya patah hati, gelisah menanti, kecewa setelah diingkari hingga pahitnya jatuh berkali-kali. Mungkin ia tidak tahu rasanya jatuh cinta, harapan yang luas dan serius, indahnya seseorang ketika menyuarakan pikatan, atau sesuatu yang menggairahkan.
Sore ke-tujuh puluh enam, aku tidak menggeser piringan tulang leherku, berdiri tegak, mata menatap lurus ke depan. Aku tidak memperhatikan laki-laki sirih yang memang selalu berada di samping kiriku, kini sama-sama berdiri dan berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku sedang kalut oleh pujian laki-laki yang baru saja tinggal di depan rumah.Â
Ia memuji gelang kakiku yang berupa rangkaian rantai kecil dari perak. Bagaimana bisa ia melihatnya? Sebesar apakah gelang kaki itu? Aku heran, aku dan dia bahkan belum pernah bertemu dan berdekatan. Aku hanya melihatnya pulang dan pergi, itupun dari jendela rumahku. Terlebih lagi gelang kaki itu tidak berkilauan dan sudah usang.
Hujan turun, deras dan berangin. Aku beringsut menjauhi batas atap agar tetap kering. Aku memekik dalam hati ketika rokku terkena percikan air. Sebuah payung abu-abu mengembang di depanku, tepat di depan kaki. Aku tidak peduli siapa yang mengembangkannya, aku benar-benar malas untuk memutar leherku. Namun akhirnya aku harus memutarnya 90 ke arah kiri. Laki-laki sirih itu memegang tanganku, menahanku untuk tetap berada di dekatnya.
Ada apa dengannya?
Aku tidak percaya jika ia memegang tanganku. Apa maksudnya? Untuk beberapa saat aku tercenung dan membiarkan diriku berfantasi sebebas-bebasnya. Apakah ia psikopat? Apakah hendak memelukku? Setelah berfantasi, aku mengalihkan pikiran untuk memastikan apakah ia benar-benar manusia atau bukan. Tangannya hangat, keempukannya sempurna dan tidak terlalu erat. Aku nyaman sehingga yakin jika laki-laki sirih itu bukan makhluk asing, sama-sama manusia sepertiku.