"Calya! Lihat mataku! Mataku luka karena ulahmu. Jika kamu tak mau bertanggungjawab, aku akan menelanjangimu dan menyuruhmu lari mengelilingi lapangan Pemda!" kata Dito dengan suara beringas.
"Sungguh, kamu tak bermoral. Setega itu kamu terhadap perempuan? Coba saja ibumu suruh telanjang dan mengelilingi lapangan Pemda!" balasku.
"Plak!" tamparan Dito mendarat tepat di pipiku. Kemudian disusul oleh tamparan ketiga temanku.
Aku menangis karena sakit. Aku tidak tahan lagi hingga akhirnya aku menyerah kepada mereka.
"Baiklah! Aku menuruti apa yang kamu mau. Asal jangan menyuruhku melakukan hal gila itu!" kataku sambil terisak.
"Baiklah! Kamu kasih aku jatah Rp 20.000,00 sehari selama lima bulan!" kata Dito lantang sambil mengeluarkan senyum jahatnya.
"Mana aku punya uang sebesar itu? Orang tuaku cuma...," Dito mbungkam mulutku hingga aku berhenti berkata.
"Calya! Kalau tidak mampu, ayo telanjang dan kelilingi lapangan Pemda sekarang juga!" lanjut Dito.
"Baiklah, aku bersedia memberimu uang Rp 20.000,00 kepadamu setiap hari selama lima bulan!" kataku dengan terpaksa, tanpa memikirkan dari mana uang itu aku dapat.
Dito lalu melepasku, kemudian aku ke kamar mandi untuk merapikan mukaku. Sungguh, ini adalah hal terburuk selama hidupku yang sudah menginjak 14 tahun.
***