Aku menoleh kepada Marini yang kini bingung. Anggukanku membuatnya memberiku senyuman kecil penuh harap. Lalu aku bergerak mencarinya. Aku sedikit pesimis karena kamar Marini sangat berantakan. Namun aku tidak terlalu antusias setelah melihat sebuah dokumen.
"Princess, mungkin bisa kita lanjutkan besok. Kurasa malam ini sudah cukup. Kebetulan ada yang harus aku selesaikan malam ini, maklumlah work from home...." Aku berdiri.
"Baiklah. Aku akan berusaha menemukan surat dan tiketnya. Jika tidak kutemukan malam ini, kamu bisa membantuku besok."
"Kamu bermaksud untuk pulang ke rumah?"
Marini menundukkan kepala, menggeleng. "Namun Slamet sudah berangkat untuk menjemputku. Jadi setelah ia tiba, aku akan pulang." Marini mengantarku sampai di depan pintu kamar. "Terima kasih, Anna."
"Selamat malam Princess Marini."
Marini tersenyum lebar. Wajahnya ayu namun sayu.
Aku menutup pintu dan menguncinya. Dalam hati masih tertawa mengapa aku harus memanggilnya Princess Marini. "Dasar perempuan lapuk!" gerutuku. Pacarku minta kutelepon karena ingin tahu kelanjutan ceritaku. Ia sangat kepo.
"Aku tadi melihat dokumennya. Rupanya dia pernah gila dan dirawat di RSJ. Jadi aku ragu apakah yang diceritakan itu betul atau tidak. Makanya daripada aku mencari surat yang belum tentu ada, atau karena dia terlalu mengada-ada jadi mending aku kabur. Aku nggak mau kena prank!"
"Tapi kamu juga perempuan lapuk, Ann. Usiamu sudah kepala tiga tapi belum mau kuajak nikah."
Aku menutup telepon pacarku. Aku malas mendengar bujukannya. Sudah kukatakan berulang-ulang jika tidak akan menikah tahun ini, melainkan tahun depan. Tetapi pacarku selalu menginginkan segera.