"Halo!"
Aku menoleh ke arah panggilan. Seorang perempuan kira-kira berusia tiga puluhan akhir berdiri santai, tersenyum kepadaku. Aku menoleh kesana-kemari dan lagi-lagi melihat betapa sepinya rumah kos ini. Jelas-jelas perempuan itu memanggilku. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Nggak pulang?" tanyanya.
Aku menggeleng. Bukankah mudik tidak diperbolehkan oleh pemerintah, batinku. Seharusnya orang-orang sudah tahu tapi mengapa perempuan itu masih basa-basi menanyakan hal itu padaku.
"Anak-anak di sini banyak yang pulang kampung. Aku kira tinggal aku sendirian yang masih di sini, ternyata aku masih ada teman," ia tertawa terkekeh sambil bertepuk tangan garing.
"Siapa namamu?" Ia mengulurkan tangan. Aku menolak berjabat tangan dan melangkah mundur seraya membungkukkan badan dengan santun. Ia tertawa lalu minta maaf telah khilaf.
"Anna," jawabku singkat.
Ia menyebutkan namanya. Kami bercakap-cakap sebentar. Sebentar? Ya! Kulihat ia sangat antusias untuk mengajak ngobrol panjang lebar tetapi aku tidak dapat membiarkannya. Aku memotong pembicaraannya, mengatakan ingin tidur dan bekerja ketika ia sedang asyik menceritakan betapa sepinya beberapa hari terakhir. Dalam hati aku mengejek, dasar perawan lapuk!
 Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya aku mengeluarkan kunci dari saku jaketku. Aku memperlambat gerakan untuk memberinya kesempatan memandangku lebih leluasa. Ia terlihat asing denganku. Ya, tentu saja. Selain aku sibuk, aku juga termasuk jarang tinggal di kos ini. Biasanya aku balik kos seminggu sekali karena aku lebih sering pulang ke apartemen kakakku, Nia.
"Kamu ada acara malam ini?" tanyanya sebelum aku benar-benar menutup pintu. Dengan terpaksa aku mengeluarkan kepalaku sebatas leher, menggeleng.
"Kita bisa ngobrol di sana. Aku akan memesan beberapa makanan," katanya memberi tawaran sekaligus dengan gestur yang memaksa. Aku pun memberi tanggapan dengan mimik terpaksa. Aku mengangguk perlahan. Klik! Aku mengunci pintu kamar dan menarik kembali tirai jendela yang menghadap lorong kos. Yang kubuka hanyalah jendela yang memang dinding terluar gedung ini.
"Anna!" panggil seseorang sambil mengetuk pintu. Aku mengumpat dalam hati. Pasti perempuan tadi siang yang membuat kebisingan di depan kamarku. Selain mengetuk pintu, memanggil namaku, ia juga menggoyang-goyangkan lonceng logam yang kugantung di atas pintu. Aku tidak menjawabnya karena memang masih bekerja di depan komputer. Aku semakin kesal ketika ia mengetuk-ketuk jendela kaca. Lalu dengan terpaksa aku membuka pintu dan mengeluarkan anggota badan sebatas leher.
"Kamu tidak lupa acara kita nanti malam kan?" tanyanya. Aku menggeleng dan mengatakan jika sama sekali tidak lupa. Tidak lupa aku memperingatkannya agar tidak mengangguku karena aku sedang bekerja. "Aku sedang bekerja, work from home. Mohon pengertiannya, Marini," kataku. "Sudah ya!"
Marini sudah berada di sana. Ia menyambutku seolah tamu agung yang mendapat layanan VVIP. Aku heran. Ia mengenakan gaun mahal dan riasan cantik. Ada apa? Bukan hanya itu. Marini menghias meja sedemikian cantik dengan lilin, bunga segar dan makanan lezat. Aku tidak menampakkan keherananku. Aku sendiri santai saja dengan kaos longgar, celana pendek dan sandal jepit yang warnanya sudah pudar. Aku datang sambil membawa gelas berisi teh tawar.
"Aku sudah makan, Marini," kataku sambil mengambil tempat duduk. Aku tidak berbohong. Barusan aku makan makanan yang dipesankan pacarku lewat ojol.
Marini tidak keberatan meski kecewa aku tidak mau makan.
"Maaf aku sedang diet. Tapi aku akan meminum ini." Aku mengambil sebotol minuman kemasan lalu kutuangkan ke gelas yang kubawa dari kamar. "Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Marini tersenyum, ia belum mau menjawab dengan alibi masih mengunyah makanan dengan anggun.
Sejatinya aku tidak mau keluar dan ingin berada di kamar saja. Tapi perempuan ini mengundangku untuk sesuatu yang tidak jelas.
