Setiap sore hari, rutinitasku tetap menjaga warung nenekku. Hingga timbul niat busukku untuk mencuri uang hasil penjualan warung nenekku demi Dito. Ya, setiap hari aku harus mencuri Rp 20.000,00 dan itu harus aku lakukan selama lima bulan. Aku tahu itu perbuatan dosa dan hina. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin aku meminta uang orang tuaku yang gajinya hanya pas-pasan.
"Ya Allah, ini jalan yang harus aku ambil. Aku terpaksa mencuri uang nenekku setiap hari. Sembari jalan, aku akan  berpikir bagaimana mendapatkan uang itu tanpa aku harus mencuri," kataku lirih dalam hati.
Hari demi hari dan minggu demi minggu pun telah terlewati. Aku sudah tidak canggung lagi untuk mencuri. Bahkan aku tidak merasa takut lagi dengan rutinitas mencuriku. Aku yakin, nenekku tidak tahu. Tapi uang Rp 20.000,00 adalah nominal yang banyak untuk pendapatan warung nenekku. Sebenarnya tidak tega, tapi bagaimana dengan urusanku bersama Dito jika aku tidak melakukan hal itu.
***
Kini genap tiga bulan aku menjadi pencuri. Pencuri uang nenekku sendiri, yang telah rela menggantikan aku mencari rumput supaya aku tidak merasa malu lagi dengan teman-temanku. Sungguh aku jahat terhadap nenekku. Air susu dibalas dengan air tuba.
"Tiga bulan adalah 90 hari. Selama 90 hari, aku menjadi pencuri. Berapa ya, uang nenek yang aku curi? 90 x Rp 20.000,00 = Rp 1.800.000,00. Ya Allah itu jumlah yang sangat banyak. Itu setara harga satu kambing jantan dewasa. Ya Allah, kasihan sekali nenekku. Dan betapa jahatnya aku. Aku tidak sanggup," ujarku lirih sambil mengurai air mata.
Tiba-tiba, suara laki-laki dewasa mengejutkanku dengan sapaannya kepadaku. Aku bergegas menyeka air mata, kemudian menjawab sapaannya.
"Iya, Pak!" jawabku dengan sedikit suara parau.
"Di mana nenekmu? Katanya mau menjual dua ekor kambing kepadaku," lanjutnya.
"Bapak sudah janji?" tanyaku kemudian.
Laki-laki dewasa tersebut kemudian duduk di dipan depan warung. Aku lupa mempersilakannya duduk.