"Ada yang perlu kita bicarakan?" tanyaku lagi setelah ia meletakkan sendok garpu. Aku tidak mau basa-basi lebih lama. Marini masih belum mau menjawab. Kali ini ia mengalihkan diri pada semangkuk smoothie. Aku mendecak kesal lalu mengambil hp dari saku untuk membalas pesan pacarku yang cukup kepo dengan perempuan lapuk ini.
"Aku hanya kesepian, Anna. Aku tidak memiliki teman untuk diajak bicara," katanya. Tatapan matanya tiba-tiba kosong dan tidak jernih. Aku sudah menduga jika perempuan ini terlalu malang dengan kehidupannya. "Aku penuh harap dengan adanya isolasi seperti ini rumah kos akan menjadi ramai tetapi mereka justru malah mudik ke kampung masing-masing. Aku sudah memberi peringatan jika itu dilarang pemerintah dan justru sangat beresiko. Mereka tidak mendengarkanku dan malah terlihat kesal. Padahal kan memang lebih aman berada di sini. Ya kan?"
Aku mengangguk. Logis juga perempuan ini, gumamku dalam hati. Aku putuskan untuk menyimak saja daripada ikut bicara.
"Aku khawatir dengan wabah ini. Kita kan tinggal di zona merah, Anna. Kamu tidak takut?"
Aku menggeleng. "Bukannya ini adalah kesempatan kita untuk malas-malasan di kamar, tidur sepanjang hari, dan benar-benar bisa menekuni hobi. Ya, kan?"
Marini terlihat gelisah. Aku suka melihatnya. Aku tidak mau membahas COVID-19 dengan segala hal yang berkaitan. Informasi itu sudah banyak kuterima dan mudah diakses di platform manapun. Jadi kurasa tidak perlu untuk dibicarakan dengan Marini malam ini.
"Aku kesepian, Anna. Kamu bisa lihat kan?"
Aku mengangguk. "Ya. Tapi ini sangat menyenangkan, Marini. Eh Princess Marini." Aku membenarkan panggilanku. Marini sudah berdandan seperti Elsa masa kupanggil namanya saja. "Maksudku kita diberi kesempatan untuk menikmati sisi lain dari kehidupan dunia ini. Oh maaf, aku hanya berpikir positif saja dengan situasi yang tengah terjadi saat ini."
Marini mendesah. "Aku sepertinya tidak sependapat denganmu. Aku selalu ingin protes pada setan yang berkerumun di sekitarku."
Aku mengerutkan kening. Kulihat Marini lebih seksama. Apakah dia indigo? Rupanya tidak. Mengapa ia mengatakan demikian? Hmm aku tersenyum simpul. "Mengapa?" tanyaku.
"Merekalah yang membuat hidupku tidak pernah bahagia."
Itulah titik awal Marini menceritakan hidupnya, teh yang kunantikan.
Julukan perempuan lapuk yang kuberikan hancur begitu saja setelah Marini mengaku janda. Ia bercerai di usia 21 tahun dengan kondisi telah memiliki anak laki-laki. Sayangnya ia tidak mendapat hak asuh untuk merawat anaknya. Katanya karena ia miskin, Â orang tua Marini pun hanya pedagang bakso dan kuli laundry. Berbeda dengan mantan suaminya yang berasal dari keluarga kaya raya.
"Siapa nama anakmu?"
Marini mengaku tidak mengerti nama anaknya. "Aku memberi nama Slamet tetapi mantan suamiku pasti mengganti namanya," katanya dengan mata berkaca-kaca. Seumur hidupnya Marini hanya dapat melihat 7 hari di awal kehidupan sang bayi. Setelah itu Marini sama sekali tidak dapat melihat Slamet, menyusuinya saja tidak boleh. Ia tidak berkesempatan untuk melihat Slamet tumbuh berkembang.
Marini merantau ke Jakarta begitu nifasnya telah berhenti. Ia pergi dengan merana dan nelangsa yang membeban di bahunya. Meski telah jauh dari rumah nyatanya derita itu tetap ia sandang dimanapun ia berada, bahkan hingga saat ini.
"Kamu tidak pulang?" tanyaku.
Marini terdiam lalu menatapku seolah mengatakan jika pertanyaanku sangat aneh. Aku segera menyadari jika para perantau seperti kami tidak mungkin pulang kampung tahun ini. Lagi-lagi aku pun membatin kesal pada virus itu.
"Aku mendengar kabar jika Slamet mencariku, mencari ibu kandungnya. Ia telah mengetahui akulah ibunya. Kami berjanji akan bertemu ketika aku pulang nanti saat lebaran." Marini terlihat sangat senang hingga matanya berkaca-kaca. "Kau tahu, Anna. Mantan suamiku rupanya mau beriktikad baik padaku. Ia membelikan tiket pulang. Tentu itu sangat membantu karena aku di sini hanya penjaga toko yang sudah diliburkan. Jadi uang yang kumiliki akan kubelikan hadiah untuk Slamet. Aku tidak tahu seperti apa anakku sekarang namun aku hanya mampu memberinya bantal kecil berbentuk bola. Laki-laki tentu suka bola."
Leherku tercekat. Kini aku tidak dapat mengangkat kepalaku lebih tegak.
"Apa kamu punya fotonya?"
Marini menggeleng. Malang sekali. Ia menunjukkan hp jadulnya dan aku tidak dapat memberi respon lebih jauh. "Tapi aku ada fotonya. Baru saja tadi siang surat dari ibuku tiba. Ibu melampirkan beberapa foto Slamet. Kamu mau lihat, Na?"
Aku mengangguk. Kami berjalan menuju kamarnya. Marini sangat jorok. Banyak kertas dan pakaian berserakan di sana-sini. Rupanya Marini pandai menggambar. Aku mendecak kagum melihat gambarnya yang ditempel di dinding dan beberapa berserakan begitu saja.
"Sebentar. Tunggu sebentar. Hhehee...." Marini tertawa. "Aku ternyata ceroboh dan lupa dimana  meletakkan surat itu. Yang pasti surat itu berisi foto dan tiketku pulang."
Aku mengangguk. Itu adalah kesempatan terbaikku untuk melihat gambarnya lebih seksama.
"Anna, bisakah membantuku mencarinya?"
Aku menoleh kepada Marini yang kini bingung. Anggukanku membuatnya memberiku senyuman kecil penuh harap. Lalu aku bergerak mencarinya. Aku sedikit pesimis karena kamar Marini sangat berantakan. Namun aku tidak terlalu antusias setelah melihat sebuah dokumen.
"Princess, mungkin bisa kita lanjutkan besok. Kurasa malam ini sudah cukup. Kebetulan ada yang harus aku selesaikan malam ini, maklumlah work from home...." Aku berdiri.
"Baiklah. Aku akan berusaha menemukan surat dan tiketnya. Jika tidak kutemukan malam ini, kamu bisa membantuku besok."
"Kamu bermaksud untuk pulang ke rumah?"
Marini menundukkan kepala, menggeleng. "Namun Slamet sudah berangkat untuk menjemputku. Jadi setelah ia tiba, aku akan pulang." Marini mengantarku sampai di depan pintu kamar. "Terima kasih, Anna."
"Selamat malam Princess Marini."
Marini tersenyum lebar. Wajahnya ayu namun sayu.
Aku menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati masih tertawa mengapa aku harus memanggilnya Princess Marini. "Dasar perempuan lapuk!" gerutuku. Pacarku minta kutelepon karena ingin tahu kelanjutan ceritaku. Ia sangat kepo.
"Aku tadi melihat dokumennya. Rupanya dia pernah gila dan dirawat di RSJ. Jadi aku ragu apakah yang diceritakan itu betul atau tidak. Makanya daripada aku mencari surat yang belum tentu ada, atau karena dia terlalu mengada-ada jadi mending aku kabur. Aku nggak mau kena prank!"
"Tapi kamu juga perempuan lapuk, Ann. Usiamu sudah kepala tiga tapi belum mau kuajak nikah."
Aku menutup telepon pacarku. Aku malas mendengar bujukannya. Sudah kukatakan berulang-ulang jika tidak akan menikah tahun ini, melainkan tahun depan. Tetapi pacarku selalu menginginkan segera.
Tok! Tok! Satpam kos mengetuk pintuku. Wajahnya datar namun dipenuhi gurat ketakutan. Ia berusaha menyadarkan aku bahwa kos sudah menjadi ramai sejak tadi pagi. "Marini ditemukan meninggal di kamarnya."
Aku membelalakkan mata. Tubuhku bergetar.
Marini meninggal dengan tenang. Meski ditemukan tak bernyawa di kamar yang berantakan namun ia mengenakan gaun mewah dan riasan yang cantik. Ia memegang seikat bunga seruni putih dan amplop surat, surat yang ia cari tadi malam bersamaku.
Aku tidak dapat menganggapnya suatu candaan lagi. Apa yang Marini ceritakan semalam ternyata bukan cerita yang mengada-ada melainkan kisah sungguhan yang Marini ceritakan secara jujur. Ia memeluk foto anaknya yang telah beranjak remaja. Dan isi surat itu membuatku merasa berdosa. Surat itu memberitahu Marini jika anaknya telah meninggal dunia dua hari yang lalu.
Kusentuh Marini. Aku meminta maaf semalam telah menjadi manusia yang keliru.
"Maafkan aku, Marini."
Aku menangis melihat bantal kecil berbentuk bola telah dikemas sedemikian rupa oleh Marini.
Sumber gambar: https://twitter.com/maykandydufka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H